Gen Z sebagai Key Factor di Pemilu 2024

Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT
Ketua Komisi II DPR RI, Waketum DPP Partai Golkar, Anggota DPR RI, Founder Sinergy for Indonesia
Konten dari Pengguna
4 September 2023 16:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mencoblos Foto: kumparan/Denny Armandhanu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mencoblos Foto: kumparan/Denny Armandhanu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekitar lebih-kurang enam bulan lagi kita akan menggelar pemilu serentak yang kedua—setelah 2019 lalu—di mana pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD provinsi, kota, maupun kabupaten, serta DPD akan dilakukan pada waktu bersamaan.
ADVERTISEMENT
Pada pilpres, dengan tiadanya incumbent, yakni Presiden Jokowi, pertarungan diperkirakan akan berlangsung ketat. Sejumlah sigi nasional dan luar negeri menempatkan ketiga nama yang kini muncul—Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo—saling menempel satu sama lain.
Bursa di pileg juga tak kalah dinamis, di mana parpol dan caleg memegang kendali untuk merebut suara rakyat. Jika prediksi koalisi capres, pilpres, dan manuver parpol telah banyak dikupas media setiap harinya, maka tulisan ini akan mencoba menelisik peran penting pemilih muda (gen Z dan milenial) dalam menentukan hasil akhir pemilu 2024.
Kelompok ini sebelumnya diberikan stigma apolitis dan cenderung berjarak dengan politik praktis. Tetapi bila melihat pengaruh mereka di media sosial, tak bisa dimungkiri, zilenial dan milenial akan menjadi game changer atau key factor yang harus diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Pertama, dalam rezim pemilu demokratis dikenal ungkapan one man one vote. Data awal KPU menunjukkan “kekuatan” pemilih muda ini, di mana lebih dari 60 persen pemilih berada di rentang usia gen Z dan milenial (17-39 tahun).
Angka itu ekuivalen dengan 114 juta pemilih, jumlah yang sangat besar tentu saja. Dengan kekuatan barisan muda sebesar itu, kini tak ada partai yang berani meminggirkan mereka dalam menyusun strategi.
Lihat saja, semua partai kini mengubah cara komunikasi politiknya menjadi lebih "receh", two ways, dan fun. Itu zilenial banget. Golkar dan PDIP, dua partai “tua” di republik ini juga melakukan hal yang sama. Baik dalam kampanye di media sosial maupun program-program offline. Begitu juga dengan partai-partai lainnya yang juga melakukan hal serupa.
ADVERTISEMENT

