Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Hak Veto: Jalan Terjal Palestina Merdeka
4 Juni 2024 12:16 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terjadi kemajuan signifikan di Sidang Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum lama ini, di mana 143 negara-negara anggota United Nations (UN) mendukung keanggotaan penuh Palestina. Namun, sekali lagi peluang tersebut terhambat oleh Amerika Serikat (AS), yang secara tradisional selalu mem-backup Israel. Reaksi berbeda diberikan pijak Israel dan Palestina. Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, secara agresif mengecam hasil pemungutan suara yang sebagian besar bersifat simbolis tersebut.
ADVERTISEMENT
Sementara Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyatakan bahwa pemungutan suara tersebut memiliki makna sejarah. “Saya telah berbicara di podium ini ratusan kali, tetapi belum pernah untuk pemungutan suara yang lebih berarti daripada yang akan berlangsung, yang akan menjadi momen bersejarah. Akan tiba saatnya Palestina akan mengambil tempat yang selayaknya di antara komunitas negara-negara yang merdeka,” kata Mansour.
Diksi yang dipilih Mansour benar adanya, karena dalam pemungutan suara tersebut, bukan hanya komunitas negara-negara muslim yang mendukung masuknya Palestina ke PBB. Bahkan 15 anggota NATO juga terkonfirmasi mendukung keanggotaan penuh negara yang kini masih terjajah tersebut.
NATO merupakan aliansi pertahanan negara-negara benua Eropa dan Amerika yang dikomandani oleh para raksasa, seperti AS, Inggris, Jerman dan Prancis. Sebelumnya aspirasi negara-negara NATO terhadap Palestina belum setegas sekarang. Intervensi AS menjadi salah satu faktor situasi itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Reposisi Power
Namun kini mereka memiliki pandangan berbeda, yang mengindikasikan mulai terjadi pergeseran kekuatan, di mana AS bukan lagi satu-satunya absolute power di dunia sekarang ini. Hanya saja, hak istimewa lima negara pendiri PBB, termasuk AS, membuat kampanye keanggotaan Palestina lagi-lagi gagal.
Oleh karenanya, menurut penulis, perlu upaya besar untuk melakukan apa yang disebut sebagai Reformasi PBB. Di mana perlu keadilan dan kesetaraan antar anggota, termasuk menghapus hak veto yang selama ini kerap digunakan oleh AS untuk melindungi kepentingan Israel.
Isu Reformasi di badan tertinggi dunia tersebut juga juga bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah dua dekade diupayakan, termasuk oleh Indonesia. Berdasarkan data yang penulis kumpulkan, sejak World Summit PBB tahun 2005, fokus reformasi PBB tertuju pada upaya untuk menjadikan Dewan Keamanan (DK) lebih demokratis dan representatif.
ADVERTISEMENT
Pada putaran Inter-Governmental Negotiations (IGN) telah dibahas lima persoalan kunci (key issues) reformasi DK yaitu: Categories of membership, Question of veto, Regional representation, Size of the enlarged Security Council and its working methods, dan The relationship between the Security Council and the General Assembly.
Sejauh ini lobby tersebut masih berlangsung dengan setidaknya 11 putaran negosiasi. Hasilnya? Belum ada kemajuan berarti dalam hal reformasi DK-PBB, khususnya terkait perbedaan posisi antar-negara terhadap kelima isu tersebut. Pada tanggal 31 Juli 2015, Presiden Sidang Majelis Umum PBB ke-69 telah mengedarkan Framework Document yang berisi posisi dan proposal dari berbagai negara terkait dengan persoalan kunci dimaksud. Bahkan sejak 2013, Prancis dan Meksiko juga telah mengadakan sejumlah pertemuan mengenai questions on the use of vetoes pada tingkat Menteri di sela-sela sesi tingkat tinggi Sidang Majelis Umum PBB.
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia terhadap isu Reformasi DK-PBB sangat jelas dan tegas. Dalam sambutannya pada Pembukaan Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika di Jakarta pada bulan April 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan perlunya negara-negara Asia dan Afrika terus mendorong proses reformasi Dewan Keamanan.
Salah satu outcoment document yang dihasilkan dari pertemuan tersebut, Declaration on Reinvigorating the New Asian-African Strategic Partnership (NAASP), juga memuat rujukan terhadap pentingnya penambahan jumlah anggota Dewan Keamanan PBB dari kawasan Asia dan Afrika sebagai bagian dari proses reformasi Dewan Keamanan PBB.
Indonesia Menuntut Revisi Hak Veto
Indonesia juga secara konsisten berpartisipasi aktif dalam pembahasan isu reformasi Dewan Keamanan PBB dan isu revitalisasi Majelis Umum PBB baik melalui proses Intergovernmental Negotiations maupun dalam pembahasan the use of vetoes. Berkaitan dengan Categories of Membership, Indonesia memandang perlu pembahasan secara fundamental mengenai ketimpangan keterwakilan antar kawasan dan antara negara maju dengan negara berkembang serta major world constituencies dalam proposal peningkatan keanggotaan Dewan Keamanan ke dalam dua kategori keanggotaan yaitu anggota tetap dan tidak tetap.
