Konten dari Pengguna

Bukan Sekadar Nama

Surya Al-Bahar
Penulis dan Pengajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo
13 Mei 2022 11:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi Mahasiswa PMII saat Aksi (Sumber Gambar: Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Mahasiswa PMII saat Aksi (Sumber Gambar: Unsplash.com)
ADVERTISEMENT
Organisasi yang mengadopsi nama pergerakan dan berafiliasi ke Islam hanya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Tanpa bergerak, ia sudah bergerak, meski hanya tampak secara nama. Cuma, nama bukan sekadar nama. Nama jadi tanggung jawab. Apalagi dipakai identitas banyak orang. Para anggotanya juga perlu berkenalan ulang supaya timbul rasa sayang. Itu kata umum yang sering digunakan. Tak kenal maka tak sayang.
ADVERTISEMENT
Inti pergerakan adalah bertindak. Berpindah dari satu titik ke titik lain. Membentuk satu garis yang terhubung. Kalau tidak berpindah, namanya stagnan, berhenti, dan otomatis tidak bergerak. Itu rumus perubahan. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Yang penting jangan asal pindah. Jika asal pindah, bisa merusak strategi. Perpindahan perlu dirumuskan dan direncanakan, supaya lebih terkontrol. Satu titik yang jadi pijakan penting dirumuskan sebelum melangkah ke titik lain.
Sebagai basis organisasi mahasiswa, amanah itu wajib ada. Lebih-lebih nama besar mahasiswa selalu didekatkan dengan intelektualitas. Garisnya terhubung pada kegarangan berpikir dan bertindak. Dua unsur tersebut harus selalu terhubung, sebab tindakan berasal dari pikiran. Pikiran baik akan menghasilkan tindakan yang baik. Begitu juga sebaliknya. Sekali-kali terhubung dalam konteks menulis juga, agar mirip guru besarnya Mahbub Djunaidi, sang Pendekar Pena.
ADVERTISEMENT
Saya masih percaya, sumber belajar ada tiga, manusia, alam, dan buku. Dari ketiga sumber itu, manusia dan alam adalah dua komponen yang sering bersinggungan. Terutama manusia, manusia sebagai manusia, bisa belajar ke manusia lain atau ke diri manusia itu sendiri. Ditambah dengan alam, tempat hidup manusia. Dari mata membuka sampai tertutup, manusia berada pada siklus alam yang berubah-ubah. Perubahan itu yang jadi bahan belajar.
Kepada manusia, PMII ada banyak para manusia, para tokoh besar. Kadang, kita biasanya belajar pada orang yang sudah besar namanya. Itu bisa murni besar sendiri karena kualitas atau sengaja dibesarkan pada momen-momen tertentu. Proses dia menjadi besar itulah yang dipelajari.
Jika di PMII, tokoh tersebut tidak lain dan tidak bukan yakni Mahbub Djunaidi. Kiprahnya di dalam dan di luar PMII sangat kentara. Hubungannya dengan tokoh-tokoh lain membuat decak kagum para tokoh-tokoh itu. Mayoritas punya sisi kagum tersendiri padanya. Orang yang dimaksud bisa berasal dari organisasi sama atau punya kesenangan yang sama seperti Mahbub. Contoh seorang Pramoedya Ananta Toer. Mahbub adalah salah satu orang yang menemani Pram saat ia ditabrak sana-sini.
ADVERTISEMENT
Bila kagumnya didasari karena teman seperjuangan di organisasi, itu biasa. Yang jadi luar biasa, kagumnya didasari atas dasar kesenangan, terlebih mereka dari organisasi berbeda. Jika memakai kacamata multifungsi, Mahbub bisa dilihat dari banyak arah. Dimensinya luas serta menyublim. Bergantung siapa yang melihat dan menangkap Mahbub sebagai apa. Bisa Mahbub sebagai bapak, organisatoris, pemimpin, penulis, pemikir, aktivis, dan lain sebagainya.
-
Keberagaman Mahbub Djunaidi
Sebagai anak seorang kiai. Mahbub tergolong pribadi nyentrik. Sedikit berbeda dengan anak kiai pada umumnya. Kiprahnya di NU (Nahdlatul Ulama) membuat sebagian orang memanggilnya kiai. Tapi banyak juga yang tidak, lantaran historis Mahbub tidak melulu bisa dikaji dalam kubangan religiusitas. Kubangan Mahbub sangat luas. Bisa bertepi, bisa tidak. Bisa juga mulanya bertepi, tetapi orang melihatnya tidak. Itu menandakan kedinamisan sosok Mahbub. Sehingga tak perlu heran, banyak panggilan yang tersemat padanya. Sesuai fungsi dan di mana Mahbub berada.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak salah ingat, ketika kebetulan saya bermain di PWNU (Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Timur, di sana ada beberapa gambar para tokoh NU, terutama Mahbub. Uniknya, gambar Mahbub berbeda dengan lainnya. Yang lain terlihat agamis, memakai peci. Tapi mahbub tidak. Dia tidak memakai peci, mirip gambar dia yang tersebar di media-media.
