Konten dari Pengguna

Pajak Jasa Digital : Potensi Besar atau Ancaman? Simak Faktanya di Sini!

AGUSTIAN RAFIF SETIYA
Mahasiswa Program Studi Manajemen Keuangan Negara Politeknik Keuangan Negara STAN
16 Februari 2025 9:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AGUSTIAN RAFIF SETIYA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber : pixabay.com
ADVERTISEMENT
Dalam era ekonomi digital yang berkembang pesat, transaksi melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) telah menciptakan peluang besar bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun, meskipun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sudah berhasil dikenakan pada PMSE, penerapan Pajak Penghasilan (PPh) masih menghadapi tantangan besar.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan regulasi yang jelas untuk mengenakan PPh pada perusahaan digital yang beroperasi tanpa kehadiran fisik di Indonesia menjadi kendala utama. Hal ini menyebabkan potensi penerimaan pajak yang besar belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh negara. Pertanyaannya, mengapa pemerintah masih mengalami kesulitan dalam menerapkan PPh pada PMSE?
Teori/Aturan
Berdasarkan Pasal 4 Perppu No. 1 Tahun 2020, PMSE merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Sebelum tahun 2020, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur pengenaan pajak terhadap transaksi ini, sehingga banyak perusahaan asing memperoleh pendapatan dari konsumen Indonesia tanpa dikenakan pajak karena tidak memiliki kehadiran fisik.
Setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 60 Tahun 2022, pemerintah berhasil mengenakan PPN atas barang atau jasa digital dari luar negeri yang dikonsumsi di Indonesia. Namun, PPh masih sulit diterapkan karena regulasi perpajakan domestik dan perjanjian pajak internasional (tax treaty) mensyaratkan adanya "kehadiran fisik" di suatu negara sebagai syarat pengenaan pajak penghasilan.
ADVERTISEMENT
Pembahasan
Perbedaan mendasar antara PPN dan PPh menjadi alasan utama mengapa PPN lebih mudah dikenakan dibandingkan PPh dalam konteks PMSE. PPN adalah pajak berbasis konsumsi, sehingga pajak dikenakan berdasarkan tempat konsumsi terjadi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dapat menetapkan perusahaan digital luar negeri sebagai pemungut PPN tanpa perlu kehadiran fisik mereka di Indonesia. Hal ini berbeda dengan PPh, yang berbasis penghasilan dan mensyaratkan adanya keterkaitan ekonomi yang signifikan atau kehadiran fisik untuk dapat dikenakan pajak. Dalam perkembangannya, pemerintah telah mengatur konsep "kehadiran ekonomi signifikan" dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf (b) UU No. 2 Tahun 2020 sebagai dasar untuk mengenakan PPh pada PMSE.
Namun, hingga saat ini, penerapannya masih terkendala karena Indonesia menunggu kesepakatan dalam Konsensus Pajak Global yang dikembangkan oleh OECD. Dengan adanya pilar 1 dan 2 OECD, yang berfokus pada pembagian hak pemajakan dan tarif pajak minimum global, diharapkan Indonesia dapat mulai mengenakan PPh pada PMSE secara efektif pada tahun 2025.
ADVERTISEMENT
Untuk mempercepat implementasi PPh pada PMSE, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama, pemantauan terhadap perkembangan regulasi global harus dilakukan agar kebijakan perpajakan domestik dapat disesuaikan dengan standar internasional. Kedua, pemutakhiran definisi "kehadiran ekonomi signifikan" diperlukan agar tidak hanya berdasarkan kehadiran fisik, tetapi juga keberadaan digital yang berkontribusi secara signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Ketiga, penguatan infrastruktur data perpajakan dengan teknologi big data dan artificial intelligence (AI) akan membantu pengawasan transaksi lintas batas secara real-time. Keempat, kolaborasi dengan negara lain dalam pertukaran informasi pajak juga menjadi faktor kunci dalam mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan digital multinasional.
Dengan strategi yang tepat, pemerintah Indonesia dapat mengoptimalkan potensi penerimaan pajak dari sektor digital dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Seiring berkembangnya ekonomi digital, regulasi perpajakan harus terus diperbarui agar negara tidak kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan dari sektor ini.
ADVERTISEMENT