Konten dari Pengguna

Catatan Kecil Kepada Kampus Pergerakan

Ahmad Dani
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Tanjungpura
4 Mei 2025 14:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pergerakan. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pergerakan. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Kampus adalah ruang belajar sekaligus ruang perlawanan. Ia bukan hanya tempat meraih gelar akademik, tetapi juga arena pembentukan kesadaran sosial, terutama di fakultas seperti FISIP Untan—yang katanya tempat tumbuhnya gagasan, diskursus, dan pergerakan atas penindasan. Namun, realitas yang ada justru menunjukkan sebuah paradoks: organisasi mahasiswa yang semestinya menjadi motor penggerak perubahan justru mandek dan mogok di tengah jalan, lalu diam saat suara lantang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Saya melihat dalam beberapa bulan terakhir, geliat mahasiswa Universitas Tanjungpura, terutama disalurkan melalui BEM Untan, cukup terasa. Mereka menyuarakan beberapa penolakan terhadap kebijakan efisiensi pendidikan yang memberatkan aktivitas pendidikan, lalu menolak UU TNI yang berpotensi mengancam supremasi sipil, serta mengkritik rektorat dalam pembangunan kafe komersial di tengah kampus yang masih keropos secara fasilitas. Tapi di tengah bara perlawanan itu, ada satu entitas yang nyaris tak bersuara yaitu BEM FISIP Untan.
Munculnya Penyakit Kronis
FISIP, sebuah fakultas yang seharusnya menjadi rumah bagi intelektual kritis, justru terasa asing dari denyut nadi perjuangan itu. Seolah-olah ada tembok tak kasat mata yang membatasi mereka dari problem riil yang sedang dihadapi oleh mahasiswa dan rakyat Indonesia. Padahal di atas kertas, mahasiswa FISIP adalah mereka yang hari-harinya disuguhi teori politik, pembangunan politik, ekonomi politik, hingga filsafat sosial. Lalu mengapa mereka justru bungkam?
ADVERTISEMENT
Bungkamnya BEM FISIP Untan bukan sekadar soal absen dalam aksi. Ia adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam pada kelas-kelas masyarakat, yakni hilangnya kesadaran kelas dalam organisasi mahasiswa. Dalam konteks ini, class consciousness (Baca: Marxisme) bukan sekadar kesadaran bahwa kita adalah bagian dari kelas sosial tertentu, tetapi juga kesadaran akan relasi kuasa yang menindas dan kewajiban moral untuk melawannya. Sayangnya, alih-alih memupuk kesadaran itu, BEM FISIP malah terjebak dalam rutinitas birokratis dan seremonial yang tak menyentuh akar rumput persoalan.
Ada kegagalan struktural dan kultural yang saling menopang. Secara struktural, BEM FISIP terjebak dalam logika representasi formalistik—mereka sibuk menjadi “penghubung” antara mahasiswa dan birokrat kampus tanpa benar-benar memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi mahasiswa itu sendiri. Secara kultural organisasi ini tenggelam dalam zona nyaman demi membangun relasi aman secara vertikal dengan pejabat fakultas ketimbang membangun relasi horizontal dengan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Lebih ironisnya lagi, banyak mahasiswa bahkan tidak menyadari bahwa organisasi yang seharusnya menjadi corong aspirasi mereka telah kehilangan nyali dan cenderung takut. Ketidaktahuan ini bukan kesalahan mahasiswa semata, melainkan juga akibat dari politik informasi yang tidak terbuka, tidak demokratis, dan tidak partisipatif. BEM FISIP seperti menciptakan menara gadingnya sendiri, menjauh dari massa kritis yang seharusnya mereka ajak bicara.
Hal ini mengingatkan kita pada analisa Paulo Freire, yang mengatakan bahwa pendidikan (dan termasuk dalamnya pendidikan politik) bisa menjadi alat pembebasan jika dibangun melalui dialog yang sejajar. Tanpa dialog itu, mahasiswa sebagai rakyat FISIP hanya akan menjadi objek, bukan subjek perjuangan. Dalam kondisi seperti ini, BEM FISIP bukan hanya tidak hadir, tetapi secara aktif mereproduksi budaya pasifisme—budaya diam, tunduk, dan tidak berdaya di hadapan ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Kita bisa menggali lebih dalam dengan menggunakan lensa Louis Althusser, yang melihat organisasi seperti BEM sebagai bagian dari Ideological State Apparatus. Ketika BEM tidak lagi menjadi alat perlawanan, melainkan sekadar pengatur kegiatan seremonial, maka ia sedang memainkan peran untuk mempertahankan status quo kampus. Ia tidak menantang relasi kuasa, tetapi justru memperhalus wajahnya.
