news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Visage Postkolonialisme Indonesia

Mardika Leuf Bnani
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Kalolik Widya Mandira Kupang. Penulis Bidang Akademis dan Content Writer Di Media Online dan Blogger.
2 Maret 2025 10:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mardika Leuf Bnani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar tentang kondisi nyata jurang ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin (subaltern). Dua tokoh di atas (kiri-kanan) Gayatri Spivak muda dan Michel Foucault. (Sumber: Gemini Generator Image)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar tentang kondisi nyata jurang ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin (subaltern). Dua tokoh di atas (kiri-kanan) Gayatri Spivak muda dan Michel Foucault. (Sumber: Gemini Generator Image)
ADVERTISEMENT
Judul ini bukan sekadar paronomasia, permainan kata-kata, melainkan cermin dari kegelisahan intelektual terhadap sistem politik yang masih terperangkap dalam logika kolonialistik—sebuah kerangka logika dengan visage (wajah) retorika pembangunan, nasionalisme semu, dan ilusi keseragaman. Gayatri Spivak (1942), sekarang berusia 82 tahun, ia pemikir asal India, seorang ahli teori sastra, kritikus, ahli teori pascakolonial, dan profesor sastra komparatif India yang terkenal karena kritik dekonstruktif pribadinya. Melalui kritiknya terhadap representasi subaltern, mengajak kita untuk tidak hanya melihat ketimpangan sebagai produk sejarah, tetapi sebagai struktur hegemoni yang terus direproduksi secara masif dan sistematis.
ADVERTISEMENT
Indonesia, dalam lintasan sejarahnya, pernah berada di bawah bayang-bayang kolonialisme, di mana kekuatan imperialis Belanda bukan hanya menguasai secara fisik, tetapi juga membentuk sistem ketatanegaraan yang sarat dengan kepentingan kolonial. Warisan struktur tersebut, dalam berbagai aspek, masih berkelindan dengan realitas kita hari ini. Maka, perbincangan mengenai postkolonialisme bukan sekadar wacana retrospektif, melainkan upaya kritis untuk memahami bagaimana jejak kolonial masih beresonansi dalam tatanan sosial, politik, dan hukum kita saat ini.
Spivak, terutama melalui esainya yang monumental, Can the Subaltern Speak? (Spivak, 1988) mengingatkan bahwa subaltern—kaum proleter, kelompok marginal, masyarakat kelas bawah—tidak sekadar kehilangan hak bersuara, tetapi juga direduksi menjadi objek dalam narasi kekuasaan. Kritiknya menelanjangi mekanisme hegemonik yang membungkam subaltern melalui dua lapis penindasan: pertama, melalui kekerasan struktural yang menghapus agensi mereka, dan kedua, melalui apropriasi naratif oleh kekuatan dominan yang mengklaim "mewakili" mereka tanpa memberi ruang untuk artikulasi otentik.
ADVERTISEMENT
Spivak dalam beberapa kritik yang dikembangkannya menyatakan bahwa kolonialisme, patriarki, dan kapitalisme global bukan hanya merampas hak subaltern untuk berbicara, tetapi juga membentuk epistemologi yang mengubah pengalaman mereka menjadi artefak statis dalam arsip pengetahuan penguasa. Di sini, subaltern tidak absen dari wacana, melainkan terjebak dalam posisi spectral—hadir sebagai bayangan yang dikutuk untuk diinterpretasikan oleh suara-suara yang justru mengokohkan marginalitas mereka.
Kolonialisme bukan sekadar narasi geopolitik tentang penaklukan ruang, melainkan proyek epistemologis yang melahirkan hegemoni pengetahuan—suatu arsitektur kognitif yang merepresentasikan kekuasaan ke dalam struktur ontologis. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 1.769 kasus konflik agraria sejak 2015, dengan 60% melibatkan masyarakat adat yang suaranya diabaikan (Laporan Tahunan Agraria 2023). Pola ini mengingatkan pada cultuurstelsel era kolonial, di mana tanah direbut atas nama "kemakmuran", sementara suara pemiliknya dibungkam. Tania Murray Li (2014) mengkritik proyek "pemberdayaan" yang justru mengubah masyarakat adat menjadi subjek patuh logika pasar, menghapus hak kolektif mereka atas tanah.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan jenis itu tidak hanya bekerja melalui represi, tetapi juga membentuk subjek melalui kontrol atas tubuh, pikiran dan ruang publik. Michel Foucault menyebutnya biopower—cara kekuasaan mengatur hidup melalui institusi seperti pendidikan dan media (Dasion dkk., 2023). Rezim Orde Baru adalah contoh bagaimana negara menciptakan "warga ideal" yang patuh pada ideologi tunggal, monolitik.
