Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Machiavellian Style dalam Demokrasi Indonesia
8 Januari 2025 14:43 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ahimsa Muhammad Noor tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Lima ratus tahun yang lalu Nicollo Machiavelli seorang bangsawan dan filsuf Italia melalui bukunya The Principle memandang bahwa kekuasaan harus dijaga dan diraih dengan cara apapun. Termasuk melakukan tindakan pragmatis yang sering kali dianggap tidak sesuai dengan moralitas, dan hal seperti ini masih terjadi di negeri kita terutama pada satu tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 merupakan tahun penting bagi dinamika politik Indonesia. Dengan berbagai aktivitas politik seperti pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, kemudian pemilihan kepala daerah di akhir tahun yang berlangsung serentak. Berbagai dinamika politik muncul di panggung nasional menampilkan kandidat-kandidat yang tidak hanya bersaing pada level visi-misi, tetapi juga dalam membangun koalisi dan gerbong gerbong strategis yang bisa menopang elektabilitas mereka.
Terkadang dalam membangun koalisi strategis untuk keberhasilan politik, para aktor aktor politik ini cenderung mengesampingkan nilai nilai moral, bahkan menerobos aturan yang berlaku. Tindakan ini ditujukan semata mata untuk meraih kemenangan yang berujung pada kekuasaan dan kedudukan.
Pada pemilu legislatif dan eksekutif di awal tahun dapat kita amati koalisi politik dalam pileg maupun pilpres melakukan manuver manuver untuk menggolkan tujuannya. Penggunaan isu populis dalam kampanye, menebar fitnah antar koalisi, pembentukan koalisi atas dasar untung rugi bukannya pada idealisme politiknya. Selain itu penggunaan money politics, membangun narasi narasi sensitif yang berujung pada polarisasi seperti nasionalisme, populisme, isu isu SARA, penggunaan wewenang dari otoritas negara dan sekian banyak tindakan pragmatis lain.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya pada pileg maupun pilpres pada pertengahan tahun DPR yang semestinya menjadi perwakilan rakyat malah bertindak mengkhianati rakyat. Bulan Agustus Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan mengenai persyaratan threshold dalam pilkada 2024 yang seharusnya membuka peluang lebih besar bagi partai non-parlementer, DPR melalui badan legislasinya. Kemudian pilkada serentak di akhir tahun tampaknya juga sama, banyak kandidat yang saling menjatuhkan, melakukan kampanye dengan cara yang kotor. Memperdagangkan akses politik pada pihak tertentu, dan pilkada serentak yang terkesan telah diatur oleh segelintir orang, namun tetap mengatasnamakan demokrasi.
Proses semacam ini kemudian mencerminkan kemuakan rakyat atas kondisi politik dibuktikan dengan menurunnya jumlah partisipasi pemilih pada pilkada serentak 2024. Ini menjadi cerminan bahwa dinamika politik telah tercampur oleh rasa pragmatisme, menjauh dari nilai integritas,dan jauh dari substansi demokrasi.
ADVERTISEMENT