Perlawanan Digital

Kedua, anak-anak muda yang dianggap apolitis, ternyata memiliki kepedulian terhadap isu-isu publik. Mereka mengekspresikan dengan caranya, tidak lagi berdemonstrasi, melainkan memaksimalkan kekuatan media sosial untuk menyuarakan kegelisahannya.
Seperti yang dilakukan Bima, anak muda Lampung yang tengah menempuh studi di Australia. Ia mengkritik sarana umum di daerahnya yang amburadul melalui TikTok.
Hasilnya? Video pendeknya menjadi trending topic nasional berhari-hari. Bahkan, karena video itu Presiden Jokowi sampai berkunjung ke provinsi tersebut dan melakukan percepatan pembangunan jalan-jalan yang rusak parah.
Terkait isu pemilu, hasil pengamatan penulis di lapangan, anak-anak muda juga terlibat dalam diskusi isu-isu politik di tongkrongan masing-masing dengan gaya dan perspektifnya. Ini modal positif bagi konsolidasi demokrasi kita ke depan, di mana pelibatan sebanyak mungkin warga dalam politik menjadi kebutuhan untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Ketiga, fenomena regional dan global juga mendukung pengaruh anak-anak muda dalam politik kekinian. Joshua Wong di Hong Kong misalnya, yang masih berusia 18 tahun, menjadi pemimpin aksi protes terbesar di negara kota tersebut selama berminggu-minggu.
Ia dan circle-nya menggunakan media sosial untuk menyusun isu, merancang aksi, hingga mobilisasi pelajar dan mahasiswa di sana. Meski Hong Kong kini telah kembali ke China—yang negara non demokrasi—tetapi perlawanan Wong dan kawan-kawannya memaksa Beijing untuk memberikan kelonggaran di sana.
Hal serupa juga berlaku di Thailand, di mana anak-anak muda menjadi frontline dalam aksi-aksi menentang monarki beberapa tahun lalu—yang membuat Bangkok bak lautan manusia. Perkembangan terkini, partai anak muda Thailand, Move Forward Party (MFP) secara mengejutkan memenangkan pemilu tahun ini. Itu menunjukkan bahwa kekuatan anak-anak muda bukan hanya wacana, melainkan fakta di lapangan.
ADVERTISEMENT
Di belahan dunia lainnya, “peremajaan” usia politik bahkan mencapai top level di negaranya masing-masing. Para milenial tersebut terpilih melalui pemilu demokratis pada usia 30-an hingga 40-an. Di antaranya Jacinda Ardern (New Zealand), Carlos Alvarado Quesada (Costa Rica), Xavier Espot Zomora (Andorra), Emmanuel Macron (France), Juri Ratas (Estonia), dan Sanna Marin (Finland).
Dalam ilmu politik dikenal azas universalitas, bahwa teori yang berlaku di satu negara, besar kemungkinan juga ditemukan di negara lainnya. Hal tersebut disebabkan, objek penelitiannya adalah manusia, yang—meskipun berbeda dalam tampilan luar—namun memiliki kecenderungan yang sama dalam perilaku.
Maka di awal 1960-an berkembang teori political behaviour, menggantikan structural fungsional. Pendekatan baru ini melihat politik dari perilaku para aktornya, latar belakang aktor tersebut serta lingkungannya. Alih-alih mengamati institusi, lembaga atau konstitusinya semata.
ADVERTISEMENT

Zilenial Antusias

Alhamdulilah, hasil riset terbaru menunjukkan, political behaviour pemilih muda di 2024 nanti juga cukup menjanjikan. Berdasar hasil survei Litbang Kompas, Februari 2023, terlihat bahwa gen Z atau kelompok usia 17-26 tahun cenderung tidak ingin golput. Angka zilenial yang secara sadar ingin golput hanya 0,6 persen. Begitu juga milenial muda yang hanya 1 persen dan milenial tua 1,3 persen.
Temuan di atas linear dengan hasil survei Studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada September 2022. Kesimpulannya, bahwa pemilih muda semakin banyak yang antusias terhadap pileg dan pilpres dalam dua pemilu terakhir. Pada Pemilu 2014, sebanyak 85,9 persen mengaku ikut mencoblos kertas suara di TPS, lalu di 2019 angkanya naik menjadi 91,3 persen yang mengaku ikut pemilu.
ADVERTISEMENT
Meski keikutsertaan dalam pemilu bukan satu-satunya bentuk partisipasi politik, namun dengan banyaknya anak muda yang mencoblos, menunjukkan bahwa demokrasi memiliki harapan untuk semakin berkembang di masa depan.
Penulis yakin tak lama lagi para ketua partai, kepala daerah, menteri, bahkan presiden, sangat mungkin diisi anak-anak muda. Oleh karenanya, partai politik sebagai wadah rekrutmen politik, harus mempersiapkan kader-kader mudanya, dan memberi mereka kepercayaan untuk posisi-posisi kunci.
Hanya dengan cara itu parpol akan relevan dengan perkembangan zaman. Bila tidak, maka parpol akan menjadi aterfak yang ditinggalkan anak-anak muda. Terbukti, sebagai key factor, kehadiran anak muda telah mengubah alur permainan. Mengubah status quo.
Wallahualam!