Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Surga Tanpa Pahala
4 Februari 2024 9:26 WIB
Tulisan dari Surya Al-Bahar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bermula dari kisah orang Arab Badui melakukan Tawaf di Ka'bah hanya dengan mengucap Ya Karim berulang kali. Ucapan itu tidak sesuai seperti orang Tawaf pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Sama seperti Tawafnya seniman Sujiwo Tedjo. Ia bercerita, sesaat sebelum melakukan Tawaf, ada pemandu yang memberi ia secarik kertas berisi bacaan-bacaan doa, tapi ia tidak mau membaca doa itu. Ia ingin membaca doa yang ia bisa saja.
Dari peristiwa dua orang itu, pasti terbesit pertanyaan, apakah diterima doa yang mereka baca? Jika penilaian itu berasal dari orang yang syariatnya saklek, maka ia langsung menilai tidak akan diterima.
Tetapi ketika dinilai oleh orang yang terbuka, maka ia tidak akan langsung menilai. Ia akan mempertimbangkan terlebih dahulu dari berbagai prespektif.
Ia sadar, manusia tidak bisa mengklaim doa itu diterima atau tidak. Itu murni hak prerogatif Allah Swt.
Orang Badui ini unik, meskipun belum pernah bertemu Rasulullah, tapi ia sangat mencintai dan meneladani Rasulullah. Bukan dari sosoknya, tetapi dari sifatnya.
ADVERTISEMENT
Citra Rasul memang berbeda. Meski hanya diceritakan, tapi pancaran keistimewaannya menjulang tak terbatas.
Bersamaan dengan tawaf itu, tiba-tiba Rasulullah mengikuti bacaan orang Badui dari belakang. Si Badui itu merasa dihina karena bacaannya diikuti orang lain yang sama sekali tidak ia kenal.
Ia tidak tahu bahwa yang menirukan itu Rasulullah. Akhirnya ia mempertegas kepada Rasulullah, apakah Rasulullah benar punya niatan menghinanya.
Orang Badui itu mempertegas kembali, jika memang benar menghina, Rasulullah akan dilaporkan kepada orang bernama Muhammad yang tak lain itu adalah Rasulullah sendiri, orang yang sangat dicintainya.
Selepas Rasulullah mendengar perkataan itu, Rasul langsung memperjelas dirinya bahwa ia adalah Muhammad Rasulullah, orang yang telah disebutkan tadi.
Ketika orang Badui mendengar pengakuan itu, ia langsung tersipuh dan bersujud di kaki Rasulullah. Lalu Jibril datang membawa pesan dari Allah Swt. yang akan disampaikan ke orang Badui itu melalui Rasulullah.
ADVERTISEMENT
Isi pesan tersebut berbunyi agar ia tidak terlena atau terpesona dengan belas kasih yang diberikan Allah, karena di balik kenikmatan berupa belas kasih, Allah juga turut memberi ujian berupa kelalaian dan keteledoran.
Allah juga akan menimbang segala amal yang sudah ia perbuat, baik buruknya. Mendengar itu, orang Badui tak bisa terima. Ia berkata, "Kalau Allah sudi menghitung amal ibadahku, maka jangan larang, aku juga akan menghitung ampunanMu yang turun kepadaku."
Dari peristiwa di atas, ada beberapa hikmah yang bisa diambil. Pertama, akhlak Rasulullah bersifat universal. Luasnya tidak terkira. Jarak pandangnya tak terbatas waktu.
Tanpa mengenal sosok Rasulullah, ada umatnya, orang Badui yang mampu mencintai Rasul sebegitu dalamnya.
Kalau bukan karena akhlak, lalu karena apa. Karena tidak mudah mencintai orang lain tanpa pernah bertemu orangnya. Apalagi soal keteladanan.
ADVERTISEMENT
Meneladani seseorang minimal sudah pernah bertemu atau setidaknya ada kemauan mengambil sumber keteladanannya melalui berbagai macam referensi.
Referensi apa? Mereka membaca juga sangat tidak mungkin. Bagaimana ada kitab biografi Rasulullah kala itu, sedangkan Rasul sendiri masih ada.
