Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Melihat Dampak Negatif Budaya Tipping
2 Desember 2024 10:21 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari AHMAD ADYLA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya tip merupakan budaya yang memiliki dampak yang positif bagi para pekerja jasa. Mereka mendapatkan penghasilan tambahan berdasarkan kinerja mereka terhadap pelanggan mereka. Budaya ini populer di negara–negara eropa dan juga Amerika. Bahkan, ada regulasi mengatakan bahwa pelanggan harus memberikan beberapa persen dari total biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut. Setelah banyak diterapkan dinegara-negara eropa dan Amerika. Negara-negara lain khususnya Indonesia mulai mengikuti budaya ini. Dimulai dari banyaknya penyedia jasa online menambahkan fitur tip pada aplikasi mereka. Contohnya Gojek, Shopee, Grab, dan masih banyak lainnya menambahkan fitur tip ini. Fitur tip ditujukan untuk kurir atau driver. Ketika pelanggan merasa puas terhadap kinerja mereka, pelanggan dapat memberikan tip. Ada juga yang hanya ingin memberikan kepada kurir atau driver walaupun kinerjanya biasa biasa saja, karena dengan alasan untuk sedekah atau berbagi. Selain penyedia jasa online, sekarang juga diterapkan oleh penyedia jasa yang offline. Seperti pada kasir cafe, petugas parkir, dan jasa yang memperbaiki barang (service). Tentu, hal ini akan memberikan dampak positif bagi para penyedia jasa dan juga dari customer itu sendiri karena penyedia jasa dapat mendapatkan penghasilan tambahan dan customer dapat memberikan uang untuk menunjukkan rasa puasnya. Namun, apakah budaya ini selalu membawa dampak baik, atau justru ada sisi negatif yang perlu kita pikirkan?
ADVERTISEMENT
Ikhlas atau Terpaksa?
Awalnya, tip dimaksudkan untuk menghargai pelayanan yang memuaskan. Tapi, sekarang, memberi tip mulai dianggap sebagai kewajiban. Banyak orang merasa tidak enak kalau tidak memberi tip karena takut dianggap pelit. Hal ini bisa menciptakan tekanan sosial yang membuat pelanggan merasa terpaksa memberi tip, meski sebenarnya mereka tidak puas dengan layanan yang diberikan. Tekanan sosial dalam budaya memberi tip ini bisa membuat pelanggan tidak nyaman. Mereka merasa harus memberi tip, meskipun seharusnya itu adalah keputusan sukarela. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa berkembang menjadi anggapan bahwa setiap pelanggan wajib memberi tip, tanpa melihat situasi atau kualitas layanan.
Apresiasi atau Kewajiban?
Budaya memberi tip juga punya sisi rumit. Bagi pekerja jasa, tip sering jadi tambahan penghasilan yang mereka andalkan. Tapi bagi pelanggan, kebiasaan ini bisa terasa membebani, apalagi jika layanan yang diterima biasa-biasa saja.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara, seperti Amerika, restoran sering memasukkan “biaya layanan” langsung ke dalam tagihan. Cara ini, terkesan memaksa pelanggan untuk memberikan tip kepada pelayan walaupun untuk pelayanan yang diberikan tidak memberikan kepuasan. Namun, di Indonesia, sistem seperti ini belum umum. Akibatnya, muncul norma sosial yang membuat pelanggan merasa perlu memberi tip, meskipun tidak diwajibkan.
Media sosial juga ikut berperan memperkuat kebiasaan ini. Tidak jarang kita melihat komentar atau cerita yang mengkritik pelanggan karena tidak memberi tip. Padahal, tujuan awal tip adalah untuk memberikan penghargaan, bukan kewajiban.
Kembali Kepada Tujuan Awal Tip
Pada dasarnya, tip merupakan sebuah imbalan sebagai rasa puas pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan. Namun dengan seiringnya waktu, tip dijadikan sebuah harapan para penjual jasa sebagai penghasilan tambahan dan pada akhirnya menjadi sebuah trend sebagai tip hunter atau pemburu tip. Tip menjadi sebuah ekspektasi baru terhadap pelanggan. Dan ketika ekspektasi itu tidak terwujud, maka akan ada sebuah perasaan yang kecewa.
ADVERTISEMENT
Dengan hal ini, diperlukan sebuah edukasi kepada pekerja jasa bahwa semua pelanggan sama baik yang memberikan sebuah tip maupun tidak. Dengan ini, pekerja memperlakukan semua pelanggan sama dan tanpa berekspektasi untuk menerima tip.
Tip memang memberikan sisi positif untuk pemberi dan penerima. Pemberi mendapatkan kepuasaan batin dan penerima mendapatkan penghasilan tambahan. Akan tetapi, ketika pelanggan tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan tetapi karena tip sudah menjadi sebuah budaya. Maka, ini akan menjadi sebuah tekanan baru bagi pelanggan.