Konten dari Pengguna

Menuju Indonesia 'Rajin' Membaca

Ahmad Soleh
Penulis, Editor buku, Mahasiswa Magister Pend. Bahasa Indonesia Uhamka.
29 September 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Soleh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak kecil sedang membaca buku di toko buku. (Dokumen pribadi Ahmad Soleh)
zoom-in-whitePerbesar
Anak kecil sedang membaca buku di toko buku. (Dokumen pribadi Ahmad Soleh)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Membaca mengubah mimpi menjadi hidup dan hidup menjadi mimpi...” Mario Vargas Llosa (2010). Ungkapan ini merupakan penggalan kalimat yang seharusnya sangat menggugah nalar dan hati kita. Jika kita renungkan dan tarik ke konteks Indonesia pada masa prakemerdekaan, bagaimana para pejuang dan pendiri bangsa ini merupakan orang-orang yang “gila baca”. Sehingga, para pendiri bangsa ini memiliki “mimpi” untuk merdeka. “Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia” adalah mimpi yang terus hidup dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan para pejuang kita. Mimpi itu diimani akan menjadi kenyataan, hingga pada akhirnya bangsa ini benar-benar lahir sebagai bangsa yang merdeka.
ADVERTISEMENT
Iqra’! (Bacalah!)” adalah perintah ilahiah yang mendorong umat manusia untuk berpikir, memaksimalkan akal pikiran. Konsekuensi dari perintah membaca adalah berpikir, merenung, menalar, merasakan, memahami, menyelidiki, meneliti, berdialektika, hingga melakukan, dan mengkreasikan. Karena sesungguhnya perintah tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk membaca teks, melainkan membaca semesta alam raya yang luas ini beserta isinya. Membaca perlu kita pahami sebagai aktivitas yang tidak sekadar mendasarkan kata demi kata (tekstual), melainkan memaknainya dalam ranah nontekstual. Sehingga, tak heran, orang-orang terdahulu yang doyan membaca memiliki pikiran-pikiran yang maju dan mampu melampaui zamannya.
Orang yang gemar membaca atau kaum literat memiliki kemampuan berpikir yang sistematis, logis, dan kritis, mampu menangkap makna yang dalam di balik kata-kata. Bahkan, lebih dari itu, banyak membaca akan membuat kita terlatih untuk memahami apa yang tidak mampu dijelaskan oleh kata-kata. Membaca juga mengasuh perasaan kita. Dalam banyak hal, seorang yang rajin membaca, memiliki kemampuan berpikir kritis sehingga dapat mengabstraksi fakta atau kejadian sehingga dapat dipahami lebih komprehensif. Orang yang doyan baca buku juga akan memiliki kepekaan perasaan yang lebih tajam.
Membaca buku sebagai sebuah kegemaran. (Dok. Pribadi Ahmad Soleh)

