Konten dari Pengguna

Tantangan & Strategi Negara Selatan sebagai Latecomer di Ekonomi Politik Global

Agustina Rahmawati
Agustina Rahmawati adalah mahasiswi S-2 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada.
28 Oktober 2024 17:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 8 November 2024 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustina Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Studi Kasus Huawei Technologies Co., Ltd.
Logo Huawei terpisah dari bendera AS oleh penghalang simbolis, menggambarkan boikot dan ketegangan perdagangan antara Huawei dan Amerika Serikat. Sumber: Ilustrasi digital penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Logo Huawei terpisah dari bendera AS oleh penghalang simbolis, menggambarkan boikot dan ketegangan perdagangan antara Huawei dan Amerika Serikat. Sumber: Ilustrasi digital penulis.
Perkembangan ekonomi global selama beberapa dekade terakhir didominasi oleh negara-negara maju yang menguasai teknologi, inovasi, dan perdagangan internasional. Negara-negara ini menggunakan keunggulan tersebut untuk memperkuat posisi mereka sebagai pemimpin ekonomi, menciptakan ketimpangan struktural yang menempatkan negara-negara Global South pada posisi yang tertekan. Namun, negara-negara Global South tidak lagi sekadar aktor pinggiran. Dengan contoh sukses seperti Huawei Technologies Co., Ltd., perusahaan asal Tiongkok, negara-negara berkembang mulai menantang status quo. Mereka berupaya mengatasi keterbatasan sebagai latecomer untuk bersaing secara global.
ADVERTISEMENT
Huawei: Simbol Keberhasilan dan Kerentanan Latecomer dari Global South
Sebagai salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, Huawei mencerminkan ambisi dan kapasitas negara-negara Global South untuk mengukuhkan diri di pasar internasional. Namun, keberhasilan Huawei yang tak terpisahkan dari dukungan pemerintah Tiongkok juga menjadi sumber utama dari tantangan yang dihadapinya. Sebagai latecomer, Huawei mengandalkan kebijakan pemerintah yang strategis, seperti Made in China 2025, untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi asing dan memperkuat basis teknologi domestik (Syakira et al., 2023). Di sini, Huawei menunjukkan bahwa negara-negara Global South dapat menciptakan momentum ekonomi yang kuat dengan memanfaatkan intervensi negara yang terencana.
Namun, strategi yang bergantung pada dukungan pemerintah ini memiliki konsekuensi signifikan, terutama dalam konteks geopolitik. Hubungan erat antara Huawei dan pemerintah Tiongkok menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang melihat perusahaan ini sebagai perpanjangan dari agenda politik Tiongkok. Tuduhan bahwa Huawei melakukan spionase untuk pemerintah Tiongkok telah merusak citra perusahaan ini dan menghambat ekspansinya ke pasar negara-negara maju (Christie et al., 2023). Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi global, yang sering kali sulit dicapai oleh perusahaan dari negara berkembang, tetap menjadi penghalang utama bagi keberhasilan latecomer di pasar global yang didominasi negara maju.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan pada Dukungan Negara: Pedang Bermata Dua bagi Huawei
Hubungan Huawei dengan pemerintah Tiongkok telah menguntungkannya dalam mengatasi hambatan domestik dan memperluas kapasitas teknologinya. Dengan mengalokasikan 23,4% dari pendapatan untuk riset dan pengembangan, Huawei mampu menciptakan inovasi-inovasi yang relevan, seperti HarmonyOS dan chip HiSilicon, yang menjadi strategi perusahaan untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi asal Amerika Serikat. Meski inovasi tersebut mencerminkan kemajuan signifikan, ketergantungan pada intervensi negara juga menciptakan risiko yang berpotensi merusak, terutama ketika Huawei terlibat dalam perselisihan geopolitik.
