Konten dari Pengguna

Asas Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam Kontrak Bisnis

Ahmad Arif Maulana, M,M, M,I,P, CIC, MAPPI (Cert)
Ketua DPD MAPPI Banten, Senior Partners, Henricus Judi Adrianto & Partners Associate. President Director, Kapital Advisory PT, Invesmnet Capital PT, Spesialisasi: Asset & Business Valuation, Financial Advisor, Investment Capital Relation,, IPO.
12 Mei 2025 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Arif Maulana, M,M, M,I,P, CIC, MAPPI (Cert) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asas Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam Kontrak Bisnis
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Asas Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam kontrak bisnis sangat penting untuk menentukan hukum yang berlaku, yurisdiksi penyelesaian sengketa, dan kepastian hukum dalam transaksi lintas negara, beberapa asas atau teori yang berkembang dalam HPI sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
1. Teori Lex Loci Contractus
Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi oleh prinsip locus regit actum. Berdasarkan asas ini, maka “the proper law of contract” adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Yang dimaksud dengan “tempat pembuatan kontrak” dalam konteks HPI adalah tempat dilaksanakannya “tindakan terakhir” (last act) yang dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan (agreement). Jadi tempat dibuatnya sesuatu kontrak adalah faktor yang penting untuk menentukan hukum yang berlaku. Di mana suatu kontrak dibuat, hukum dari negara itulah yang dipakai. Di masa modern, teori ini tampaknya sudah tidak memadai lagi, terutama bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang diadakan antara para pihak yang tidak berhadapan satu sama lain. Semakin banyak kontrak internasional yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern seperti telex, telegram, facsimile, sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit dilakukan. Jalan ke luar untuk menentukan locus contractus pada kondisi (contract between absent persons) dengan mempergunakan berbagai kualifikasi, yaitu:
ADVERTISEMENT
a. Teori post-box
Di negara-negara yang menganut tradisi common law system (negara-negara Anglo-Amerika) mengemukakan teori, yang dinamakan mail box theory atau post box theory atau theory of expendition. Menurut teori ini yang penting adalah tempat di mana seseorang menerima offerte memasukkan surat penerimaan penawaran tersebut dalam kotak pos tempat “pengiriman surat” (mail box, post box).
b. Teori penerimaan
Sebaliknya negara-negara yang menganut tradisi civil law system (negara-negara Eropa Kontinental) banyak menganut teori penerimaan (theory of arrival, theory of declaration). Menurut teori ini, penerimaan offerte harus sampai pada pihak yang melakukan penawaran. Surat penerimaan penawaran ini harus diterima oleh pihak yang melakukan offerte dan penerimaan penawaran ini yang harus dinyatakan (declared) harus diketahui oleh orang yang membuat penawaran.
ADVERTISEMENT
Ada keberatan lain terhadap teori lex loci contractus adalah pemakaian lex loci contractus ini bisa menghasilkan dipergunakannya suatu sistem hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak yang bersangkutan, tetapi hanya secara kebetulan saja telah diikutsertakan.
Contoh:
Pengusaha Inggris dan pengusaha Singapura mengadakan perjanjian jual beli kertas di Singapura tanpa menentukan hukum yang berlaku. Jika terjadi sengketa, maka hukum Singapura dapat diterapkan karena kontrak dibuat di sana.
