Konten dari Pengguna

Mengantongi Batu untuk Menahan Buang Air: Dilihat dari Kacamata Epistemologi

AHMAD AJI SAPUTRA
Mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
15 April 2025 12:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AHMAD AJI SAPUTRA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi memegang batu kecil kerikil (Sumber: www.istockphoto.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memegang batu kecil kerikil (Sumber: www.istockphoto.com)
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia, khususnya suku Jawa, dikenal memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, termasuk dalam hal menghadapi situasi sehari-hari. Salah satu praktik yang cukup unik dan masih banyak ditemukan adalah kebiasaan mengantongi batu kecil untuk menahan keinginan buang air, terutama saat berada dalam perjalanan jauh, menghadiri hajatan, upacara keagamaan, atau ketika berada di lokasi yang dianggap sakral.
ADVERTISEMENT
Batu yang digunakan tidak sembarangan, biasanya berasal dari alam sekitar seperti halaman rumah, sungai, atau tempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan spiritual. Meskipun terdengar sederhana dan bahkan aneh bagi sebagian orang, praktik ini telah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah kebiasaan ini memiliki dasar ilmiah, atau hanya sebatas kepercayaan turun-temurun yang diwariskan tanpa bukti nyata?
a. Mitos dan Kepercayaan di Masyarakat Jawa
Dalam sistem kepercayaan tradisional Jawa, batu kecil sering kali dianggap sebagai media penyeimbang energi atau simbol kekuatan. Batu dipercaya mampu “menyerap” atau “mengikat” sesuatu, termasuk keinginan untuk buang air. Dalam konteks budaya, batu menjadi semacam "pengunci niat" atau penguat tekad untuk tidak buang air sembarangan.
ADVERTISEMENT
Secara simbolik, batu mewakili unsur bumi yang kokoh dan diam, kontras dengan cairan (air seni) atau zat buangan (feses) yang bersifat keluar atau mengalir. Oleh karena itu, memasukkan batu ke dalam kantong diartikan sebagai usaha metaforis untuk “menahan” sesuatu yang hendak keluar dari tubuh.
Selain itu, dalam kepercayaan spiritual, ada anggapan bahwa buang air sembarangan di tempat angker atau sakral bisa mendatangkan celaka atau gangguan dari makhluk gaib. Mengantongi batu dianggap sebagai cara untuk menghormati tempat dan menghindari hal buruk tersebut.
b. Sanggahan Filsafat atas Mitos Mengantongi Batu untuk Menahan Buang Air
Dalam perspektif filsafat, khususnya epistemologi—yaitu cabang filsafat yang membahas tentang sumber dan kebenaran pengetahuan—mitos bahwa "mengantongi batu bisa menahan kencing" merupakan bentuk kepercayaan tradisional yang belum dapat dibuktikan secara rasional maupun empiris. Mitos ini lebih bersifat sebagai pengetahuan mitis yang diwariskan secara turun-temurun tanpa dasar logis maupun ilmiah yang kuat.
ADVERTISEMENT
Secara epistemologis, kebenaran sejati harus dapat diuji melalui tiga pendekatan utama, yaitu:
Koherensi – Apakah keyakinan itu konsisten secara logis?
Korespondensi – Apakah sesuai dengan realitas atau fakta yang teramati?
Pragmatisme – Apakah keyakinan itu berguna atau berdampak nyata?
Jika kita menilai mitos ini dari sudut koherensi, maka keyakinan bahwa batu dapat memengaruhi fungsi kandung kemih manusia tidak memiliki dasar logika yang dapat dipertanggungjawabkan. Batu hanyalah benda mati, dan tidak ada hubungan langsung antara benda tersebut dengan sistem saraf atau otot kandung kemih.
Dalam pendekatan korespondensi, tidak ditemukan bukti ilmiah bahwa membawa batu dapat menghentikan dorongan fisiologis untuk buang air kecil. Dorongan tersebut dipicu oleh mekanisme kompleks dalam tubuh manusia, termasuk otak, sistem saraf, ginjal, dan otot sfingter urin. Tidak ada batu yang mampu mengintervensi sistem itu tanpa alat atau proses medis.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari sudut pragmatisme, meskipun keyakinan ini mungkin memberikan efek sugesti pada individu (misalnya karena keyakinan kuat atau autosugesti), itu tidak membuktikan bahwa batunya yang memiliki kemampuan, melainkan kekuatan psikologis si individu. Maka mitos ini tidak berdiri kokoh sebagai pengetahuan objektif, melainkan sebagai bagian dari keyakinan subjektif yang tidak universal.
