Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Merawat Kebiasaan Baca Buku
29 April 2025 12:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Soleh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tanggal 23 April ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Buku Sedunia. Penetapan itu didorong oleh semangat menumbuhkan minat baca di tengah masyarakat. Namun, kita masih terjebak dalam persoalan yang amat mendasar. Beberapa waktu yang lalu, lapak baca gratis yang digelar kelompok masyarakat bernama Pustaka Malam Pati di Alun-Alun Pati mendapat respons tak menyenangkan dari Satpol PP Kabupaten Pati. Dalam video yang beredar, pegiat Pustaka Malam Pati terlihat beradu mulut dengan aparat yang menghampiri mereka yang sedang berkegiatan di lokasi. Alasan Satpol PP menghampiri dan hendak membubarkan mereka konon dipicu oleh masalah perizinan. Selain itu, taman baca gratis Pustaka Malam Pati dianggap mengganggu ketertiban umum. Pertanyannya, makhluk apa yang terganggu dengan kegiatan membaca buku?
ADVERTISEMENT
Peristiwa yang terjadi pada 12 April 2025 ini menjadi insiden buruk bagi para pegiat literasi di akar rumput. Tentunya, pengerahan aparat untuk “menertibkan” kegiatan literasi yang digelar komunitas masyarakat ini sangat memprihatinkan. Hal itu juga berpotensi memunculkan ketakutan dan kengerian bagi para aktivis literasi untuk menggelar kegiatan serupa karena khawatir “ditertibkan” oleh aparat. Padahal, kegiatan digelar di ruang terbuka yang menjadi titik kumpul masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan “Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.”
Dalam kasus ini, Alun-Alun Kabupaten Pati merupakan wilayah strategis di bawah pemkab yang mestinya menjadi ruang bagi masyarakat menggelar berbagai kegiatan yang berdampak positif. Pemanfaatan ruang terbuka untuk kegiatan lapak baca gratis adalah hal yang positif karena dengan adanya lapak baca, masyarakat yang berada di kawasan tersebut dapat merasakan manfaatnya. Misalnya bagi masyarakat yang tak mampu membeli buku jadi dapat mengakses dan membaca buku bacaan secara cuma-cuma, mengikuti diskusi yang dapat melatih nalar, dan berjejaring dengan komunitas literasi, pencinta buku, dan creative minority lainnya. Dalam jangka panjang, keberadaan lapak baca dan kegiatan literasi semacam ini dapat membangkitkan daya baca masyarakat dan mendekatkan masyarakat dengan buku sebagai sumber pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Tentu, kejadian di atas sangatlah miris. Di tengah minimnya minat baca masyarakat terhadap buku, kegiatan literasi yang harusnya mendapat dukungan dan apresiasi, malah mendapat respons negatif dari aparat. Padahal, upaya-upaya yang dilakukan komunitas seperti Pustaka Pati ini dapat menjadi pemantik yang mendorong tumbuhnya kecintaan masyarakat terhadap aktivitas membaca buku. Mengapa demikian? Fakta yang perlu kita sadari bersama adalah minat baca masyarakat Indonesia terhadap buku masih mengalami kelesuan.
Pembaca yang Lesu
Lesunya daya baca masyarakat, setidak-tidaknya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, di level individu, kita terjebak dalam penggunaan media sosial secara berlebihan. Riset yang dilakukan The Educator Australia menggambarkan hasil yang mengejutkan soal ini. Mayoritas pelajar di Australia mengalami keengganan atau hilang minat bacanya karena terdistraksi karena pengaruh media sosial. Sementara, program literasi di sekolah hanya dianggap sebagai bentuk tugas, bahkan sebagian menganggap kegiatan membaca sebagai hukuman. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan Stefany dkk (2024) pada pelajar di Medan, menguatkan fakta bahwa anak-anak yang gemar bermain media sosial lebih dari dua jam per hari memiliki minat baca yang rendah. Secara psikologis, media sosial memang dapat menimbulkan dampak adiksi yang mengkhawatirkan (Lanier: 2020). Sehingga perlu dibatasi, bahkan pada level tertentu, penggunaan media sosial harus dihentikan agar kita tidak ketergantungan.
