Konten dari Pengguna

Usulan Trump untuk Relokasi Warga Palestina Melanggar Hukum Internasional

Agustina Rahmawati
Agustina Rahmawati adalah mahasiswi S-2 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada.
31 Januari 2025 11:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustina Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bangunan-bangunan hancur di Khan Yunis di Jalur Gaza Selatan, Foto: Bashar Taleb/AFP (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bangunan-bangunan hancur di Khan Yunis di Jalur Gaza Selatan, Foto: Bashar Taleb/AFP (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Relokasi paksa warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menuai kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk para ahli hukum internasional. Usulan ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga berpotensi memperburuk konflik yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Di tengah dinamika geopolitik tahun 2025, penting untuk mengevaluasi kembali dampak dari usulan ini terhadap stabilitas kawasan dan sistem hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Relokasi paksa penduduk dalam wilayah konflik merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Konvensi Jenewa Keempat dengan tegas melarang pemindahan paksa penduduk dari wilayah pendudukan, kecuali untuk alasan keamanan yang mendesak. Dalam konteks Gaza, usulan ini dianggap sebagai bentuk kejahatan perang yang bertujuan untuk mengokupasi wilayah yang ditinggalkan oleh warga Palestina. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Bapak Saru Arifin, Dosen Hukum Internasional Universitas Negeri Semarang, yang menyebut bahwa relokasi ini mencerminkan pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip hukum internasional.
Selain itu, relokasi paksa juga melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menjamin hak setiap orang untuk tinggal di tanah air mereka tanpa ancaman pengusiran. Relokasi ini tidak hanya akan mencabut hak-hak dasar warga Palestina, tetapi juga menghapus jejak sejarah dan budaya mereka dari wilayah Gaza. Hal ini mengingatkan pada tragedi Nakba tahun 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka.
ADVERTISEMENT
Implikasi Stabilitas Kawasan
Usulan relokasi ini berpotensi menciptakan ketegangan baru di Timur Tengah. Negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania telah menyatakan penolakan tegas terhadap rencana tersebut. Presiden Mesir bahkan memperingatkan bahwa implementasi kebijakan ini dapat mengancam perjanjian damai antara Mesir dan Israel yang telah terjalin sejak 1979. Penolakan ini menunjukkan bahwa relokasi paksa tidak hanya merugikan warga Palestina, tetapi juga berdampak pada stabilitas politik dan hubungan antarnegara di kawasan.
Lebih jauh lagi, jika warga Palestina dipaksa meninggalkan Gaza, Israel hampir pasti akan mengokupasi wilayah tersebut, memperluas kontrolnya di daerah yang ditinggalkan. Hal ini akan memperpanjang konflik yang telah berlangsung puluhan tahun dan memicu resistensi yang lebih besar dari pihak Palestina serta negara-negara pendukungnya. Dalam konteks ini, relokasi paksa tidak menyelesaikan akar masalah, melainkan memperburuk situasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Peran Komunitas Internasional
Penolakan terhadap usulan ini tidak hanya datang dari negara-negara tetangga Palestina, tetapi juga dari berbagai organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Juru bicara PBB secara eksplisit menyatakan bahwa relokasi ini dapat dianggap sebagai bentuk "pembersihan etnis" dan bertentangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Namun, penolakan saja tidak cukup. Komunitas internasional perlu mengambil langkah konkret untuk mencegah implementasi kebijakan ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan tekanan diplomatik terhadap Amerika Serikat dan Israel melalui resolusi PBB yang mengutuk relokasi paksa. Selain itu, negara-negara anggota OKI perlu memperkuat solidaritas mereka dalam mendukung hak-hak warga Palestina melalui forum-forum internasional.
Solusi Alternatif untuk Perdamaian
ADVERTISEMENT
Daripada mendorong relokasi paksa, solusi yang lebih berkelanjutan adalah melalui upaya diplomasi yang mengutamakan prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Solusi dua negara, meskipun menghadapi berbagai tantangan, tetap menjadi opsi yang paling realistis untuk mencapai perdamaian jangka panjang. Dalam konteks ini, komunitas internasional harus mendukung dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari Palestina, Israel, dan negara-negara tetangga.
Selain itu, penting untuk mengakhiri blokade terhadap Gaza yang telah menciptakan krisis kemanusiaan yang parah. Blokade ini tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga memperburuk penderitaan warga Palestina. Komunitas internasional harus mendorong pembukaan akses kemanusiaan dan penguatan ekonomi lokal sebagai langkah awal menuju stabilitas.
Kesimpulan
Usulan relokasi paksa warga Palestina adalah bentuk pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia. Alih-alih membawa perdamaian, kebijakan ini justru akan memperburuk konflik dan menciptakan ketegangan baru di kawasan Timur Tengah. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk menolak dan mencegah implementasi kebijakan ini, sekaligus mendorong solusi yang lebih berkeadilan bagi rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Melihat dinamika geopolitik yang semakin beragam pada tahun 2025, penting bagi semua pihak untuk berpegang pada prinsip-prinsip hukum internasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hanya dengan cara ini, perdamaian yang adil dan berkelanjutan dapat dicapai di Palestina dan kawasan sekitarnya.