Pemilu dan Kemenkeu

Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT
Ketua Komisi II DPR RI, Waketum DPP Partai Golkar, Anggota DPR RI, Founder Sinergy for Indonesia
Konten dari Pengguna
19 Maret 2023 5:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tragedi kematian yang menimpa banyak petugas pemilu di level bawah pada 2019 lalu seharusnya membuat kita semua prihatin. Tak cukup itu, bagi stakeholders kepemiluan, semua pihak harus berpikir out of the box, mencari cara agar keselamatan para “ujung tombak demokrasi” terjamin.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai beban kerja yang sangat tinggi—tabulasi suara hingga dini hari—berdampak pada kesehatan dan yang lebih buruk lagi. Komisi II DPR RI, sejak tahun lalu telah berikhtiar (merumuskan) suatu kebijakan yang protektif terhadap PPS di lapangan. Mulai dari batasan usia petugas pemilu, peningkatan honor, hingga asuransi.
Itu hanyalah salah satu isu krusial menuju pemilu 2024 berkualitas. Masih banyak pekerjaan rumah lainnya yang kini tengah dibahas oleh DPR, KPU, Bawaslu, dan Pemerintah. Alarm turunnya peringkat demokrasi kita tahun lalu harus kita jadikan cambuk untuk bangkit bersama. Bangkit dan mengawal demokrasi yang kita pilih sebagai “jalan ninja” bernegara.
Namun Jer Basuki Mawa Bea, tidak ada yang gratis untuk menghadirkan pemilu sesuai amanat konstitusi: mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun justru di sinilah anomali terjadi, di mana bendahara negara alias Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sampai hari ini belum menunjukkan gestur politik pro pemilu berkualitas.
ADVERTISEMENT
Hipotesis itu berangkat dari fakta-fakta yang terjadi selama persiapan pemilu berlangsung. Hal ini disadari bahwa kebijakan pemotongan anggaran selama Pandemi Covid-19 merupakan keniscayaan. Tetapi setelah krisis mulai teratasi (sejak setahun terakhir), seharusnya Kemenkeu berpikir lebih maju demi mengawal pesta politik lima tahunan.
Pasalnya tanpa pemilu yang luber, negara kita akan kembali ke masa lalu yang kental dengan stigma otoriter dan anti-demokrasi. Apa itu tujuan kita? Saya kira kita tidak sedang menuju ke sana. Justru bangsa ini pasca reformasi 1998 menjadi “kiblat demokrasi”, khususnya bagi negara-negara berkembang.