Filsuf seperti Descartes, yang menekankan pentingnya keraguan metodologis, mendorong kita untuk mempertanyakan segala keyakinan yang tidak dapat dibuktikan secara jelas dan terang-benderang. Mengandalkan batu sebagai alat menahan buang air adalah bentuk penerimaan pasif terhadap tradisi tanpa kritik rasional, dan bertentangan dengan semangat filsafat yang mengedepankan nalar.
c. Mengapa Bisa Terasa Efektif?
Dalam ranah epistemologi, mitos bahwa "mengantongi batu bisa menahan buang air kecil" merupakan bentuk pengetahuan mitis yang belum lolos dari uji rasional dan empiris. Dari sisi koherensi logis, tidak ada penjelasan yang bisa menjembatani hubungan antara benda mati seperti batu dengan sistem urin manusia. Sementara dari sudut korespondensi dengan kenyataan, ilmu pengetahuan modern tidak menemukan korelasi atau sebab-akibat antara batu dan kendali fisiologis tubuh terhadap dorongan buang air.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat sanggahan ini, fisiologi tubuh manusia memberikan penjelasan yang sangat jelas. Dorongan untuk buang air kecil terjadi karena proses filtrasi di ginjal yang menghasilkan urin, kemudian ditampung dalam kandung kemih. Ketika kandung kemih mulai penuh, sinyal dikirim ke otak melalui saraf sensorik, yang menciptakan sensasi ingin buang air. Kemudian otak memutuskan untuk menahan atau melepaskan urin dengan mengatur otot sfingter yang berada di saluran kemih (uretra).
Proses ini melibatkan sistem saraf pusat dan saraf tepi, bukan benda eksternal seperti batu. Menahan kencing adalah hasil dari pengendalian otot dan sinyal saraf—bukan dari benda yang dikantongi di saku. Sejauh ini, tidak ada bukti medis yang menunjukkan bahwa membawa batu di saku dapat mengubah sistem saraf atau menekan fungsi kandung kemih.
ADVERTISEMENT
Jika ada yang merasa terbantu dengan membawa batu tersebut, hal itu lebih dapat dijelaskan lewat konsep psikosomatik atau efek plasebo, yaitu pengaruh sugesti atau keyakinan terhadap tubuh sendiri. Ini bukan berarti batu tersebut memiliki kekuatan fisik tertentu, melainkan keyakinan mental yang secara tidak langsung memengaruhi persepsi tubuh terhadap rasa ingin buang air.
Kembali ke filsafat, menurut René Descartes, kebenaran haruslah didasarkan pada pengetahuan yang dapat diragukan dan diuji. Maka, menerima mitos ini tanpa pembuktian adalah bentuk penerimaan dogmatis yang bertentangan dengan semangat berpikir kritis.
d. Pandangan Kritis terhadap Mitos Ini
Meskipun tampak tidak berbahaya, keyakinan terhadap mitos ini bisa membawa dampak negatif jika dijadikan satu-satunya andalan. Terlalu sering menahan buang air karena bergantung pada “batu” bisa menyebabkan risiko kesehatan:
ADVERTISEMENT
• Infeksi Saluran Kemih (ISK): Terjadi akibat bakteri berkembang di kandung kemih karena terlalu lama tertahan.
• Kandung Kemih Iritatif: Akibat tekanan berlebihan dan frekuensi penahanan yang tinggi.
• Sembelit Kronis: Terutama jika menahan buang air besar secara berulang.
Penting untuk memahami bahwa tubuh memberikan sinyal bukan untuk diabaikan, tetapi untuk direspons dengan sehat. Batu bisa dijadikan simbol penguat kontrol diri, namun tidak boleh menggantikan kebutuhan biologis dan penanganan medis yang sesuai.
Referensi
Astuti, W., Pramudito, T., & Nugroho, Y. (2021). Hubungan Menahan Buang Air Kecil dengan Infeksi Saluran Kemih pada Remaja. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Descartes, R. (1998). Discourse on method and meditations on first philosophy (D. Cress, Trans., 4th ed.). Hackett Publishing Company.
ADVERTISEMENT
Lestari, A., & Suryanto, P. (2020). Efek Placebo dan Sugesti dalam Pengobatan Tradisional. Jurnal Psikologi UGM.
Nurhasanah, A. (2019). Peran Distraksi dalam Mengontrol Impuls Tubuh. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Konseling.
Saputra, A. & Kurniawan, D. (2022). Tradisi dan Simbolisme dalam Budaya Jawa. Jurnal Kebudayaan Nusantara.