‘Budaya’ Malas Baca

Di beranda media sosial belakangan ini, ramai menjadi perbincangan warganet mengenai viralnya sebuah video yang menampilkan seorang “politikus muda” berbincang bersama Najwa Shihab. Dalam video singkat itu, dia mengaku dirinya tidak suka membaca buku, kecuali komik. Bahkan, dia tidak ragu mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada budaya membaca buku. Barangkali pesan tersembunyi dari ungkapannya adalah "nggak perlu baca buku juga saya bisa kok jadi seperti ini". Semoga saja asumsi saya ini salah. Tentu, pengakuan semacam ini sebetulnya tidak layak disampaikan seorang "pemimpin" di hadapan khalayak. Setidaknya, janganlah seolah mempromosikan “malas baca” kepada masyarakat. Meskipun tidak semua masyarakat sebodoh itu untuk mengikuti apa yang ia katakan.
ADVERTISEMENT
Kita pahami bersama bahwa kegemaran membaca, wabil khusus membaca buku, memang perlu ditumbuhkan sejak kecil dan dimulai dari pembiasaan di keluarga. Mulai dari membaca buku cerita bergambar yang memiliki pesan dan makna hingga buku-buku pengetahuan umum. Jangan salah, bacaan-bacaan ringan dapat berpengaruh luar biasa terhadap perkembangan kognitif (otak; kepandaian) dan afektif (sikap; watak; emosional) anak. Dengan memperkenalkan anak dengan bacaan sejatinya kita tengah menyiapkan generasi masa depan yang berkualitas. Jika tidak, dampaknya akan sangat berbahaya. Anak-anak kita tidak memiliki kemampuan berpikir mandiri, tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, tidak dapat mengabstraksi, minim gagasan dan inisiatif, hingga sulit berperilaku baik.
Dalam hal ini tantangan kita sangatlah berat. Budaya malas baca buku masih sangat mengakar. Masyarakat kita—bahkan pejabat publik—masih ada yang memandang aktivitas membaca sebagai sebuah kegiatan yang tidak terlalu penting. Membaca dianggap hanya mempelajari teori-teori belaka. Padahal, di sisi lain, masyarakat kita lebih akrab dengan gawai yang bisa memberikan pengaruh negatif terhadap mental dan emosional dibandingkan buku bacaan. Meski tak sepenuhnya merusak, perlahan tapi pasti gawai membuat kita kehabisan waktu untuk membaca buku. Di sana banyak informasi, tetapi hal itu justru membuat kita tidak mampu untuk fokus dan menyerap informasi dengan baik. Di sisi lain, daya baca masyarakat kita memang masih cenderung rendah.
ADVERTISEMENT
Survei Majalah CEOWORLD tentang penduduk negara yang rajin membaca merilis hasil yang menggambarkan kondisi masyarakat kita. Indonesia berada di peringkat 31. Survei yang melibatkan 60 juta responden dari seluruh dunia itu, mendapatkan data secara rerata, per tahunnya masyarakat Indonesia hanya mampu membaca buku sebanyak 5,91 judul, hampir 6 judul. Jumlah yang agaknya kurang begitu menggembirakan dibandingkan penduduk India yang bisa menghabiskan 16 judul dalam setahun. Fakta ini menjadi refleksi bagi kita menyetop budaya malas baca. Sebab, kemalasan membaca akan menghasilkan generasi yang bebal. Sastrawan Taufiq Ismail menyebutnya dengan istilah generasi nol buku.
Ungkapan yang disampaikan dalam acara pemberian penghargaan Habibie Award pada tahun 2007 itu, Taufiq Ismail menyebutkan bahwa akar dari kebobrokan bangsa ini adalah adanya budaya malas baca dalam fase pertumbuhan intelektual. Seharusnya membaca dan menulis menjadi tradisi di sekolah, tetapi pada kenyataannya belum demikian. Keresahan ini sudah sejak lama dirasakan. Betapa bahayanya jika sekolah melahirkan generasi yang rabun membaca dan gagap menulis karena dampaknya bisa sangat besar bagi masa depan bangsa ini. Kebodohan akan terus mengakar, kemiskinan kian mendera, korupsi merajalela, kecurangan dan kongkalikong dalam pemilihan umum terus terjadi, hingga berujung pada “penghisapan” yang dilakukan oleh oknum-oknum pemegang kuasa yang tidak memiliki kompetensi dan integritas untuk berbuat adil. Kesadaran ini harusnya sudah dapat menjadi refleksi bagi kita semua agar (sekali lagi) menyetop budaya malas baca dan memulai budaya baca buku.
Anak kecil membaca buku cerita bergambar. (Dok. Pribadi Ahmad Soleh)

Menghidupkan Mimpi

Dalam novel Kucing Penyelamat Buku, penulis yang juga dokter di Nagano, Jepang, Sosuke Natsukawa, menceritakan bagaimana seorang anak muda bernama Rintaro menemukan fakta yang luar biasa menarik dari buku. Kakek anak muda itu merupakan seorang yang gila buku. Ia memiliki toko buku. Sepeninggal kakeknya, Rintarolah yang menjadi penjaga toko. Dalam perjalanannya, Rintaro bertemu dengan beragam tokoh yang merupakan para penggila buku. “Buku memiliki kuasa amat besar.” Begitulah pesan sang kakek kepada Rintaro. Saya rasa keyakinan sang kakek ini merupakan penggambaran fakta dan realitas.
ADVERTISEMENT
Barangkali apa yang akan saya tulis di bagian akhir ini akan menjadi mimpi yang perlu kita hidupkan bersama. Seperti kata Llosa di awal tulisan ini: “Membaca mengubah mimpi menjadi hidup...” Coba kita bayangkan, jika saja anak-anak kita begitu akrab dengan buku-buku cerita dan pengetahuan umum. Masyarakat kita mengakrabi buku-buku dan ragam bacaan lainnya. Para pejabat negara sibuk membaca buku di sela kesibukan menjalankan tugas negara. Para politikus beradu gagasan, bukan menyerang personal dan menghina satu sama lain.
Selain personal orangnya, juga tersedia fasilitas baca dan aksesnya mudah dijangkau. Misalnya, setiap rumah punya pojok perpustakaan sendiri sehingga kebiasaan membaca tumbuh sejak dini dan menjadi kebiasaan anak-anak di rumah. Setiap sudut kota sampai kelurahan ada ruang baca, taman baca, dan semacamnya. Kegiatan masyarakat menjadi lebih esensial. Setiap pusat keramaian disediakan ruang bacaan gratis dan kantor-kantor pemerintahan maupun kantor umum tempat bekerja menyediakan ruang baca—bukan hanya smooking room. Kampus dan kedai kopi menjadi ruang diskusi terbuka. Ruang diskusi yang berisi perdebatan dan argumentasi berbobot dan bernas. Orang-orang berbincang dengan narasi dan gagasan tentang sejarah dan masa depan.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kita berani bermimpi?