Kedua, orang Badui itu secara tidak langsung menggambarkan suatu ketidakpantasan kita seorang hamba kalau masih berpikir jika pahala sifatnya transaksional.
Ada peribahasa yang mengatakan "Ada udang di balik batu". Artinya segala sesuatu yang dilakukan harus ada timbal baliknya atau ada maksud tertentu.
Pahala dalam peribahasa itu posisinya sama seperti udang. Sedangkan ibadah ada di batu. Antara batu dan udang otomatis jadi dua komponen yang tidak bisa dipisahkan.
Ada pahala dibalik ibadah. Ada dosa di balik kemungkaran. Ada Rahmat di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Melalui peribahasa itu, pikiran kita dikonstruksi sejak kecil bahwa setiap perbuatan akan memiliki maksud tertentu.
Itu pemahaman yang agak salah kaprah, karena mata kita selalu memiliki cara pandang berbeda pada suatu kebaikan.
Bahwa prioritas utama orang melakukan kebaikan terletak pada hadiahnya, bukan pada kebaikan itu sendiri.
Lalu pertanyaannya, apakah hadiah itu patut diharapkan? Sebagai manusia biasa, pantas saja jika menaruh harapan berupa kembalian atas apa yang sudah diperbuat.
Tapi semestinya, fokus yang kita ambil jangan terlalu menitikberatkan pada imbalannya.
Semakin kita mengambil fokus pada imbalan, maka ketika kita mengerjakan kebaikan yang besar, kita juga otomatis akan berharap imbalan yang sama besarnya pula, bahkan bisa juga lebih.
ADVERTISEMENT
Tapi ketika imbalan itu tidak sesuai dengan kebaikan kita, maka hasilnya hanya sedih dan kecewa.
Sedangkan peristiwa yang dilakukan orang Badui itu esensinya bukan transaksional sungguhan. Itu hanya ungkapan kemesraan antara hamba dengan Tuhannya.
Allah menghitung amal ibadah, sedangkan ia menghitung rahmat Allah yang jumlahnya sangat tak terbatas. Jelas sangat tidak sebanding. Bisa saja Allah dalam konteks tersebut hanya memancing bagaimana reaksi orang Badui itu.
Dari reaksi yang dilontarkan, kemungkinan ada semacam tidak terima karena selama ini ibadah yang dilakukan si Badui sama sekali ikhlas tidak pernah menghitung berapa pahala yang terkumpul.
Sehingga saat ia ditantang untuk hitung-hitungan, ia tak gentar, karena ia pasti menang. Sebab yang ia hitung adalah ampunan Allah yang tidak sepadan dengan semua amal yang telah ia lakukan.
ADVERTISEMENT
Konsep rahmat, dosa, dan pahala perlu ditelisik lebih dalam lagi bagaimana esensi dan substansinya. Jika nanti hamba yang masuk surga bukan karena pahala, tapi dengan rahmat, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan pahala.
Apakah pahala banyak sudah pasti masuk surga? Apakah dengan dosa besar juga sudah pasti masuk neraka? Kemudian, bagaimana dengan kisah seorang pelacur yang masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing kehausan.
Artinya, baik buruk perilaku kita tidak berpengaruh dengan keputusan Allah. Terserah Allah. Sebanyak apapun amal ibadah itu, kita juga tidak tahu apakah Allah berkeputusan memberi atau tidaknya pahala.
Begitu juga dengan dosa, sebanyak apapun dosa itu, kita tidak pernah tahu apakah memang benar atau tidak dosa itu terhimpun dalam diri kita.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi sejuta kebaikan akan terhapus hanya dengan satu keburukan. Atau sejuta keburukan akan terhapus hanya dengan satu kebaikan saja. Itu bukan wilayah manusia. Itu hak mutlak Allah Swt.
Seperti bagaimana mengolah fokus kita ketika beribadah. Ada dua fokus yang mengusung orang giat melakukan ibadah. Yaitu Allah dan surga. Surga menjadi representasi akhir suatu peribadatan.
