Konten dari Pengguna

Kembalinya Donald Trump: Simbol Kemunduran atau Kebangkitan Demokrasi Amerika?

Agustina Rahmawati
Agustina Rahmawati adalah mahasiswi S-2 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada.
8 November 2024 13:59 WIB
Ā·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustina Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polarisasi politik AS dengan simbol Gedung Capitol, bendera Amerika, serta ikon partai Demokrat (keledai) dan Republik (gajah). Sisi kiri menampilkan diskusi damai, sementara sisi kanan menggambarkan persatuan, mencerminkan polarisasi yang dapat mendorong atau menghambat demokrasi. Sumber: Ilustrasi digital penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Polarisasi politik AS dengan simbol Gedung Capitol, bendera Amerika, serta ikon partai Demokrat (keledai) dan Republik (gajah). Sisi kiri menampilkan diskusi damai, sementara sisi kanan menggambarkan persatuan, mencerminkan polarisasi yang dapat mendorong atau menghambat demokrasi. Sumber: Ilustrasi digital penulis.
ADVERTISEMENT
Pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2024 yang kembali dimenangkan oleh Donald Trump telah memancing pertanyaan besar: Apakah ini mencerminkan kemunduran atau justru kebangkitan demokrasi Amerika? Di tengah kompleksitas politik Amerika yang semakin memanas, kemenangan ini tidak bisa hanya dipandang sebagai keputusan individual dari pemilih, melainkan sebagai manifestasi dari fenomena yang lebih luas, yakni polarisasi politik yang semakin tajam.
ADVERTISEMENT
Polarisasi: Mendorong atau Menghambat Demokrasi?
Polarisasi politik dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi fenomena yang merasuk ke dalam demokrasi Amerika. Ini bukan sekadar perbedaan pandangan politik, tetapi sebuah jurang yang semakin dalam antara dua kelompok besar di masyarakat Amerika, yakni kelompok konservatif dan liberal. Dalam konteks ini, kemenangan Trump mencerminkan lebih dari sekadar dukungan terhadap seorang kandidat; ia adalah simbol perlawanan terhadap kaum liberal dan kelas politik mapan yang dipandang telah gagal mewakili sebagian besar rakyat.
Polarisasi di Amerika tidak hanya terjadi pada level pemilih, tetapi juga merasuk hingga ke lembaga-lembaga negara. Baik parlemen, pengadilan, bahkan institusi pers, kini telah menjadi bagian dari spektrum politik yang saling berhadapan. Masyarakat semakin terbagi antara dua kelompok yang tidak hanya berbeda pendapat, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap satu sama lain. Polarisasi ini menjadi bahan bakar bagi kemenangan Trump, di mana ia berhasil menggiring suara kelompok konservatif yang merasa kehilangan tempat dalam wacana politik arus utama.
ADVERTISEMENT
Kebangkitan Demokrasi atau Hanya Refleksi Kemunduran?
Bagi pendukungnya, kemenangan Trump adalah bentuk kebangkitan demokrasi karena dianggap sebagai kemenangan "suara rakyat" atas elit politik yang dianggap tidak lagi relevan. Bagi mereka, Trump adalah sosok yang berani menentang kepentingan-kepentingan mapan, mengutamakan suara masyarakat konservatif, dan menentang arus liberal yang mendominasi kebijakan publik.
Namun, pandangan ini menyimpan risiko besar. Demokrasi yang terpolarisasi tidak hanya berpotensi menciptakan ketegangan sosial yang akut, tetapi juga melemahkan kemampuan negara untuk mengambil keputusan yang stabil dan berjangka panjang. Dengan semakin dalamnya polarisasi, Amerika terancam berada dalam situasi di mana setiap pemerintahan baru hanya bertahan untuk menghancurkan kebijakan pendahulunya, sehingga menciptakan lingkaran balas dendam politik yang melelahkan.
Bagaimana Masa Depan Demokrasi di Tengah Polarisasi?
ADVERTISEMENT
Dari perspektif teori polarisasi politik, kemenangan Trump ini bisa dilihat sebagai refleksi dari kemunduran demokrasi dalam hal inklusivitas dan keberlanjutan. Demokrasi idealnya mampu menjembatani berbagai kepentingan dan pandangan masyarakat, namun ketika polarisasi mendalam, proses demokratisasi justru terancam oleh kegagalan dalam menciptakan kompromi dan dialog. Alih-alih menjadi sistem yang mengakomodasi keragaman, demokrasi yang terpolarisasi cenderung mengukuhkan kekuatan mayoritas sambil menekan pandangan minoritas.
Jika Amerika ingin keluar dari siklus polarisasi ini, perlu ada upaya untuk mengurangi ketegangan politik yang selama ini terpendam. Pemulihan demokrasi tidak bisa dicapai hanya dengan kemenangan kandidat tertentu, tetapi dengan membangun kembali kepercayaan di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Selama polarisasi terus dibiarkan tanpa penyelesaian, maka hasil pemilu yang seperti ini mungkin akan terus terjadi, dan demokrasi justru semakin kehilangan esensi utamanya: menjembatani dan mengakomodasi kepentingan yang beragam.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Kemenangan Trump memang bisa dilihat sebagai kebangkitan bagi sebagian rakyat Amerika, tetapi sekaligus menjadi peringatan bagi masa depan demokrasi di Amerika. Ini adalah gambaran dari demokrasi yang terfragmentasi, di mana polarisasi politik menguasai ruang publik. Jika Amerika tidak segera mengatasi polarisasi ini, bukan tidak mungkin demokrasi di negara tersebut justru semakin terpuruk dalam siklus persaingan tanpa kompromi.