Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Konteks, Orang Bejo, dan Variasi Dosa
13 Januari 2023 12:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Abu Rifai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika kamu belajar keras demi mendapatkan nilai bagus atau prestasi membanggakan, pernahkah kamu mendengar seseorang bilang di dekat kupingmu "orang pintar akan kalah sama orang bejo"? Ujaran tersebut dinyatakan dengan nada pesimistis. Dunia seolah tak bisa diupayakan dan murni untung-untungan—seperti hasil mata dadu di atas meja judi.
ADVERTISEMENT
Kalau pernah, mungkin kamu kesal. Tidak apa. Ujaran seperti itu memang pantas memantik rasa sebal karena tidak menempatkan tuturan pada situasi yang pantas. Hal itu sembrono, dangkal, dan tidak solutif. Secara sederhana, ujaran tersebut tidak mengindahkan konteks.
Memahami Konteks
Salah satu elemen penting dalam bahasa adalah konteks. Konteks membawa sebuah ujaran pada tataran pemaknaan yang lebih akurat. Sebuah teks yang secara literal bermakna "A" bisa jadi dituturkan dengan maksud "B" karena situasi tertentu.
Ketidakmampuan mitra tutur dalam menafsirkan ujaran tersebut bisa berujung pada masalah. Untuk memahami konteks secara utuh, kita secara sederhana bisa menggunakan beberapa aspek dalam disiplin linguistik, yakni field, tenor, dan mode.
Pertama, field menekankan pada topik pembahasan antarpenutur. Apa saja yang dibicarakan? Apa "isinya"? Kedua, tenor menyoroti siapa saja penutur dalam suatu obrolan. Kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan seperti: apa hubungan yang dimiliki para penutur? Bagaimana latar belakang sosial-politiknya? Adakah jarak status antara mereka? Terakhir, mode fokus pada model atau medium komunikasi. Apakah obrolan dilakukan secara lisan atau tulisan? Media apa yang digunakan?
ADVERTISEMENT
Implementasi Ujaran "Orang Bejo"
“Orang pintar akan kalah sama orang bejo" tidak tepat dituturkan dalam situasi sebelumnya karena menegasikan dan membandingkan dua hal, yakni “orang pintar” dan “orang bejo”. “Orang pintar” diasumsikan berada di luar lingkup “orang bejo” dan seolah berlawanan. Selain itu, “orang pintar” menjadi subjek yang mengalami kekalahan absolut di depan “orang bejo” sehingga posisinya berada di bawah.
Dalam kondisi tutur di atas, orang yang mendengarkan “orang pintar akan kalah sama orang bejo” dirujuk sebagai “orang pintar” yang usaha kerasnya bisa saja kalah dengan “orang bejo” yang tidak diketahui. Ungkapan tersebut mereduksi upaya belajar mitra tutur. Padahal secara konseptual, keberuntungan sesungguhnya tidak melulu merupakan entitas tunggal yang lepas dari pengaruh faktor lain.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif Islam, misalnya, keberuntungan berkelindan dengan usaha (ikhtiar), doa, dan peran Tuhan. Setiap manusia diminta untuk mengusahakan yang terbaik sembari terus berdoa agar Tuhan mengaruniakan kebaikan. Dari sanalah keberuntungan muncul sebagai akibat dari rentetan usaha dan doa.
Di kalangan pebisnis, keberuntungan juga dimaknai sebagai kombinasi persiapan matang dan kesempatan. Keberuntungan tidak muncul tiba-tiba sebagai faktor tunggal.
Oleh karena itu, “orang pintar akan kalah sama orang bejo” dalam situasi di atas tidak tepat karena kehadirannya justru menghalangi peluang keberhasilan (yang dalam banyak kesempatan, disebut sebagai “ke-bejo-an”). Status “orang pintar” tidak harus dinegasikan dengan “orang bejo”. Kepintaran juga berjalanan beriringan dengan keberuntungan—yang bisa diupayakan.
Namun, apakah “orang pintar akan kalah sama orang bejo” sama sekali tidak bisa digunakan?
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa situasi, ungkapan tersebut sesuai dan bahkan bisa dimanfaatkan untuk memotivasi. Sebagai contoh, seseorang dengan latar belakang pendidikan rendah tidak percaya diri untuk memulai bisnis karena yakin pasti kalah dari para sarjana. Kita bisa menasihatinya dengan “orang pintar akan kalah sama orang bejo”, menekankan bahwa keberhasilan bisa diperoleh siapa pun. Yang paling penting: kita mau berusaha keras untuk menggapainya. Ke-bejo-an tidak dimonopoli oleh para pemilik gelar.
Sesat Pikir dalam Variasi Dosa
Contoh lain ungkapan yang tidak mengindahkan konteks bisa dilihat pada situasi berikut. Kali ini, saya akan lebih praktis dan ringkas dalam menggunakan konsep field, tenor, dan mode.
ADVERTISEMENT
Sekilas, ujarannya mungkin tampak benar. Siapa sih di dunia ini yang tidak memiliki dosa—dengan segala ragamnya? Seseorang barangkali tidak mencuri, tetapi menggunjing seseorang berkali ulang. Kemudian, seseorang yang lain mungkin saja tak bergunjing, tetapi ia ternyata hobi membohongi istri.
Tidak ada manusia yang seratus persen maksum. Secara konseptual, nasihat juga tidak mensyaratkan kesucian diri. Siapa pun bisa memberikan nasihat—didasari semangat untuk senantiasa mendekatkan diri pada (pemilik) kebaikan, betapa pun kekurangan-kekurangan bisa muncul di tengah jalan. Oleh karena itu, variasi dosa tak perlu disebut-sebut untuk melegitimasi kesalahan diri.
Melihat dari field (nasihat untuk tidak menipu), tenor (dua orang teman), dan mode (pesan pribadi di media sosial), ujaran "diamlah, kita hanya berbeda jalan dalam dosa" cenderung sesat pikir karena tidak mempertimbangkan konteks.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sesat pikir akibat miskonsepsi atas konteks tidak hanya ditemukan dalam komunikasi interpersonal terbatas. Pada tataran kehidupan politik yang lebih luas, penyimpangan-penyimpangan konteks bisa kita temukan dengan cukup mudah. Dua tahun lalu, saya menulis esai tentang kesesatan berpikir tentang pertanyaan "apa yang sudah kamu lakukan untuk negara?" untuk membungkam orang-orang yang mengkritik program pemerintah.
Pernyataan tersebut sesat karena, (1) dalam negara demokrasi, warga negara berhak mengkritik pemerintah jika ada program yang dinilai tidak menguntungkan rakyat dan; (2) setiap warga negara yang mampu membayar pajak berarti telah memberikan urunan kesejahteraan bersama. Pajak adalah wujud kontribusi.
Kecerdasan terkait konteks merupakan modal penting untuk menganalisis masalah—tidak hanya melulu soal isu bahasa. Lebih jauh, berpikir kontekstual bisa memudahkan kita dalam membangun bisnis, memasarkan produk, atau sesederhana mendapatkan hati orang yang disukai. Pemahaman terkait field (isi), tenor (siapa), dan mode (medium) bisa dikorelasikan lebih jauh, misalnya, menjadi nilai/kualitas produk, target penjualan, dan medium pemasaran.
ADVERTISEMENT
Jadi, sudahkah kamu berpikir secara kontekstual?