Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Makna Merdeka Bagi Gen-Z
15 Agustus 2024 13:27 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Dr Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua Komisi II DPR RI, Wakil Ketua Umum Partai Golkar
ADVERTISEMENT
Sering kali penulis ditanya oleh anak di rumah, dan juga anak-anak muda lain saat sedang reses maupun kunjungan ke daerah. Salah satu pertanyaan sederhana namun meaningful misalnya, aapakah bangsa Indonesia adalah entitas yang tiba-tiba muncul? Kapan nasionalisme kebangsaan kita terbentuk? Dan sebagainya. Tak mudah menjawabnya, karena itu perlu menilik sejarah dan juga memuat nilai-nilai filosofis.
Dalam sejumlah literatur, kita dapat menemukan fakta bahwa bangsa Indonesia bukanlah warisan sejarah dari Abad XVII dan sebelumnya. Meski Nusantara menulis kiprah dan kejayaan kerajaan-kerajaan di masa lalu, namun kesadaran akan ke-Indonesiaan muncul di Abad XIX. Pengikat nilai bersama itu, salah satunya adalah penjajahan Portugis, Belanda, Jepang dan Sekutu. Kesamaan nasib itu pada akhirnya menggulung menjadi kekuatan besar yang kemudian menciptakan suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Bennedic Anderson memaknainya bangsa dan nasionalisme sebagai sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan (Imagined Community). Oleh karena imajiner, maka mustahil bagi individu di dalam komunitas bangsa itu pernah benar-benar berinteraksi. Tesis Anderson seolah mematahkan pendekatan-pendekatan nasionalisme sebelumnya yang dibayangkan telah ada terlebih dahulu.
Dalam konteks Indonesia, Imagined Community tersebut cukup relevan. Karena saat kita menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak banyak penduduk Sumatera yang kenal apa itu Kalimantan. Jarang sekali warga Jakarta mengetahui Makassar itu berada dimana. Dan seterusnya, yang semua itu mengukuhkan bahwa kemauan kita untuk menyatu sebagai sebuah bangsa, karena adanya kesamaan nasib dan harapan bersama. Di luar itu, bahasa persatuan menjadi katalisator untuk terciptanya suatu ke-Indonesiaan.
ADVERTISEMENT
Menuju Indonesia Maju
Kembali ke momen kemerdekaan, setiap bulan Agustus kita semua memperingatinya. Tahun ini merupakan perayaan merdeka yang ke-79. Sebuah angka yang tidak muda lagi, namun dalam perjalanan sebuah bangsa, angka tersebut belumlah juga dianggap terlalu tua. Berkaca dari pengalaman negara-negara lainnya dengan tantangan mirip Indonesia, pada usia tersebut sebagian telah mampu menjadi negara maju, sisanya (mayoritas) masih berjuang untuk lepas dari tantangan negara berkembang.
Indonesia pun demikian, kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju. Dalam dokumen Visi Indonesia Emas 2045 yang ditetapkan Presiden RI, di 100 tahun kemerdekaan mendatang, pendapatan per-kapita Indonesia diskenariokan berada di lima besar dunia setara USD 30,300, dengan kontribusi PDB maritim sebesar 15% dan industri manufaktur sekitar 28%. Sementara tingkat kemiskinan diharapkan menurun hingga 0,8%, dengan gini rasio 0,320. Sebagai negara besar di Asia, peran global Indonesia juga didorong lebih aktif memainkan peran di pergaulan dunia, dengan modal Global Power Index ke-15 besar dunia.
ADVERTISEMENT
Kualitas SDM sebagai modal mencapai target negara maju juga mutlak dipenuhi, dengan peningkatan kualitas pendidikan, riset dan inovasi, serta standar kesehatan sesuai dengan HCI. Saat itu skor indeks modal manusia Indonesia menjadi 0,73. Belum sepenuhnya menggembirakan, namun komitmen pemerintah dari masa ke masa, terus berupaya meningkatkan daya saing anak bangsa. Ini merupakan never ending goals dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa. Komitmen Presiden terpilih, Prabowo Subianto untuk meningkatkan kualitas anak-anak Indonesia sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan masa depan juga sangat terasa. Program Makan Bergizi Gratis di sekolah yang menjangkau seluruh sekolah dari Aceh hingga Papua, merupakan revolusi pembelajaran—dalam hal pemenuhan gizi anak.
Diharapkan dengan gizi yang terjamin, akan menstimulasi kemampuan berfikir anak bangsa dan mendorong munculnya critical thinking. Pasalnya berpikir kritis merupakan kebutuhan untuk membangun peradaban, terlebih tantangan hari ini yang semakin kompleks di era digital yang mengarah pada fenomena post-truth. Mengutip Harvard Business Review, cara untuk membangun budaya critical thinking diantaranya dengan senantiasa bertanya pada setiap asumsi. Dengan bertanya, maka pola pikir kita akan terasah. Lalu juga memberikan alasan dengan logika. Terakhir, mengembangkan pemikiran terbuka (open-minded) dengan senantiasa berdiskusi dan mencari informasi.