Bagi Huawei, ketergantungan ini mengungkap paradoks bahwa di satu sisi, dukungan negara memperkuat daya saing perusahaan, namun di sisi lain, ketergantungan ini memperlemah kredibilitasnya di pasar global. Ini menjadi lebih nyata ketika Amerika Serikat memberlakukan sanksi yang menghambat akses Huawei terhadap teknologi penting seperti chip, yang secara efektif meminggirkan perusahaan dari rantai pasokan global (Peng & Zhang, 2022). Situasi ini menempatkan Huawei pada posisi sulit, di mana pilihan untuk bertahan menjadi semakin terbatas. Jika terus tergantung pada dukungan negara, Huawei akan tetap rentan terhadap perubahan politik dan kebijakan luar negeri negara-negara Barat.
ADVERTISEMENT
Tantangan Legitimasi: Huawei dalam Bayang-Bayang Persaingan Geopolitik
Perkembangan Huawei di pasar global tak lepas dari tantangan legitimasi yang disebabkan oleh tuduhan spionase dan ancaman terhadap keamanan nasional. Pada 2019, Amerika Serikat melarang penggunaan produk Huawei dan memasukkannya ke dalam Entity List, sehingga membatasi akses perusahaan ini terhadap teknologi Amerika. Hal ini merupakan sinyal kuat bahwa negara-negara Barat bersedia mengambil langkah drastis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional mereka dari pengaruh yang dianggap berpotensi merusak (Wang, 2022).
Sanksi ini menimbulkan efek domino yang memperburuk akses Huawei ke teknologi maju dan merusak daya saingnya. Pendapatan Huawei menunjukkan penurunan dengan CAGR -5% sejak sanksi diberlakukan, mengindikasikan tantangan signifikan dalam menjaga stabilitas finansialnya (Huawei, 2024). Penurunan ini mengungkapkan fakta bahwa sanksi geopolitik dapat menjadi hambatan besar bagi perusahaan-perusahaan latecomer, yang masih berjuang untuk mempertahankan daya saing global mereka. Dalam kasus Huawei, sanksi ini mengurangi kemungkinan perusahaan untuk berkembang menjadi pemimpin teknologi global yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Refleksi: Pelajaran bagi Negara-Negara Global South dalam Mencapai Keunggulan Kompetitif
Kesuksesan Huawei memberikan pelajaran bagi negara-negara berkembang lainnya tentang pentingnya strategi inovasi yang mandiri dan adaptif. Huawei telah menunjukkan bahwa dengan dukungan pemerintah, investasi besar dalam riset dan pengembangan, serta pemahaman yang mendalam tentang pasar lokal, perusahaan latecomer dapat mencapai keberhasilan dalam mengejar ketertinggalan teknologi. Namun, pelajaran terpenting adalah bahwa negara-negara Global South perlu menyadari risiko jangka panjang dari ketergantungan pada negara.
Bagi negara-negara Selatan yang ingin mendorong perusahaan lokalnya untuk bersaing di kancah global, penting untuk mengembangkan lingkungan yang mendukung inovasi tetapi tidak menciptakan ketergantungan yang berlebihan pada dukungan negara. Ketergantungan yang berlebihan dapat melemahkan fleksibilitas perusahaan dan mempersulit adaptasi terhadap dinamika geopolitik yang cepat berubah. Negara-negara ini harus berfokus pada penciptaan sistem yang menguatkan ekosistem inovasi dengan kemitraan sektor swasta dan publik yang seimbang, yang memungkinkan perusahaan tetap kompetitif tanpa terjebak dalam politik internasional.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Huawei adalah simbol keberhasilan sekaligus tantangan bagi negara-negara berkembang yang berambisi untuk mengukuhkan diri di panggung ekonomi global. Kasus Huawei menunjukkan bahwa meskipun dukungan negara dapat menjadi pendorong penting bagi perusahaan latecomer, ketergantungan yang berlebihan pada dukungan tersebut dapat menimbulkan risiko serius terhadap legitimasi global dan keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang. Untuk itu, negara-negara Global South perlu merumuskan strategi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan latecomer mereka berkembang secara mandiri, dengan mengutamakan inovasi dan adaptabilitas tanpa mengorbankan kredibilitas di pasar global.