Konten dari Pengguna

Senjata Otonom Sangat Meresahkan

ahmad andhika
Saya berasal dari kalimantan dan berkuliah di universita muhammadiyah malang jurusan hubungan internasional
15 Desember 2024 17:04 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ahmad andhika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Senjata otonom, termasuk ranjau darat, telah menjadi salah satu alat destruktif yang paling kontroversial dalam konflik bersenjata. Ranjau darat, yang dirancang untuk melukai atau membunuh siapa pun yang memicu mekanismenya, tidak dapat membedakan antara kombatan dan warga sipil, sehingga melanggar prinsip hukum humaniter internasional. Dampak penggunaan ranjau darat sangat luas dan merusak, baik secara fisik maupun psikologis.

Setelah Amnesty International mengungkapkan bahwa militer Myanmar diduga menggunakan ranjau darat di wilayah konflik, sebuah tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan perang. Menurut laporan tersebut, militer Myanmar menanam ranjau di dekat desa-desa yang menjadi target operasi militer mereka, yang mengakibatkan banyak korban sipil, termasuk anak-anak. Amnesty mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional, khususnya Konvensi Ottawa yang melarang penggunaan ranjau darat antipersonel.
SENJATA OTONOM Gambar :desain pribadi(canva)
zoom-in-whitePerbesar
SENJATA OTONOM Gambar :desain pribadi(canva)
Meski berbagai negara dan organisasi internasional telah menjatuhkan sanksi ekonomi yang signifikan dan ada upaya untuk membawa para pelaku kejahatan ke pengadilan internasional, tindakan ini sering kali tidak langsung menargetkan atau memprioritaskan dampak penggunaan ranjau darat terhadap warga sipil.
ADVERTISEMENT
Penggunaan ranjau darat membutuhkan perhatian yang lebih terfokus karena sifatnya yang tidak pandang bulu, menimbulkan korban jangka panjang, dan membahayakan generasi yang akan datang. Bahkan setelah konflik mereda, ranjau yang tertanam di tanah tetap menjadi ancaman nyata, menghambat akses masyarakat ke lahan pertanian, infrastruktur, dan kebutuhan dasar mereka. Oleh karena itu, selain melanjutkan tekanan diplomatik dan sanksi ekonomi, komunitas internasional harus mengutamakan langkah-langkah konkret untuk menangani langsung dampak dari ranjau darat ini. Langkah-langkah tersebut dapat mencakup pembentukan tim khusus untuk pembersihan ranjau di wilayah terdampak, pemberian bantuan teknis dan finansial untuk program demining (penjinakan ranjau), serta peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal tentang bahaya ranjau darat.
Pendekatan ini juga perlu diiringi dengan upaya memperkuat norma internasional yang melarang penggunaan ranjau darat. Meskipun Myanmar belum menandatangani Konvensi Ottawa, komunitas global harus tetap menekan negara tersebut untuk mematuhi larangan universal atas penggunaan ranjau darat sebagai senjata perang. Dengan memperkuat kerja sama lintas negara dan memperluas bantuan langsung untuk menangani ancaman ranjau darat, dunia dapat memberikan perlindungan yang lebih nyata kepada warga sipil di Myanmar, sekaligus mengirim pesan tegas bahwa penggunaan senjata berbahaya ini tidak akan dibiarkan tanpa konsekuensi yang jelas dan nyata.
ADVERTISEMENT