news-card-video
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Politik, Hukum, dan Harapan: Menafsir Kepuasan Publik Atas Legasi Jokowi

Mardika Leuf Bnani
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Kalolik Widya Mandira Kupang. Penulis Bidang Akademis dan Content Writer Di Media Online dan Blogger.
5 Februari 2025 11:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardika Leuf Bnani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hasil Penilaian Survey Terhadap Jokowi sumber Canva.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hasil Penilaian Survey Terhadap Jokowi sumber Canva.com
ADVERTISEMENT
Survei terbaru dari Kompas menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menanjak hingga 75,6 persen—angka tertinggi sepanjang periode keduanya. Namun, seperti halnya riak yang mengganggu ketenangan permukaan, angka ini juga menyimpan kerentanannya. Masyarakat yang mendukungnya mungkin hanya melihat hasil dari tindakan pragmatis, tetapi di balik itu, ada pertanyaan tentang sejauh mana stabilitas ini dapat bertahan, dan bagaimana makna kepuasan sejati dalam politik yang tak pernah sunyi dari tantangan. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap sektor politik dan kesejahteraan sosial meningkat. Namun, di sisi lain, kepercayaan publik terhadap sektor hukum justru mengalami penurunan.Kepercayaan publik terhadap sektor hukum justru mengalami penurunan. Hasil ini menandakan bahwa warisan kepemimpinan Jokowi tidak monolitik: ada aspek yang diapresiasi, tetapi ada pula yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan mendatang.
ADVERTISEMENT
Dalam menelaah survei kepuasan publik itu, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi cukup untuk dijadikan parameter keberhasilan pemerintahan, atau justru mencerminkan harapan yang belum sepenuhnya terpenuhi? Untuk menjawabnya, saya akan mengurai beberapa aspek berikut: pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, kebijakan kesejahteraan sosial, dan supremasi hukum di dalam artikel ini.
Infrastruktur: Keberhasilan yang Terlihat, tetapi Masih Menyisakan Tantangan
Jokowi sedari awal dikenal sebagai pemimpin populis, ia dikenal sebagai presiden dari kalangan sipil yang membawa perubahan besar dalam pembangunan infrastruktur. Proyek-proyek strategis nasional seperti jalan tol Trans Jawa, Trans Sumatera, hingga pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan menjadi simbol dari kebijakan pembangunan yang ambisius. Keberhasilan ini tercermin dalam survei yang menunjukkan kepuasan masyarakat terhadap sektor ekonomi dan kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaannya adalah: apakah infrastruktur yang dibangun benar-benar berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat? Dalam bukunya Development as Freedom (Amartya Sen, 1999), Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan tidak hanya soal proyek fisik, tetapi juga peningkatan kapasitas manusia. Artinya pembangunan tidak hanya diukur dari infrastruktur fisik seperti jalan, gedung, dan jembatan, tetapi juga harus mencakup peningkatan kualitas hidup manusia, seperti pendidikan, kesehatan, dan kebebasan ekonomi. Yang dimakudkan Amartya Sen adalah pembangunan sejati yakni pembangunan yang memberikan lebih banyak kebebasan bagi individu untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri. Infrastruktur yang megah apalagi proyek raksasa memindahkan ibu kota negara tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan kebijakan yang memberdayakan masyarakat secara ekonomi dan sosial.
ADVERTISEMENT
Reformasi Birokrasi: Progresif, tetapi Belum Optimal
Jokowi kerap menekankan efisiensi birokrasi dan pemangkasan regulasi yang berbelit. Salah satu gebrakannya adalah implementasi Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah perizinan usaha. Langkah ini sejalan dengan pemikiran Max Weber dalam The Theory of Social and Economic Organization (1947), di mana birokrasi modern harus rasional, efisien, dan bebas dari kepentingan politik. Max Weber menekankan bahwa birokrasi yang ideal adalah sistem administrasi yang bekerja berdasarkan aturan yang jelas, prosedur yang efisien, dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik atau individu tertentu. Misalnya, dalam pengangkatan pejabat pemerintahan, seseorang harus dipilih berdasarkan kompetensi dan kinerja, bukan karena kedekatan dengan partai politik tertentu atau karena nepotisme. Weber melihat birokrasi sebagai sistem yang seharusnya mengedepankan profesionalisme dan objektivitas, bukan sekadar alat kekuasaan atau kepentingan pribadi.
