Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mimpi Jadi Pasukan Bayaran, Tembak-tembakan, dan Bertemu Raffi Ahmad
16 Juli 2023 12:23 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Soal mimpi, sejak kecil aku tertegun dengan kata-katanya Soekarno, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang". Kata-kata itu masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Bukan sengaja ditanam, tetapi tertanam. Tidak sengaja menyimpan, namun selalu tersimpan.
ADVERTISEMENT
Kata-kata itu juga menurutku paling logis dibanding dengan kata-kata lain yang sama-sama kuat hiperbolanya. Bagi anak kecil kala itu, agak sulit memahami bahasa. Tetapi karena kesulitan itu, justru membuat bahasa semakin bermakna, sebab setiap makna selalu tersimpan di ingatan.
Tidak ada angin dan hujan, aku tiba-tiba ingin menulis mimpi yang aku alami ketika tidur siang menjelang sore hari ini. Banyak sekali mimpi-mimpi tidak jelas, random, dan tak masuk akal yang sering aku alami, tetapi untuk menuliskannya, baru terpikirkan sekarang. Aku coba menarasikannya selogis mungkin.
---
Entah di kota mana aku dengan beberapa teman bertemu di mimpi itu. Tidak seberapa jelas tempatnya. Kemungkinan di Surabaya. Tidak ada yang spesial dengan pertemuannya. Biasa-biasa saja. Hanya sekadar janjian ingin bertemu.
ADVERTISEMENT
Mereka sangat random, mulai dari teman desa, sekolah, bahkan kerja, tetapi anehnya, tanpa pernah bertemu di dunia nyata, mereka bisa kenal satu sama lain. Akrab dan saling mengobrol. Seperti orang sudah kenal lama.
Jangan ditanya apa yang diobrolkan, karena aku lupa. Aku hanya mengabadikan ekspresi mereka. Mereka saling lempar senyum, canda tawa. Berarti bisa digambarkan obrolannya seru. Tidak ada pembicaraan berat, apalagi serius.
Setelah berbincang-bincang, kami semua pulang beriringan. Suasana dalam mimpi itu gelap dan sepi. Jadi bisa dipastikan malam dan mendekati waktu tengah malam. Di tengah perjalanan, aku mendapati salah seorang senior. Ia sering dipanggil dengan sebutan Cak Duki. Ia politikus dan pengusaha.
Tetapi saat aku bertemu dia dan para anak buahnya, aku kaget karena tampilannya beda. Ia menggunakan pakaian mirip Densus 88, bagian kepolisian yang menangani terorisme. Serba hitam, rompi anti peluru, lengkap memakai helm yang biasa digunakan saat polisi sedang beroperasi. Tidak lupa juga membawa senjata api yang digantungkan di dadanya.
ADVERTISEMENT
Aku sangat kaget karena setiap harinya ia cukup bersarung, pakai kaos, pakai baju kalau ada acara-acara tertentu, namun dalam mimpi itu ia berbeda. Dari situ, tanpa perlu menggambarkan ulang, aku bisa melihat bagaimana uniknya Cak Duki waktu menggunakan kostum semacam itu, walau hanya ada di mimpi.
Aku lihat mereka berkumpul, sepertinya mau operasi. Mobil-mobil polisi untuk membawa mereka sudah siap terparkir tidak jauh dari mereka kumpul. Sungguh benar-benar mengagetkan.
Sampai di rumah, lebih kaget lagi ternyata dia sudah menunggu. Ia melempar tas berisi pakaian yang sama seperti yang ia kenakan dan satu senjata api yang sudah terisi peluru.
"Pakai baju itu. Terus ikut aku" katanya saat melemparkan tas.
Mirip di kehidupan nyata. Tanpa banyak omong, sekali instruksi langsung jalan. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengenakan pakaian itu, lengkap beserta senjata apinya. Setelah selesai ganti, aku langsung dibawa ke mobil.
ADVERTISEMENT
Ternyata aku diajak beroperasi di salah satu rumah tidak jauh dari desaku. Di sana sudah banyak masyarakat yang antusias ingin melihat operasi itu. Selain beroperasi, para anak buahnya juga menjaga masyarakat agar menjauh dari rumah target.
Saat aku datang, rombongan kami langsung dihampiri para wartawan untuk bertanya-tanya. Aku melihat di tengah kerumunan wartawan itu sepertinya ada orang yang aku kenal. Namanya Bahris, teman kecil di desa. Akhirnya di situ kami bisa sedikit berbincang.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku sambil terburu-buru.
Ia pun tersenyum. Wajahnya mengekspresikan seperti orang dekat yang lama tidak dipertemukan. Respon wajahnya sangat bahagia. Namun sayang sekali, pertemuan itu tidak bisa lama.
