Krisis Perubahan Iklim, Bagaimana Cara Australia Menghadapinya?

Ahmad Abidzar Al Ghifari
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
Konten dari Pengguna
25 April 2023 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Abidzar Al Ghifari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Demonstran Aktivis Lingkungan. Foto : Markus Spiske/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demonstran Aktivis Lingkungan. Foto : Markus Spiske/Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam beberapa tahun belakangan, isu terkait perubahan iklim menjadi suatu isu yang cukup sering diperbincangkan. Hal ini didasari oleh mulai munculnya kesadaran akan pentingnya mengambil suatu langkah untuk memperbaiki kondisi bumi yang setiap tahunnya terus mengalami penurunan, dan dampak dari hal tersebut mampu memberikan pengaruh yang kurang baik bagi keberlangsungan ekosistem di seluruh wilayah bumi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, banyak negara yang mulai mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim, mulai dari partisipasi dalam perjanjian internasional hingga inisiasi tindakan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Perubahan iklim sendiri dipengaruhi oleh seberapa banyak gas rumah kaca yang dilepaskan ke lapisan permukaan udara, kandungan gas meliputi senyawa kimia seperti karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2) , gas metana (CH4) dan klorofluorokarbon (CFC).
Salah satu aktivitas penghasil emisi gas rumah kaca terbesar berasal pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi dan bahan bakar organik lainnya, selain itu deforestasi atau penggundulan lahan hutan menjadi salah satu penyebab di balik besarnya pembuangan emisi gas. Terkait isu ini, Australia merupakan salah satu negara yang cukup terkena dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini.
ADVERTISEMENT
Secara global Australia merupakan salah satu negara yang menyumbang emisi gas yang cukup rendah, dilihat dari jumlah populasi negara mereka yang relatif kecil dibandingkan negara di sekitarnya seperti Indonesia. Namun kondisi tersebut tidak menghindarkan mereka dari dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
Sebagaimana halnya bencana kebakaran hutan beberapa tahun lalu yang menghanguskan banyak sekali hutan di Australia, atau dikenal dengan sebutan Black Summer, yang mengakibatkan Australia harus mengalami kerugian besar di berbagai sektor. Kebakaran itu sendiri diperburuk oleh peningkatan suhu sekitar 1,5 derajat lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Dewan Iklim Australia. Dan memang permasalahan mengenai cuaca ekstrim di Australia menjadi permasalahan cukup dominan di negara tersebut.
Kebakaran yang terjadi di hutan Tasmania, tahun 2020. Foto : Matt Palmer/Unsplash
Selain kebakaran, terdapat bencana alam lain yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang cukup ekstrim. Yaitu banjir parah yang melanda Australia di tahun 2022 kemarin, penyebab utamanya diakibatkan oleh tingginya curah hujan pada sebagian wilayah yang setara dengan 70 persen curah hujan dalam setahun. Di beberapa daerah pada negara bagian di Australia, catatan curah hujan mencapai 200 milimeter bahkan 350 millimeter. Berdasarkan data yang dilansir dari situs BMKG, curah hujan lebat pada umumnya hanya sekitar 100-150 millimeter saja per harinya dalam kategori hujan yang sangat lebat, dan 150> millimeter untuk kategori hujan ekstrem.
Kondisi banjir di pemukiman kota Windsor, NWS, Australia, Selasa (05/7/2022) Foto : Wes Warren/Unsplash
Banjir ini pun menjadi suatu hal yang sangatlah meresahkan bagi penduduk Australia karena menghambat aktivitas harian masyarakat bahkan menghentikan aktivitas mereka akibat sulitnya akses bepergian ke suatu tempat. Semakin tingginya suhu di lapisan atmosfer, menyebabkan peningkatan kelembaban yang tinggi pula, sehingga curah hujan pun meningkat.
ADVERTISEMENT
Melihat besarnya dampak buruk yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut, terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah Australia melalui kebijakan-kebijakan politik dalam negeri mereka. Pada tahun 2022 kemarin, pemerintah parlemen Australia telah mengesahkan sebuah Undang-Undang yang mengatur pelepasan emisi gas karbon yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim.
Dalam rencana undang-undang untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050, langkah pemerintah Australia dimulai dari pengurangan emisi sebesar 43 persen pada tahun 2030. Pengambilan keputusan ini menghasilkan pencapaian 50 persen lebih besar dari pemerintah sebelumnya, dan peraturan tersebut diharapkan mulai diterapkan pada bulan Juni mendatang.
Dilansir dari BBC, sejak tahun 2011 Australia sebenarnya sudah terlebih dahulu memberikan pengajuan pengesahan RUU berkaitan dengan penetapan pajak terhadap produksi emisi karbon, yang tujuannya untuk mengurangi polusi di negara mereka, namun masih ada pertentangan dari beberapa pihak
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat beberapa konferensi internasional yang membahas permasalahan mengenai perubahan iklim yang Australia ikut terlibat di dalamnya. Australia menjadi salah satu negara yang berpartisipasi dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Konferensi Para Pihak (COP) yang diselenggarakan setiap tahunnya.
Australia telah berpartisipasi dalam beberapa Konferensi Para Pihak atau COP dan telah terlibat dalam negosiasi iklim internasional, termasuk diskusi tentang implementasi Protokol Kyoto dan perjanjian pasca-Kyoto. Keterlibatan Australia di forum-forum tersebut merupakan salah satu bentuk kepedulian Australia terkait isu perubahan iklim tersebut.
Dilansir dari situs resmi Kementerian Koordinator Ekonomi Republik Indonesia, Australia dan Indonesia tengah menjalin kemitraan dalam pengembangan NZE (Net Zero Emission) pada tahun 2060, yang didukung langsung oleh Australia melalui IEA (International Energy Agency) yang mereka danai. Tujuan utamanya adalah mempercepat transisi energi dengan berupaya lebih kuat lagi dalam mitigasi dan pengurangan emisi.
ADVERTISEMENT