Konten dari Pengguna

Lebaran

Surya Al-Bahar
Penulis dan Pengajar di SMA Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo
25 April 2023 8:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Setiap peringatan-peringatan hari besar keagamaan atau nasional, Indonesia terkenal memiliki banyak tradisi yang turut serta mewarnai peringatan itu. Bukan hanya dikenal, melainkan terkenal.
ADVERTISEMENT
Tingkatannya lebih tinggi dari dikenal. Dikenal itu biasa, orang masih berusaha mengenal. Sedangkan terkenal bukan lagi berusaha mengenal, tetapi sudah mengenal sendirinya, lengkap beserta identitasnya.
Tanpa mengenal pun, jika orang mendengar nama Indonesia, pasti langsung kenal. Negara dengan banyak tradisi dan ragam budayanya. Satu tradisi mengandung simbol-simbol yang menguatkan budaya-budaya lain. Sehingga, manusia Indonesia adalah manusia berbudaya, maka sepantasnya juga syarat akan nilai. Tindak tanduknya berbudaya.
Meski begitu, ada anggapan lain. Menurut sebagian orang, dengan memakai tradisi justru bisa merusak inti dari peringatan itu, karena berbagai alasan yang selama ini sulit dinalar.
Sebelum menggunakan diksi merusak, alangkah baiknya memahami dulu seperti apa makna merusak dan memperbaiki. Kita kadang salah kaprah memahami satu kata, lalu merembet ke kata lain. Sebaiknya satu kata dipahami dulu, baru lanjut ke kata lain.
ADVERTISEMENT
Yang seolah-olah memperbaiki justru praktinya malah merusak. Berapa banyak para koruptor dulu yang awalnya berjanji memperbaiki, tapi kenyataannya malah merusak. Kenyataan yang terbalik.
Menguatkan suatu peringatan dengan memasukkan unsur budaya dan tradisi apakah benar merusak? Atau justru bila tidak ada unsur budaya di dalamnya, malah bisa merusak pelan-pelan?
Meski tradisi bisa dikatakan sebagai produk budaya, hasil olah rasa, dan karsa, maka bisa salah, bisa juga benar, tetapi pada dasarnya pengamalan proses sebuah tradisi, di dalamnya terdapat unsur nilai yang sangat kuat dan mengikat.
Nilai itu mengandung moral, norma, etika, dan batas-batas kebudayaan. Dari mana lagi suatu peradaban bisa dibangun, kalau tidak dari usaha membangun kontruksi budayaannya?
Sederhananya begini, dengan tradisi, acara-acara peringatan bisa lebih mudah diingat oleh orang yang memperingatinya. Andaikan tradisi itu membawa suatu dampak positif, maka tradisi itu bisa dilangsungkan secara kolektif dan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, bila peringatan hari kemerdekaan, namun tidak diisi dengan kebiasaan-kebiasaan yang mencirikan kemerdekaan itu sendiri, tentu akan terasa hambar.
Unsur nilai yang terkandung di dalamnya akan sulit tersampaikan. Tradisi itu simbol. Mencerminkan nilai lewat simbol secara tidak langsung akan mengasah daya analisis kita dalam melihat sesuatu.
Satu contoh di lebaran ini. Satu peringatan bisa diaplikasikan dengan banyak cara, tapi sama sekali tidak mengganggu, bahkan mengubah nilai inti dalam lebarannya, yaitu silaturahmi dan saling bermaaf-maafan.
Dari malam, sampai hari H, bahkan setelah lebaran, masing-masing komunitas orang mempunyai caranya sendiri untuk merayakan. Itu sebuah bentuk syukur karena dipertemukan kembali dengan lebaran tahun ini.
Tradisi mudik yang turut mewarnai lebaran tampaknya tidak pernah surut dari sorotan. Mereka meninggalkan kota-kota besar hanya untuk silaturahmi ke desa-desa, ke rumah asalnya.
ADVERTISEMENT
Mereka sanggup berkorban apa saja asal ia sampai rumah tujuan sebelum tiba hari lebaran. Tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan. Begitu juga dengan pengorbanannya jiwa raganya.
Selain biaya, mental mereka juga diuji. Mereka harus benar-benar siap menerima kenyataan dari orang-orang di sekitarnya. Sebagai orang rantau, tuntutan sukses tidaklah lepas dari mereka. Sorotan penuh pada kemakmuran mereka.
Mereka rela mengupayakan segala cara supaya terlihat sukses di tempat kerjanya. Padahal sebenarnya tidak seberapa. Hanya untuk memenuhi hasrat agar diakui di kampung halaman, mereka sanggup melakukan apa saja, meski yang dilakukan adalah tindakan manipulatif.
Meski dalam praktinya tidak sepenuhnya benar, tetapi mudik terlanjur jadi ciri khas kuat orang Indonesia. Di luar mungkin ada, tapi tidak semenonjol di sini. Andai pembangunan dan industri bisa merata, mungkin mudik tidak menjadi ciri khas utama saat lebaran.
ADVERTISEMENT
Tingkat kecelakaan di jalan saat mudik pun bisa diminimalisir. Orang tidak perlu susah payah pergi merantau, karena di daerahnya sudah terpenuhi lapangan kerjanya.
Mudik merupakan simbol lebaran. Hanya ada kata mudik di saat lebaran. Di hari-hari lain tidak ada. Karena itu mudik dijadikan tanda setelah dan sebelum lebaran.
Di samping silaturahmi, yang mereka kejar adalah suasananya. Ia ingin merasakan kembali romantisme masa lalu, masa-masa kecilnya. Pergi ke sawah, ngopi di desa, bercengkerama dengan para tetangganya. Sekadar itu. Kalau hanya bermaaf-maafan, setiap hari tanpa menunggu lebaran, lewat HP, mereka bisa langsung bermaaf-maafan.
Sangat tidak mungkin terjadi, hari ini minta maaf, besoknya tidak melakukan kesalahan lagi. Jadi, lebaran tidak hanya sekadar untuk bermaaf-maafan, namun ajang menyambung silaturahmi. Adapun secara otomatis, silaturahmi juga sejatinya bisa menggugurkan dosa. Sekaligus upaya mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang dekat.
ADVERTISEMENT
Contoh kecil silaturahmi ke tetangga dekat. Kecil dulu, saya memang sering main ke sana. Namanya anak kecil. Ke mana saja pasti diterima. Tidak ada ceritanya ada anak kecil main ke rumah tetangga terus diusir. Apalagi dengan kultur orang desa yang bisa diperhitungkan keramahannya.
Setelah menginjak besar, ada semacam rasa sungkan main ke rumah tetangga tanpa ada keperluan khusus. Mungkin bisa diterima kalau hanya main-main saja. Tetapi agak aneh juga, sudah besar kok main tidak jelas di rumah tetangga. Takutnya ada prasangka tidak enak.
Oleh karena itu, lebaran adalah salah satu momen bermain kembali ke rumah tetangga terdekat. Dulu saya tahu bagaimana kondisi rumahnya. Berantakannya. Sedikit konflik rumahnya.
Untuk mengulang itu, kiranya lebaran adalah waktu yang cocok mengingat masa-masa itu. Menjalin kembali silaturahmi ke saudara atau tetangga terdekat yang dulunya kita sering bermain ke sana.
ADVERTISEMENT