Ironisnya, kritik terhadap BEM FISIP mulai tumbuh, tapi hanya di ruang-ruang obrolan kecil, konten media sosial yang sayup, atau keluhan personal. Padahal, dalam teori hegemoni Gramsci, perubahan hanya bisa terjadi jika kesadaran kolektif tumbuh dan dikonsolidasikan. Artinya, kekecewaan individual terhadap BEM FISIP harus segera dijahit menjadi gerakan kolektif. Kita tak bisa lagi menunggu mereka yang duduk di kursi empuk organisasi untuk sadar—kesadaran itu harus dipaksakan dari bawah.
ADVERTISEMENT
Membangun BEM FISIP yang Emansipatoris
Lalu, ke mana arah yang seharusnya diambil? Bagaimana kita membayangkan ulang BEM FISIP?
Hal pertama yang bisa dilakukan BEM FISIP yaitu harus dibebaskan dari logika elitis dan eksklusif. Organisasi mahasiswa tidak boleh dikuasai oleh segelintir elite internal yang sibuk bermain politik struktural, tapi harus menjadi ruang terbuka yang digerakkan oleh basis mahasiswa. Keterlibatan aktif mahasiswa dari berbagai jurusan harus diupayakan melalui forum diskusi, konsolidasi isu, dan pembentukan aliansi horizontal lintas angkatan dan lintas program studi.
Selanjutnya, BEM FISIP harus mengembangkan kesadaran reflektif. Artinya, mereka harus terus-menerus merefleksikan posisinya: apakah ia masih menjadi alat perjuangan mahasiswa atau justru telah menjadi boneka struktural? Refleksi ini harus dibarengi dengan sikap berani untuk mengoreksi, bahkan membongkar struktur internal yang korosif.
ADVERTISEMENT
Kita juga butuh orientasi baru, bukan hanya pada prestasi administratif atau pencitraan kelembagaan, tetapi pada keberpihakan. Apalah artinya pencapaian kegiatan yang rapi jika mahasiswa FISIP tetap dihimpit oleh alur birokrasi yang justru menyulitkan mahasiswa? Apa gunanya bangga menjadi kampus yang punya program kerja nasional jika rekan-rekan mahasiswa kesulitan belajar di kampus karena banyak dosen yang jarang masuk ke kelas? BEM harus kembali ke pangkuan rakyatnya.
Dalam semangat ini, pendekatan emansipatoris adalah jalan tengah yang radikal, bukan hanya menjadi oposisi, tapi menjadi pengorganisir. BEM FISIP seharusnya menjadi lokomotif penggerak kesadaran, ruang belajar politik, dan wadah solidaritas sejati. Ketika mahasiswa diperas oleh sistem pendidikan yang makin neoliberal, BEM harus hadir untuk menolak. Ketika suara mahasiswa dibungkam, BEM harus hadir untuk bersuara lebih keras. Ketika mahasiswa mulai kehilangan kepercayaan, BEM harus membuktikan bahwa mereka masih layak dipercaya.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, BEM FISIP mesti menjalin kolaborasi erat dengan gerakan mahasiswa lintas fakultas, termasuk BEM Untan. Solidaritas antar-organisasi mahasiswa adalah senjata utama untuk melawan struktur kampus yang makin kapitalistik. Ketiadaan solidaritas bukan sekadar kelemahan strategi, tapi juga cermin dari gagalnya pembacaan politik atas medan perjuangan.
Pada akhirnya, kritik ini bukan semata ditujukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangunkan. Kita sedang menghadapi tantangan besar di dunia pendidikan dan politik nasional. Tidak ada ruang untuk pasifisme. Jika BEM FISIP masih ingin bermakna, maka ia harus memilih untuk menjadi penonton sejarah atau menjadi bagian dari gerakan yang mengubahnya.
ADVERTISEMENT