Teringat kata Isfandiari anaknya. Sebagai anak Mahbub, seorang tokoh PMII dan NU, tapi dia tidak pernah dipaksa ayahnya ikut PMII. Justru ketika mahasiswa, ia lebih memilih menjadi mahasiswa kantin. Ia lebih memilih apatis terhadap masalah sosial. Cuma, dalam satu kesempatan, kata teman karibnya, ia mengatakan, meski ia tidak ikut PMII, tapi ketika PMII ada masalah, ia akan berusaha ada di depan.
ADVERTISEMENT
Banyak orang bertanya kenapa dia sampai tidak ikut PMII. Ia menjawabnya sederhana. Tidak perlu kalian bertanya ikut atau tidak. Yang penting, kalian akan lebih mudah menemui Mahbub karena saya. Saya penghubung antara kalian dengannya. Itu kata Isfandiari.
Isfandiari juga mengatakan, saking cintanya Mahbub dengan keluarga dan dunia menulis, saat keluarganya berada pada kesulitan ekonomi, Mahbub berusaha menutupi kesulitan itu dengan menulis di media massa. Uangnya buat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sampai seorang Bung Karno dibuat cinta pada tulisannya. Ia pun sering diajak diskusi di belakang istana sambil minum teh bersama. Bahkan selepas keluar dari tahanan orde baru, ketika ia ditanya seorang wartawan apa yang ia lakukan sehabis keluar tahanan, jawaban dia masih sama. Ia kekeh akan tetap menulis.
ADVERTISEMENT
-
Kritis di Ambang Batas
Bahkan, di luar dari itu, karya Mahbub cukup banyak. Ia seorang esais handal. Tulisan yang terkumpul menjadi buku itu mungkin hanya sebagian. Masih banyak tulisannya yang tercecer di media massa. Jiwa seorang esais memang berbeda. Selalu peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Seorang esais cenderung suka menulis. Tulisannya sangat banyak. Apalagi karakter tulisan Mahbub yang saya temui tidak terlalu panjang. Cenderung spontan dan menjurus langsung ke poin. Ulasannya ringan dan menggelitik, itu membuat banyak penulis baru mengidolakannya.
Tidak terlewat seorang Sujiwo Tedjo. Soal menulis, ia mengidolakan sosok Mahbub. Agus Mulyadi, seorang penulis muda yang lucu itu juga berkata demikian. Tidak sekali dua kali ia sampaikan seperti itu, melainkan berkali-kali. Beberapa karakter tulisan lucunya terinspirasi dari tulisannya Mahbub. Ketika mainstream sekarang gandrung dengan tulisan humoris, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya sejak dulu Mahbub sudah menulis tentang hal itu.
ADVERTISEMENT
Kata KH. Chatibul Umum, tulisan Mahbub punya karakter spontan, alamiah, dan sekali jadi. Ia menambahkan, bila Mahbub termasuk tokoh NU yang melampaui zamannya. Ia mudah mengikat sesuatu dengan tulisannya. Mungkin dari beberapa historis itu, ia dilegitimasi sebagai sang Pendekar Pena.
Dari sekian banyak identitas tersebut bisa jadi ladang warisan Mahbub bagi penerusnya. Ia seorang penulis dan politisi, ditambah lagi seorang religius. Meski begitu, ia sama sekali tak meninggalkan dunia aktivisme yang kental dengan kritik. Dalam tulisannya, sempat ia mengungkapkan itu. Perihal bingung bagaimana menempatkan kritiknya.
Waktu itu ia sempat dipecat menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat, korannya partai NU, sebab ia terlalu keras melayangkan kritik pada KH. Idham Chalid. Dari kritikan itu sebagian orang menganggap ia kurang etis. Bahasa agamanya kurang tawadu. Menurutnya itu hanya praktik kritik. Mengevaluasi dan mengingatkan suatu penyelesaian yang semestinya.
ADVERTISEMENT
Maklum, di lingkaran NU mayoritas berisi para ulama. Kegelisahan Mahbub menandakan ia menghargai betul peran para kiai di sana. Tetapi pasca itu, sepanjang prosesnya, KH. Syaifudin Zuhri, pembatas kritiknya juga berbuat hal serupa. Ada satu momen ia mengritik keras KH. Idham Chalid. Di situ puncak kegelisahan Mahbub menjadi-jadi.
Dewasa ini, kita sebagai mahasiswa pergerakan, sudah belajar ke Mahbub dari dimensi yang mana? Kita melihat Mahbub pakai kacamata apa? Apa sama sekali tak memakai kacamata? Apa mungkin juga pakai kacamata gelap? Sehingga itu yang menjadikan kritik buta atas sesuatu, tanpa didasari prinsip intelektual kolektif.
Daya nalar kritis adalah kunci. Tetapi perlu disadari juga, gelombang pemuda terutama mahasiswa di setiap zaman berbeda. Tentunya Mahbub harus bertransformasi ke orang lain jadi Mahbub-mahbub muda di era sekarang. Tak perlu sama. Yang penting mau belajar padanya.
ADVERTISEMENT