ADVERTISEMENT
Keberadaan media sosial di dalam genggaman kita memang membuat kita menerima banyak informasi dengan cepat. Sehingga, kita terbiasa dengan sesuatu yang instan dan ringkas. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Youtube menyajikan konten video pendek (short video) yang lama kelamaan merangsang otak untuk terbiasa menerima informasi secara instan. Kebiasaan ini bertolak belakang dengan kebiasaan membaca buku yang mengharuskan kita menelaah dan memahami secara saksama, runtut, dan terkadang harus membaca dan berpikir ulang untuk menemukan pesan atau informasinya dengan tepat. Singkatnya, memirsa ragam konten video yang tersedia di media sosial secara berlebihan dapat membuat kita malas untuk “berlelah-lelah” membaca buku.
Kedua, persoalan yang juga tak kalah penting adalah belum ada kehendak politik (political will) yang mendorong terciptanya budaya baca yang baik di masyarakat. Peningkatan budaya membaca memang berawal dari individu atau dari dalam diri kita. Namun, lingkungan yang mendukung juga memengaruhi bagaimana kebiasaan itu terbentuk. Sehingga, adanya kehendak politik mutlak dibutuhkan. Kesadaran bersama di masyarakat sudah mulai tumbuh. Hal ini terbukti dengan lahirnya komunitas-komunitas masyarakat yang concern dalam menumbuhkan semangat literasi (membaca dan menulis). Tentu, hal itu tidak akan seimbang jika tidak disertai dengan kehendak politik dari pemangku kebijakan. Kondisi inilah yang membuat pembaca kian lesu.
ADVERTISEMENT
Merawat Kebiasaan
Dengan sederet persoalan yang ada, dapat kita simpulkan bahwa kebiasaan membaca buku pada masyarakat Indonesia belumlah cukup menggembirakan. Bisa kita bayangkan bagaimana bangsa ini ke depan jika generasinya berjarak teramat jauh dari buku yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Maka, menjadi tanggung jawab kita untuk mengakhiri kegelapan ini. Bagaimana caranya? Saya terpikirkan dua langkah konkret yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kondisi ini. Pertama, perlu dilakukan langkah-langkah struktural oleh pemegang kebijakan, dalam hal ini pemerintah, regulator, aparat, dan kementerian/lembaga terkait. Ya, secara struktural harus ada kehendak politik (political will) dari penyelenggara negara untuk mewujudkan ekosistem pembaca yang baik. Perlu dikawal sebagai perwujudan amanat UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Hal ini bisa dilakukan dengan pelaksanaan program dan kebijakan melalui jalur pendidikan, di mana sekolah-sekolah didorong untuk menggerakkan literasi dengan pembiasaan kegiatan membaca yang bermakna. Selain itu, jika tersedia anggaran, negara harus mengupayakan membangun sarana prasarana yang memadai, seperti memperbanyak perpustakaan daerah, perpustakaan keliling, dan memastikan ketersediaan ruang membaca di tempat-tempat umum. Selain itu, secara politis penyelenggara negara juga bisa melakukan intervensi kebijakan pada ruang pemasaran buku, sehingga harga buku dapat ditekan menjadi lebih murah dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah, aparat, dan segenap masyarakat dapat melakukan langkah-langkah kultural. Pendekatan kultural dibutuhkan untuk menjangkau masyarakat di akar rumput. Hal ini secara konkret dapat dilakukan dengan memberikan dukungan dalam berbagai kegiatan yang digelar para pegiat dan komunitas literasi, seperti lapak baca gratis, diskusi atau bincang buku, program bazar buku murah, donasi atau hibah buku, dan pendirian taman baca masyarakat. Mulai sekarang, mari ubah pola pikir kita dan memandang jauh ke depan. Percayalah jika masyarakat kita memiliki budaya membaca yang baik, generasi mendatang akan membawa kemajuan bagi bangsa ini.
Selamat Hari Buku Sedunia!