Namun terkadang kita lupa, pemilik surga itu sendiri adalah Allah. Seyogyanya bila orang minta sesuatu, mintanya ke yang punya, bukan ke barang yang dipunya.
Rahmat Allah puncak dari segala-galanya. Tidak ada sebab lain yang mampu memasukkan seorang hamba, baik ke neraka atau ke surga kalau tidak karena rahmatNya.
Sejalan dengan hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah."
ADVERTISEMENT
Hal itu pula dikuatkan dengan kisah yang disadur dari sebuah hadits Rasulullah yang termaktub dalam kitab al-Mustadrak ala ash-Shohihaini milik Al-Imam al-Haidz Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Handawaihi bin Nu’aim al-Dhabbi al-Thahmani al-Naisaburi (w.405 H).
Ada seorang hamba yang telah beribadah selama 500 tahun lamanya. Ia bertempat tinggal di sebuah bukit dan memakan hanya satu buah delima setiap harinya. Dalam setiap sore hari ia rela turun dari bukit mengambil air wudhu.
Pada satu momen, orang itu berdoa kepada Allah. Saat meninggal nanti, ia meminta agar matinya dalam keadaan sujud dan jasadnya tidak bisa dirusak oleh apapun, termasuk karena faktor alam.
Doa itu dikabulkan, kemudian ia dihadapkan dengan Allah. Allah memerintahkan malaikat agar orang itu dimasukkan ke surga atas dasar rahmat-Nya. Orang itu tidak terima begitu saja.
ADVERTISEMENT
Ia merasa penyebab dimasukkannya ke dalam surga karena amal ibadahnya. Pendapatnya kuat dan tetap kekeh dengan kekakuannya.
Bagi Allah sangat mudah sekali. Jika ia tidak berterima, maka Allah langsung mengubah keputusanNya. Dari sebelumnya mau dimasukkan ke surga, justru sekarang Allah ingin memasukkan dia ke neraka.
Tidak begitu juga diterima. Orang itu justru meminta Allah kembali agar dimasukkan ke surga dengan rahmat-Nya. Ia memutuskan ikhlas saat ia ditunjukkan timbangan antara satu rahmat dengan amal ibadahnya selama 500 tahun. Amal itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan satu rahmat saja.
Seketika itu, Allah menjabarkan di mana letak Rahmat yang diterima orang itu. Ia baru sadar ternyata selama ia hidup, bisa beribadah sebegitu lamanya, kemudian bertempat tinggal di sebuah bukit di tengah-tengah samudera yang bisa mengeluarkan air tawar.
ADVERTISEMENT
Delima yang ia makan setiap hari padahal hanya bisa berbuah setahun sekali. Itu semua adalah wujud dari rahmat Allah yang tidak ia sadari
Perhitungan Allah berbeda dengan perhitungan kita. Para orang dulu sering bilang, matematika Allah lebih unik dibanding matematika hambanya.
Allah berkuasa dan berkehendak atas segalanya. Semau-maunya. Cuma, Allah sebenarnya sudah memberi hambanya simbol-simbol bahasa yang secara tidak langsung bisa dijadikan pedoman untuk membaca keputusan Allah.
Di surah Al-Mulk ayat 2, Allah menjabarkan suatu amal tidak bergantung berapa jumlahnya. Allah memudahkan hambanya agar jangan selalu mematok hal baik pada kuantitasnya. Buktinya, Allah mematok amal dengan kata baik. Patokannya pada kualitas.
Tidak kata nominal ataupun kata kerja. Melainkan kata sifat. Jika dihubungkan dengan etika manusia, baik buruk seorang hamba bisa ditentukan lewat hatinya, bukan sampulnya.
ADVERTISEMENT
Mulut kita boleh bilang beribu ikhlas, tetapi hati kita siapa yang tahu, kecuali kita sendiri dan Allah Swt.
Jika Allah begitu mudahnya memasukkan orang ke surga, maka untuk menggapai Rahmat Allah juga bisa dengan begitu mudahnya.
Selama kau tak cukup mampu menghitung pahalamu, saat itu pula kau tak mampu menghitung kebaikanmu.***