Namun, seperti diingatkan Lord Acton, kekuasaan absolut cenderung korup. Justru resistensi muncul di celah-celahnya: gerakan #ReformasiDikorupsi (2019) dengan 2,5 juta cuitan, atau yang masih membara beberapa waktu ini #IndonesiaGelap (2025) yang mencapai 3 juta cuitan tagar di platform X (Tempo.co), menjadi bukti masyarakat sipil mampu membuka ruang untuk menandingi hegemoni kekuasaan sebagai penentu tunggal kebenaran. Jean-François Lyotard menyebut ini sebagai perlawanan terhadap grand-narrative—wacana besar yang menaturalisasi kebenaran tunggal.
Sketsa wajah Gayatri Chakravorty Spivak (1942 - Sekarang). (Sumber: Gemini Generator Image)
Narasi pembangunan kerap menjadi alat legitimasi kekerasan struktural. Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, yang diklaim sebagai "lompatan peradaban", mengancam 20.000 hektar hutan adat (Walhi, 2023). Menurut Achille Mbembe, salah satu pemikir pascakolonial yan berpengaruh saat ini, dalam Necropolitics (2019), kekuasaan modern menentukan siapa yang layak hidup dan mati (Alfredo & Ardhias, 2022). Di sini, pengetahuan teknokratis tentang "kemajuan" digunakan untuk mengabaikan hak hidup komunitas marginal—sebuah ironi di negara yang konstitusinya justru telah melegitimasi hutan adat melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012.
ADVERTISEMENT
Postkolonialisme bukan nostalgia, melainkan proyek dekonstruksi. Situasi politik kita hari ini perlu dilihat sebagai sebuah teks sejarah yang didominasi oleh sistem politik yang kental dengan logika kolonialistik. Ketimpangan sosial-ekonomi di negeri kita masih sangat vulgar, nyata. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa 9,4% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan disparitas Jawa-Papua 20:1. Angka ini bukan sekadar kegagalan ekonomi, tetapi bukti logika kolonialistik—pemusatan kekuasaan dan sumber daya—masih bercokol di negeri kita.
Di era digital, algoritma media sosial justru memperdalam segregasi. Tugas kita, seperti diingatkan Spivak, adalah "membuka ruang bagi yang tak terwakili"—bukan memberi suara, tetapi menciptakan kondisi agar mereka bersuara sendiri. Politik Indonesia hari ini adalah medan pertarungan antara warisan kolonial dan imajinasi postkolonial. Melalui lensa Spivak, kita diajak membongkar tatanan hirerkis, mengkritik narasi dominan, dan—yang terpenting—mendengarkan suara yang selama ini dibungkam. Sebab, "subaltern bisa berbicara, tetapi apakah kita cukup rendah hati untuk mendengarkan?. Semoga.
ADVERTISEMENT
-----------------------------------------------------------------------------
Sumber Pustaka:
Dasion, Agustinus G. R. dkk., (2023). Tiga Diskursus Kuasa Dalam Sosiologi: Max Weber, Karl Marx dan Michel Foucault. Jogjakarta: Jejak Pustaka.
P, Alfredo dan Ardhias N Azzuhry. (2022). Dunia Berakhir, Tapi Tidak Dengan Kapitalisme: Realisme Kapitalis Dalam Film 2012. https://journal.ugm.ac.id/balairung/article/view/67740
Spivak, Gayatri. 1988. Journal: Can the Subaltern Speak?. https://voidnetwork.gr/wp-content/uploads/2016/09/Can-the-subaltern-speak-by-Gayatri-Spivak.pdf
Setyorini, Ari. 2011. Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia. KAWISTARA VOLUME 1 No. 2, Halaman 103-212.
Sumber Data:
BPS, Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Catatan Akhir Tahun 2023.
Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengakuan Hutan Adat.
Tempo.co. https://www.tempo.co/politik/tagar-indonesia-gelap-dominasi-platform-x-capai-3-juta-postingan-1211198
Walhi, Analisis Dampak IKN terhadap Lingkungan dan Masyarakat Adat, 2023.
ADVERTISEMENT