ADVERTISEMENT
Survei juga menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap reformasi birokrasi masih beragam. Salah satu tantangan utama adalah inkonsistensi dalam pelaksanaan kebijakan, terutama di tingkat daerah. Dalam beberapa kasus, efisiensi administrasi belum sepenuhnya diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih memiliki celah yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh maraknya nepotisme dalam pengangkatan pejabat yang sempat ramai adalah dugaan nepotisme dalam pengangkatan pejabat di sejumlah BUMN dan instansi pemerintah, di mana ada anak, menantu, atau kerabat dari elite politik yang mendapatkan jabatan tanpa rekam jejak kompetensi yang jelas.
Kebijakan Kesejahteraan Sosial: Positif, tetapi Berkelanjutan?
Program bantuan sosial seperti Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan (PKH), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi kebijakan yang mendapat apresiasi luas. Keberhasilan ini sejalan dengan konsep negara kesejahteraan yang diusung Gøsta Esping-Andersen dalam The Three Worlds of Welfare Capitalism (1990), di mana negara berperan aktif dalam memastikan kesejahteraan warganya.
ADVERTISEMENT
Namun, efektivitas program ini perlu dikaji lebih lanjut. Apakah bantuan sosial telah benar-benar mengurangi ketimpangan ekonomi, atau justru membuat masyarakat semakin bergantung pada subsidi pemerintah? Di masa depan, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan kesejahteraan tidak hanya bersifat karitatif, tetapi juga transformatif, yakni memberdayakan masyarakat agar lebih mandiri secara ekonomi.
Supremasi Hukum: Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai
Salah satu catatan kritis dalam survei kepuasan publik adalah menurunnya kepercayaan masyarakat pada wilayah legislatif. Melemahnya penegakan hukum, kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite politik, serta intervensi terhadap lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan utama. Jika melihat konsep rule of law yang dikemukakan oleh Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom (1944), sebuah negara hanya bisa dikatakan demokratis jika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
ADVERTISEMENT
Kasus pelemahan KPK, misalnya, menjadi refleksi bahwa supremasi hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Revisi Undang-Undang KPK yang disahkan pada tahun 2019 lalu menimbulkan polemik karena dinilai melemahkan independensi lembaga tersebut. Keadaan ini menjadi sinyal bahwa meskipun ada kemajuan di sektor lain, supremasi hukum masih menjadi tantangan berat yang harus dihadapi pemerintahan berikutnya.
Kesimpulan: Legasi yang Perlu Dilanjutkan dan Diperbaiki
Survei kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa tidak ada pemerintahan yang sempurna. Di satu sisi, ada keberhasilan dalam infrastruktur, reformasi birokrasi, dan kebijakan kesejahteraan sosial. Namun, di sisi lain, tantangan besar masih mengintai, terutama dalam hal supremasi hukum dan konsistensi kebijakan.
Sebagai masyarakat, kita perlu membaca hasil survei ini dengan kritis. Kepuasan publik bukanlah indikator mutlak keberhasilan, tetapi lebih sebagai refleksi dari harapan yang masih terus berkembang.
ADVERTISEMENT
Referensi:
• Survei Kompas . 2024. "Survei ”Kompas”: 75,6 Persen Publik Puas dengan Pemerintahan Jokowi, Tertinggi di Periode Kedua (1). https://www.kompas.id/baca/riset/2024/06/19/kepuasan-publik-meningkat-tapi-rentan-1
• Sen, Amartya.1999. Development as Freedom. Oxford University Press,.
• Weber, Max. 1947.The Theory of Social and Economic Organization. Free Press
• Esping-Andersen, Gøsta.1990. The Three Worlds of Welfare Capitalism. Princeton University Press,.
• Hayek, Friedrich. 1944. The Road to Serfdom. University of Chicago Press.