Demokrasi Pilihan Sadar

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Demokrasi sendiri kita pilih sebagai sistem politik sampai hari ini, atas pilihan sadar para elite bangsa, mulai masa revolusi kemerdekaan hingga menjelang 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Mengutip Henry B Mayo, demokrasi mekar di banyak negara di dunia karena kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas.
ADVERTISEMENT
Secara teknis itu dilakukan melalui pemilu, sehingga terpilih wakil rakyat yang menjadi alat perjuangan pemilihnya. Nilai-nilai dalam demokrasi setidaknya meliputi enam hal.
Pertama, institutionalized peaceful settlement of conflict atau menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga. Kedua, peaceful change in a changing society, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah.
Ketiga, orderly succession of rulers atau melakukan pergantian kepemimpinan secara teratur. Keempat, minimum of coersion, yaitu seminimal mungkin menekan penggunaan kekerasan dalam keadaan apa pun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konfetensi pers, Selasa (14/2). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Kelima, diversity atau mengakui keberagaman dan perbedaan. Dan keenam, menjamin tegaknya keadilan. Guna mewujudkan keenam nilai tersebut, pintu masuknya (sekali lagi) adalah pemilihan umum, bukan yang lain.
Maka dari itu, melihat betapa pentingnya pemilu, sungguh ironis bila dukungan dari pemerintah tidak maksimal. Tidak yakin para pejabat Kemenkeu, khususnya Ibu Menkeu, Sri Mulyani Indrawati (SMI) tidak memahami esensi demokrasi sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan reputasi beliau selaku aktor regional, tentunya isu-isu semacam ini sudah common.
ADVERTISEMENT
Namun yang menyedihkan, di tengah upaya semua lembaga Kepemiluan terus meyakinkan Kemenkeu, tiba-tiba bak “petir menyambar” di siang bolong, muncul isu hedonisme pejabat dan dugaan korupsi. Kita semua tentu prihatin dengan kejadian itu. Dan bila itu terbukti benar, tentu kita seluruh bangsa ini sangat pantas untuk marah.
Apalagi selama ini Menkeu terkesan sangat kaku di dalam mengelola keuangan negara, termasuk pada masalah-masalah yang terkait dengan kebutuhan orang banyak. Komisi II sudah berkali-kali menyampaikan beberapa hal untuk mendapatkan perhatian Bu Menkeu.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Pertama, terkait dengan Dana Kehormatan Penyelenggara Pemilu 2014 yang sampai sekarang belum dicairkan. Ya, anda tidak sedang salah baca, memang faktanya demikian, pemilu 2014 atau sembilan tahun lalu. Dari pengakuan yang didapatkan Komisi II, banyak di antara mereka (anggota KPUD) sekarang mengalami kesulitan ekonomi. Padahal mereka semua telah bekerja, mengantarkan terbentuknya pemerintahan. Termasuk SMI, kabinet dan mereka para pejabat di Kemenkeu.
ADVERTISEMENT
Kedua, anggaran Pemilu 2024 yang banyak sekali mengalami pemangkasan. Terutama anggaran untuk para Penyelenggara Pemilu yang selama ini tunjangannya sangat tidak memadai. Wabil khusus aparat penyelenggara di tingkat paling bawah.
Kami juga mendorong agar mereka mendapatkan jaminan asuransi kerja, namun lagi-lagi itu pun tidak disetujui. Bahkan anggaran untuk tahapan persiapan Pemilu pun saat ini masih dicicil. Informasi yang berhasil kami himpun, untuk tahun 2023 ini, anggaran tunjangan yang disiapkan hanya diskenariokan untuk 6 bulan saja.

Tegak-Lurus pada konstitusi

Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Ketiga, perlu adanya peninjauan ulang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2020. Sebab aturan ini mengakibatkan seluruh Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Padahal Presiden, Menkopolhukam, dan Mendagri sudah setuju untuk dilakukan revisi atas Perpres tersebut. Tetapi lagi-lagi Ibu Menkeu tidak setuju.
ADVERTISEMENT
Keempat, terkait masalah penyelesaian tenaga honorer di berbagai tingkatan birokrasi, yang sampai saat ini juga belum menemukan solusi secara tuntas. Hambatannya, kembali ada di alokasi anggaran di Kementerian Keuangan yang kaku. Ironis.
Yang lebih menyedihkan, saat banyak sekali rakyat kecil membutuhkan kepastian anggaran, termasuk jutaan tenaga honorer dan penyelenggara Pemilu, segelintir pejabat di Kemenkeu justru mempertontonkan hedonisme, menabrak aturan, sampai munculnya dugaan TPPU Rp300 triliun. Meski isu ini kemudian diluruskan PPATK, namun pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD sebelumnya sudah cukup membuat publik marah.
Jangan sampai lambannya Kemenkeu menuntaskan keempat masalah di atas, membuat publik berspekulasi dan mengkaitkan dengan kemungkinan penundaan Pemilu. Bila ini yang terjadi, maka pemerintah yang dirugikan, khususnya Presiden Jokowi, yang berkali-kali menekankan keniscayaan penyelenggara negara untuk tegak-lurus pada konstitusi.
ADVERTISEMENT
Itu harus dimaknai, Kemenkeu menegakkan perintah UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Tidakkah amanat konstitusi cukup untuk membuat kita menjadi bijak? Wallahualam.***