Belum sempat dijawab, aku dipanggil agar segera merapat. Dengan sangat penasaran, aku melihat wajah para anggota yang ikut operasi, dan ternyata banyak para anggota yang aku kenal. Mereka juga random. Sama seperti pertemuan di awal tadi. Mereka terdiri dari teman desa sampai teman kerja.
ADVERTISEMENT
Suasananya mirip seperti di film-film atau di TV ketika penggrebekan pelaku terorisme. Sangat mencekam dan menakutkan. Meski masih diselimuti kebingungan, tetapi rasa mencekam itu menyelimuti pikiran. Atmosfernya sangat kuat. Aku agak takut, bagaimana kalau nanti aku tertembak, terus mati.
Operasi tersebut gagal. Si pelaku tidak ada di dalam rumah. Kami terlambat. Ia berhasil kabur sebelum kami datang. Tetapi Cak Duki sebagai komandan menginstruksikan sebagian anggota, termasuk aku untuk memburu pelaku lain.
Kami terpisah dengan kelompok utama yang memburu pelaku utama. Dalam kelompok kami, ada sekitar lima orang. Kami masuk mobil, menuju ke daerah yang agak jauh dari rumah pelaku itu.
Sampai instruksi itu keluar, aku masih belum tahu apa kasusnya, berapa orang pelakunya, dan siapa korbannya. Aku ikut-ikutan saja.
Sebelum berangkat, aku ditegur orang dari belakang. Ia memanggil namaku. Pelan-pelan ku perhatikan wajahnya. Ternyata dia artis ternama kita, Sultan Andara, yaitu Raffi Ahmad.
ADVERTISEMENT
Seakan-akan akrab padahal tidak pernah ketemu. Salaman, saling lempar senyum. Aku tambah tanganku menepuk-nepuk pundaknya.
Emang aku siapa kok tiba-tiba akrab dengan artis. Tetapi dalam mimpi itu nyata, benar-benar akrab, kayak orang sudah berteman lama.
"Ini ada apa?" spontan aku tanya.
"Beberapa hari lalu saudaraku dibunuh. Aku minta bantuan Cak Duki memberaskan ini" jawabnya.
"Kok kenal Cak Duki?" dalam hati bertanya.
Tanpa bertanya-tanya lagi, karena terburu-buru, aku langsung berangkat bersama rombongan.
Setiba di salah satu desa yang agak pelosok, kami langsung menyusun strategi. Target kami seorang laki-laki paruh baya. Pelatih salah satu aliran silat yang terkenal di daerahnya, karena banyak sekali anggotanya dan sesekali sering tersulut pertikaian dengan aliran silat lain. Aku ingat betul silatnya, tetapi aku tidak mau menuliskannya di sini.
ADVERTISEMENT
"Ini siapa? Apa yang dilakukan orang ini" sambil mengendap-endap, aku bertanya ke anggota lain di sebelahku.
"Ini sebenarnya orang suruhan. Ia bertugas sebagai penghilang nyawa. Sedangkan yang rumah tadi itu pelaku utamanya. Orang yang menjadi dalang pembunuhan" kata salah seorang anggota yang aku tanyai.
Dari situ aku baru tahu siapa target selanjutnya. Ternyata si pembunuhnya. Malam ini Cak Duki pesan, kasus harus beres dan rapi.
Sambil mengendap-endap. Senjata pun aku siapkan. Kami pelan-pelan menghampiri pelaku. Melewati lorong-lorong, gang-gang kecil milik warga. Ia terlihat sedang melatih silat. Banyak anak yang ia latih saat itu. Sekitar ratusan.
Tanpa perlawanan, akhirnya orang ini berhasil kami bawa. Dengan raut muka bingung, ia legowo kami bawa ke mobil. Para siswa silatnya gusar, mereka hampir menyerang, tapi segera bisa ditenangkan dan dijelaskan seperti apa duduk perkaranya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu selesai, tidak ada kelanjutannya lagi. Azan Maghrib berkumandang. Mata langsung terbuka dengan kondisi badan agak pegal-pegal. Pikiran masih sedikit panik, mungkin masih terbawa suasana dalam mimpi itu.
---
Selain bertemu dengan orang-orang baru, dalam mimpi itu mayoritas yang aku temui adalah orang-orang lama. Mereka terhubung dengan apa yang aku lakukan di kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Soal karakter, hampir semua berbeda. Mereka menggunakan karakter baru. Perbedaan karakter yang paling kuat ada di Cak Duki. Dari bersarung berubah jadi kostum polisi lengkap.
Sesaat setelah sadar, aku bertanya-tanya lagi, apakah Cak Duki di mimpi itu polisi? atau orang suruhan? Kalau suruhan, otomatis bukan dari kepolisian. Aku jadi teringat film The Big 4, mereka bukan polisi, tapi atribut, mulai dari pakaian sampai senjatanya lengkap seperti polisi.
Di mimpi itu juga aku bisa merasakan memegang senjata api asli dan sesekali menembakkannya.