Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seandainya Tan Malaka Hidup, dan Mencoba Peruntungan Cek Khodam
26 Juni 2024 12:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya Tan Malaka hidup di zaman ini. Melihat dia berdebat dengan Rocky Gerung di televisi. Adu pemikiran. Saling sanggah dan kritik.
ADVERTISEMENT
Kemudian tiba-tiba nongol mimpin demo bersanding dengan Refly Harun, atau secara mengagetkan, dia mendadak berafiliasi di kubu Prabowo-Gibran.
Dengan lantang, ia menyebut Prabowo adalah seorang negarawan, patriotik, dan nasionalis. Sejalan dengan prinsip yang ia bawa selama ini. Padahal sebelumnya, ia mengatakan Prabowo adalah penculik, pelanggaran HAM, dan sebagainya.
Sangat menarik bukan. Namun sayangnya itu cuma angan-angan. Sebatas lamunan kosong di tengah hiruk pikuk segala fenomena yang terjadi sekarang ini. Tidak ada salahnya orang berpikir absurd semacam itu. Lagian, sekarang absurditas sering mendapat tempat.
Tempatnya pada kebijakan-kebijakan ngawur, tidak sesuai realitas, bahkan orang awam pun tak mampu menggapai dengan pikiran paling logicnya. Meski begitu, zaman sekarang siapa juga yang kenal dia. Ada atau tidak pun tak masalah.
ADVERTISEMENT
Siapa juga yang mau belajar tentang dia. Repot-repot belajar tentang sejarah orang, sedangkan pemahaman atas dirinya saja sampai sedewasa ini belum juga selesai. Meski konon katanya bapak Republik, tapi berapa orang yang percaya dengan narasi itu. Terlalu jauh, berapa orang yang sempat mendengar jika Tan dapat julukan itu.
Saya juga yakin, kebanyakan orang-orang sekarang, tahu dia juga waktu kuliah, kecuali mereka terlahir dari orang tua yang memang dari kalangan-kalangan tertentu, misalnya dari kalangan aktivis, ahli, akademisi, pergerakan, dan sebagainya.
Saya juga sama, kenal Tan sejak kuliah. Tidak salah juga, karena tidak mungkin para pengajar di tingkat SMP dan SMA tanpa sebab, tiba-tiba mengenalkan bukunya Tan. Bukan mencerdaskan, malah dicap komunis.
ADVERTISEMENT
Saya mengawali dengan Tan, karena ini ada hubungannya dengan fenomena di media sosial yang ramai belakangan ini, yaitu soal tawaran cek khodam. Bahkan lebih jauh lagi sudah merembet ke banyak portal media online. Caranya tidak sulit. Cukup memasukkan nama dan tanggal lahir.
Secara pemaknaan, khodam ini sederhananya bisa diartikan sebagai alat pelindung, tetapi bukan berupa fisik, melainkan sosok magis yang selalu menjaga di mana saja kita berada. Entah benar-benar gaib atau hanya sekadar sugesti supaya bisa lebih percaya diri di segala situasi.
Sama halnya ketika kita sedang malas-malasan, ketakutan, dan minder, lalu ada orang yang memotivasi dengan mengingatkan bahwa kakek-kakekmu dulu itu orang hebat. Tahan banting, tahan dilindas, bisa menghilang.
ADVERTISEMENT
Dari situ, secara tidak langsung, tanpa tahu benar tidaknya, kita langsung termotivasi dan bangkit. Semacam ada dorongan kalau kita harus sama seperti mereka.
Kurang lebih seperti itu daya magis yang dihasilkan dari khodam. Sugesti kita selalu menguat, bahwa kita ada yang mendampingi, menjaga. Padahal, soal penjagaan dan perlindungan, ada Tuhan yang tahu betul bagaimana merawat hambanya.
Untung Tan Malaka sudah pergi duluan daripada kita. Saya tidak membayangkan jika Tan saat ini masih hidup, bagaimana kecewanya dia karena masyarakat Indonesia sama sekali jauh dari harapannya. Harapan-harapan yang ia sematkan pada buku agungnya "Madilog".
Kurang lebih ia mengatakan, suatu bangsa tidak akan pernah besar selama di dalamnya masih mengagungkan logika-logika mistik. Sedangkan, dari fenomena khodam menjelaskan bahwa kondisi kita sekarang ini sudah jauh dari apa yang ia harapkan.
ADVERTISEMENT
Entah dibuat hiburan atau serius, yang penting kita sudah dibuat penasaran. Dari penasaran yang kuat itu, kita mencoba untuk memenuhi rasa penasaran itu. Setelah rasa penasaran terpenuhi, khodam kita muncul, otomatis kita akan tersugesti bahwa khodam itu benar adanya.
Jika fenomena ini sifatnya hiburan, lantas kenapa sampai para ahli dan ulama' ikut berkomentar tentang hal ini. Itu menandakan bagaimana pedulinya mereka dengan hal yang sifatnya remeh temeh. Jangan sampai yang remeh diperhatikan, sedangkan yang serius dilupakan.
Bisa juga fenomena itu menjadi booming karena kita sekarang memasuki era kurang percaya diri. Jiwa kita mudah sekali kosong. Tidak ada bahan untuk dijadikan motivasi.
Dari ketidakpercayaan itu kita berlomba-lomba mengafirmasi sesuatu hal di luar dari diri kita. Padahal percaya diri sebenarnya berada dari dalam diri. Tidak perlu penguatan dan afirmasi dari luar.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan jika Tan Malaka masih hidup di era sekarang, takutnya ia terbawa ke fenomena khodam dan tanpa sadar bisa mengubah prinsip ideloginya.
Bisa jadi, diam-diam saat malam hari, di waktu-waktu sepinya dia karena tidak bisa tidur, daripada overthinking, dia memilih untuk mencoba cek kira-kira apa wujud khodamnya, singa, harimau, atau malah kupu-kupu.