ADVERTISEMENT
Lalu mengenai Hak Veto, Indonesia mendesak pengkajian ulang hal tersebut karena situasi tersebut tidak mencerminkan realitas sistem internasional masa kini yang telah mengalami perubahan mendasar baik keterwakilan maupun substansi. Untuk isu Regional Representation, sebagaimana data Kemenlu, terdapat keperluan untuk mencari keseimbangan terhadap realitas geopolitik dan keterwakilan kawasan, dengan mempertimbangkan: ketidakseimbangan keterwakilan yang sangat besar untuk kawasan Asia dan Afrika; meningkatkan keterwakilan negara berkembang; dan perlunya keterwakilan yang lebih berimbang sebagai cerminan keberagaman dan pluralitas dari dunia dewasa ini.
Dengan landscape semacam ini, kemerdekaan Palestina dan keanggotaan penuh di UN dalam waktu dekat sulit untuk diwujudkan jika reformasi PBB (khususnya penghapusan Hak Veto) tidak terjadi. Mengingat selama dua puluh tahun upaya komunitas internasional mendesak US menanggalkan hak previlege tersebut selalu gagal, maka perlu aliansi yang lebih kuat dari negara-negara maju dan berkembang untuk menekan Washington.
ADVERTISEMENT
Tone diplomasi juga perlu dinaikkan, dari imbauan menjadi seruan, dan jika memungkinkan aksi bersama. Apa yang terjadi di tahun 1955 ketika negara-negara Asia-Afrika, yang sebagian besar merupakan negara baru merdeka bertemu di Bandung, terbukti efektif mengakhiri rezim penjajahan yang saat itu dianggap wajar.
Palestine Summit
Maka terkait dengan masa depan Palestina, perlu konferensi khusus terkait isu ini, dengan melibatkan seluruh komunitas internasional. Modal awal sudah tersedia di atas meja para leaders, di mana suara 143 negara yang mendukung kemerdekaan Palestina, harus dikonsolidasikan ke tahapan yang lebih konkret lagi.
Kita bayangkan misalnya tahun ini, atau tahun depan, ada konferensi tentang Gaza (Palestina) di Jakarta, Kuala Lumpur, Istanbul, atau bahkan mungkin di Berlin. Dengan hadirnya 143 negara tersebut, maka itu sama dengan dua-pertiga dari total anggota PBB. Kekuatan ini tentu tidak dapat diabaikan begitu saja, asalkan para leaders mampu mengkapitalisasi modal politik tersebut untuk satu tujuan bersama: mengakhiri penjajahan di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Di level parlemen kita juga bisa melakukan ikhtiar politik melalui forum Inter-Parliamentary Union (IPU). DPR harus mengambil peran untuk mendorong isu Palestina sebagai topik global hari ini dan di masa depan. Keberadaan IPU hari ini juga strategis, bahkan mendapat pengakuan dari PBB.
Pada Sidang Umum PBB 2002, IPU mendapat status sebagai observer, dengan hak khusus yang sangat luar biasa. Di mana IPU dapat mengedarkan dokumen di Sidang Umum PBB. Untuk IPU, hal ini jelas merupakan pencapaian tinggi di tengah-tengah upayanya untuk memberikan dimensi keparlemenan di PBB. Hingga saat ini IPU telah berangggotakan 178 parlemen dari total 193 parlemen di seluruh dunia.
Peran Indonesia di IPU dari tahun ke tahun terus menguat. Sejak bergabung pada 1959, Indonesia telah menggolkan sejumlah agenda di IPU yang menjadi inisiatif parlemen global. Terbaru, pada 144th IPU Assembly, Maret 2022 di Bali, DPR RI berhasil memandu Nusa Dua Declaration yang bertujuan untuk memobilisasi peran aktif parlemen untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Pada resolusi bertajuk, “Rethinking and Reframing the Approach to Peace Processes with A View to Fostering Lasting Peace”, bertujuan untuk mendorong peran parlemen dalam mengedepankan diplomasi damai dan secara khusus menyinggung pentingnya peningkatan peran perempuan dalam negosiasi.
Ke depan, penulis mendesak DPR kita untuk berjalan bersama Kemenlu (pemerintah), menyuarakan kemerdekaan Palestina atas nama kemanusiaan. Itu bisa dimulai dengan mengaktifkan Kaukus Parlemen Dunia, dan meluaskan diplomasi ke semua lini. Tak ada yang tak mungkin di fora diplomasi, seperti saat kita meraih kemerdekaan 1945 lalu, yang juga ditopang oleh ketekunan diplomasi para founding fathers bangsa.***