ADVERTISEMENT
Gen-Z adalah Masa Depan
Tahun ini dan ke depan—menuju 2045—Generasi Z menjadi tumpuan untuk mewujudkan cita-cita 100 tahun kemerdekaan, dimana negara kita mencapai tahapan sebagai negara maju. Impian itu bukan tidak mungkin, mengingat Genzy memiliki banyak keunggulan, selain juga tantangan. Sebagaimana data McKinsey, perilaku Gen-Z dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen besar yang berlandas pada satu fondasi yang kuat bahwa Genzy adalah generasi yang mencari akan suatu kebenaran.
Pertama, Gen-Z disebut sebagai the undefined IDE, dimana generasi ini menghargai ekspresi setiap individu tanpa memberi label tertentu. Pencarian akan jati diri, membuat Gen-Z memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan tiap individu. Kedua, mereka diidentifikasi sebagai the communaholic, yaitu kelompok yang sangat inklusif dan tertarik untuk terlibat dalam berbagai komunitas dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi guna memperluas manfaat yang ingin mereka berikan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, generasi ini juga dikenal sebagai the dialoguer, dimana mereka percaya terhadap pentingnya komunikasi (dialog) dalam penyelesaian konflik di masa depan. Di luar itu, anak-anak muda ini selalu terbuka terhadap pemikiran yang heterogen. Genzy juga dikenal suka berinteraksi dengan individu maupun kelompok yang beragam. Keempat, Gen-Z disebut sebagai the realistic, generasi yang cenderung lebih realistis dan analitis dalam pengambilan keputusan, dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Karakteristik tersebut linear dengan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa Genzy dan Baby Boomer merupakan generasi yang cenderung lebih idealis, khususnya dalam konteks pekerjaan. Kelompok ini juga kerap disebut sebagai generasi yang kreatif dan inovatif. Itu yang setidaknya tergambar dari survei Harris Poll (2020), dimana sekitar 63% Generasi Z tertarik untuk melakukan beragam hal kreatif setiap harinya. Kreatifitas tersebut turut dibentuk dari keaktifan mereka dalam komunitas dan sosial media. Ini merupakan konsekuensi dari relasi yang dekat antara anak-anak muda dengan teknologi (digital native).
ADVERTISEMENT
Dengan modal Genzy yang berkualitas nantinya, bangsa ini akan dapat mengambil manfaat dari momentum kemerdekaan yang kita rayakan hari ini. Oleh karenanya, para pengambil kebijakan publik di berbagai level—yang masih didominasi Milenial dan Baby Boomer—harus menyesuaikan produk-produk peraturan, agar relate dengan karakter Genzy. Dalam konteks memaknai kemerdekaan, aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dan patriotisme ala Genzy akan sedikit berbeda dengan generasi yang lebih tua.
Memahami Genzy
Beberapa ekspresi Generasi Z terkait nilai-nilai kemerdekaan antara lain, pertama, kemerdekaan sebagai momentum kebebasan berekspresi. Dalam kontes ini, ekspresi yang dimaksud terutama di platform digital. Mereka menghargai kemampuan untuk berbagi pemikiran, ide, dan kreativitas melalui media sosial tanpa merasa terikat oleh norma-norma tradisional. Selain itu jaminan atas kebebasan berpendapat juga menjadi tuntutan Genzy, mengingat mereka aktif dalam menyuarakan pendapat tentang isu-isu sosial, lingkungan, dan politik melalui berbagai saluran online.
ADVERTISEMENT
Kedua, aktualisasi nilai patriotisme dalam aksi sosial. Mempelajari sejarah bukan lagi satu-satunya cara untuk menebalkan nasionalisme bagi anak-anak muda ke depan. Lebih utama dari itu adalah adanya tindakan nyata membela sesama, menyuarakan HAM dan enviromental ethics. Mereka juga menginginkan adanya keadilan dan kesetaraan, termasuk dalam gender dan hak-hak minoritas. Ketiga, membumikan nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Genzy akan menghargai perjuangan pihak manapun yang mampu menghasilkan efek bagi lingkungan. Baik itu guru, pekerja sosial, maupun konten kreator. Semua dilihat setara, yang mana karya dan perjuangan menjadi pembedanya.
Terakhir, keempat, patriotisme dalam koteks global. Lingkungan digital telah menjadi habitat utama bagi Genzy, sehingga nilai-nilai universal dalam konteks global juga mempengaruhi cara berpikir mereka. Di satu sis nilai kepahlawan nasional dihargai, namun di saat yang sama kepahlawan global juga menjadi elemen penting. Diantaranya upaya memperjuangkan isu-isu yang relevan di seluruh dunia, seperti perubahan iklim atau hak asasi manusia. Dalam jangka menengah dan panjang, pola ini mengarah pada diplomasi publik, yang tak lagi didominasi oleh state actors semata, melainkan juga masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Itulah setidaknya landscape generasi muda kita di HUT RI ke-79 kali ini, dimana cara pandang dan pola pikir generasi masa depan, berbeda dengan sebelumnya. Tak ada cara lain kecuali beradaptasi dengan semua itu, mengingat hal tersebut adalah sunatullah, atau tanda-tanda zaman yang pasti akan muncul dan menjadi ciri di setiap masa. Merdeka!