2. Teori Lex Loci Solutionis
Semakin kecilnya peranan asas lex loci contractus, maka perhatian dialihkan ke arah sistem hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian (locus solutionis). Teori ini merupakan variasi dari penerapan asas locus regit actum yang beranggapan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian adalah tempat yang lebih relevan dengan kontrak dibandingkan dengan tempat pembuatan perjanjian, terutama bila disadari bahwa suatu kontrak yang walaupun sah di tempat pembuatannya akan tetap tidak bisa dilaksanakan kalau bertentangan dengan sistem hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian itu. Dalam perkembangannya, ternyata asas lex loci solutionis tidak selalu memberikan jalan ke luar yang memuaskan, terutama bila diterapkan pada kontrak-kontrak yang harus dilaksanakan di berbagai tempat yang berbeda. Ada kemungkinan bahwa kontrak itu dianggap sah di salah satu tempat pelaksanaannya, tetapi dianggap tidak sah di tempat pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, dalam praktek tidak menutup kemungkinan untuk menundukkan bagian-bagian kontrak pada berbagai sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya kontrak-kontrak mengadung kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh para pihak dan masing-masing ini melakukannya pada tempat-tempat yang berbeda. Misalnya, dalam perjanjian jual-beli, maka terdapat kewajiban-kewajiban dari pihak pembeli maupun dari pihak penjual, dan masing-masing pihak juga mempunyai hak-hak tertentu. Apabila pihak penjual berada di negara lain dari pihak pembeli, maka tentu masing-masing mempunyai kewajiban pelaksanaan kontrak dan tempat pelaksanaan kontrak itu berbeda. Penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang-barang, bertanggungjawab untuk kekurangan-kekurangan, karena kualitas atau memberi jaminan untuk menggantikan barang-barang yang jelek, dan sebagainya. Sebaliknya pihak pembeli yang berada di negara lain juga mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, misalnya tempat di mana pembeli harus membayar harga pembelian, di mana pembeli harus menerima barangbarang yang dibelinya, di mana dilakukan tempat pemeriksaan barang dan penyampaian pemberitahuan serta protes tentang tidak dilakukannya suatu penyerahan (non delivery). Semua ini merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dan juga di tempat-tempat yang berbeda dan semua ini bagaimana harus dimasukkan dalam tempat pelaksanaan karena jual beli itu ternyata pelaksanaannya adalah di berbagai tempat.
ADVERTISEMENT
Contoh:
Pengusaha Malaysia dan Perancis mengadakan kontrak pembangunan sebuah Hotel di Jakarta, Indonesia. Meskipun kontrak dibuat di Malaysia, pelaksanaannya di Indonesia, sehingga hukum Indonesia dapat berlaku berdasarkan asas ini.
3. Asas Kebebasan Para Pihak (Party Autonomy)
Asas ini merupakan perkembangan atas apresiasi dari asas utama dalam hukum kontrak, yaitu asas “setiap orang padadasarnya memiliki kebebasan untuk mengikatkan diri pada perjanjian” (asas kebebasan berkontrak, freedom to contract, atau party autonomy). Dalam Hukum Perdata Indonesia, kebebasan berkontrak diakui berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 BW, yang pada dasarnya mengandung makna bahwa pihak-pihak dalam kontrak bebas untuk menentukan bentuk, cara, atau obyek dalam kontrak mereka. Sejauh hal itu tidak
Bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, serta dilandasi itikad baik. Bagi para pihak, kontrak yang dibuat akan mengikat mereka
ADVERTISEMENT
Sebagai undang-undang. Dalam perkembangannya kebebasan para pihak untuk berkontrak ini dimanifestasikan pula dalam bentuk kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku untuk mengatur kontrak yang mereka buat (freedom to choose the applicable of law). Dari sinilah muncul pengertian pilihan hukum (rechtskeuze, choice of law) dalam hukum kontrak. Hukum yang dipilih para pihak itulah yang diakui sebagai sebagai “the proper law of contract”. Yang menjadi masalah adalah: sejauh mana para pihak dalam kontrak memiliki kebebasan untuk menentukan “the applicable law” untuk kontrak mereka.
Contoh:
Perusahaan Indonesia dan perusahaan Jerman membuat kontrak jual beli barang. Dalam kontrak tersebut, mereka sepakat bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Jerman, dan penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase di Singapura.
ADVERTISEMENT
4. Teori the proper law of contract.
Menurut teori the proper law of contract hukum yang berlaku adalah hukum negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.
Contoh:
Perusahaan Indonesia dan perusahaan Australia mengadakan kontrak distribusi tanpa menentukan hukum yang berlaku. Jika sebagian besar kegiatan distribusi dilakukan di Indonesia, maka hukum Indonesia dapat dianggap sebagai proper law dari kontrak tersebut.
5. Teori the most characteristic connection.
Menurut teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah dari pihak yang melakukan pestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori terakhir ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan klasifikasi lex loci contractus atau lex loci soluntionis, disamping juga dijanjikannya kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.
ADVERTISEMENT
Contoh:
Dalam kontrak jual beli internasional, pihak yang melakukan prestasi paling karakteristik adalah penjual. Penjual bertanggung jawab untuk menyerahkan barang, sedangkan pembeli hanya bertanggung jawab untuk membayar. Jadi, hukum tempat penjual berkedudukan atau bertempat tinggal biasanya akan menjadi hukum yang mengatur kontrak tersebut, according to Lex et Societatis.
Ahmad Arif Maulana, Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Esa Unggul, Jakarta Barat