Sengkarut Tenaga Honorer: Fakta dan Solusi

Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT
Ketua Komisi II DPR RI, Waketum DPP Partai Golkar, Anggota DPR RI, Founder Sinergy for Indonesia
Konten dari Pengguna
20 Maret 2024 6:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi PNS. Foto: Dok. djpb.kemenkeu.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi PNS. Foto: Dok. djpb.kemenkeu.go.id
ADVERTISEMENT
Salah satu fungsi anggota DPR adalah menjadi mata dan telinga (mewakili) publik. Tidak hanya konstituen di Dapil-nya, melainkan juga untuk seluruh kelompok. Bertolak dari hal tersebut, dalam tiga bulan terakhir penulis mencermati reaksi netizen di social media, baik Facebook, Instagram dan Tiktok. Media sosial di era kini telah menjadi tools komunikasi dua arah yang efektif antara anggota parlemen dengan konstituen.
ADVERTISEMENT
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian warga adalah terkait dengan UU No 20 Tahun 2023, sebagai pengganti UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Selaku Ketua Komisi II DPR RI, penulis bertekad terus berkomitmen bersama pemerintah, mengawal proses pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN sebagaimana tertuang dalam UU ASN yang baru. Saat ini pemerintah masih menyusun terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana UU ASN dimaksud.
Pada prinsipnya, kami di Komisi II DPR RI terus mengawal eksekusi dari UU yang menjadi solusi bagi 2,3 Juta tenaga honorer di berbagai instansi. Alhamdulillah, setelah melewati tiga tahun kajian dan perdebatan—termasuk meyakinkan pemerintah—solusi yang win-win untuk tenaga honorer dan PPPK dapat dicapai.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kesepakatan Kementerian PANRB, BKN, dan Komisi II terkait penataan tenaga non-ASN yang terdaftar dalam database BKN, akan diselesaikan dengan mengikuti seleksi CASN tahun 2024. Sementara, untuk mengetahui kualitas dan kompetensi masing-masing, penilaiannya dilakukan melalui pemeringkatan terbaik secara berurutan. Kemudian akan ditetapkan menjadi PPPK Penuh Waktu sesuai dengan kemampuan keuangan pada instansi pemerintah masing-masing.
Sedangkan bagi instansi pemerintah yang belum memiliki kemampuan keuangan, tenaga non-ASN diangkat menjadi PPPK Paruh Waktu. Selanjutnya secara bertahap akan diangkat menjadi PPPK Penuh Waktu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan masing-masing instansi pemerintah.
Di atas semua itu, pada prinsipnya—sebagaimana telah disepakati bersama—Di atas semua itu, pada prinsipnya—sebagaimana telah disepakati bersama—bahwa yang terpenting tidak terjadi pengurangan penghasilan, tidak terjadi PHK massal, dan tidak terjadi penambahan beban anggaran.
Bertemu konstituen

Hampir Deponir

Sedikit mundur ke belakang, bila kita berbicara tentang tenaga honorer, banyak kisah pilu yang sampai ke telinga kami di Senayan. bahwa yang terpenting tidak terjadi pengurangan penghasilan, tidak terjadi PHK massal, dan tidak terjadi penambahan beban anggaran., dan oleh karenanya harus ada solusi nyata untuk mengakhiri nightmare itu.
ADVERTISEMENT
Sejak dilantik pada 2019 lalu, Komisi II sudah bertemu dengan perwakilan tenaga honorer dari sejumlah daerah. Semua mendesak agar DPR bisa menginisiasi dan mencari solusi yang tepat untuk masa depan mereka. Sejak itu kami di Komisi II terus berusaha meyakinkan para stakeholders agar tenaga honorer mendapatkan kepastian hidup. Namun situasinya memang tidak mudah, karena setahun kemudian terjadi pandemi Covid-19 yang membuat semua rencana tertunda.
Meski begitu, kami terus mengawal proses itu, sehingga Revisi UU ASN terus dibahas hingga tiga tahun. Biasanya, bila suatu usulan revisi UU tidak tuntas dalam satu tahun, maka akan di-deponir-kan, atau tidak dibahas lagi. Namun karena isu ini sangat strategis—menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya rakyat kecil—maka kami terus berkomitmen mengawal, agar pemerintah mau membahasnya.
ADVERTISEMENT
Setelah adanya political will dari sejumlah pihak, pemerintah bersama DPR bekerja simultan, seraya mengumpulkan data tenaga honorer dimaksud. Tercatat di awal pendataan, tak kurang dari 4,6 Juta tenaga honorer yang menunggu nasib. Di sini kami mendorong agar dilakukan verifikasi yang lebih targeted, sehingga data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasilnya pemerintah dan DPR menyepakati akan menyelesaikan nasib 2,3 Juta tenaga honorer melalui revisi UU yang baru.
Mereka terdiri dari Guru Honorer, Penyuluh Honorer, Tenaga Administrasi Honorer, serta Tenaga Kesehatan Honorer. Maka dari itu, melalui tulisan ini—sebelumnya saya sudah menjelaskan melalui video di social media—sekali lagi kami tekankan bahwa yang terpenting pastikan nama masing-masing tenaga Honorer terdaftar di sistem.
Setelah itu otomatis akan diangkat, baik melalui PPPK paruh waktu, lalu berikutnya menjadi penuh waktu. Meski begitu kami sadar bahwa UU ASN yang baru ini belum memuaskan semua pihak, namun ini merupakan awal penyelesaian manajemen ASN ke depan secara lebih profesional.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, melalui inisiatif ini, diharapkan dapat menjamin jutaan keluarga di Indonesia untuk mendapatkan penghasilan yang layak, sehingga bisa menyekolahkan anak, dan meningkatkan kesejahteraan hidup.

Pentingnya Media Sosial

Kembali ke media sosial, kami melihat bahwa platform ini sangat membantu mempercepat komunikasi dua arah antara anggota parlemen dengan masyarakat. Tak jarang berbagai persoalan dapat diselesaikan melalui kecepatan informasi di media tersebut.
Terkait dengan isu ASN, penulis setiap hari mendapatkan ribuan pesan yang harus dikelola. Semua tentu ingin mendapatkan jawaban, namun itu sangat sulit karena keterbatasan waktu. Maka dari itu kami mengkategorisasi semua pertanyaan dan aspirasi by topics, untuk selanjutnya menjawabnya secara terbuka. Pada Maret 2024 ini, sejumlah isu terkait ASN mengemuka.
ADVERTISEMENT
Pertama, apakah tenaga cleaning services yang sifatnya outsourcing masuk dalam daftar yang akan diangkat. Pada isu tersebut, bila yang bersangkutan bekerja sebagai cleaning service dan termasuk tenaga honorer, maka selama dia sudah didaftarkan, akan diangkat sesuai UU yang baru. Hanya saja outsourcing biasanya swasta murni, sehingga status itu harus dipastikan terlebih dahulu.
Kedua, banyak yang mengaku sudah bekerja sebagai tenaga honorer lebih dari 15 tahun dan kini sudah berumur 46 tahun. Di sini kami jelaskan bahwa selama mereka terdaftar di instansi masing-masing, maka langsung akan diajukan sebagai PPPK, baik paruh maupun penuh waktu.
Selama ini kami menyepakati tiga syarat untuk PPPK, yaitu tidak boleh ada pemutusan hubungan kerja, tidak ada pemotongan penghasilan. Dan terakhir, meski begitu, pemerintah memberikan syarat agar alokasi yang baru tidak membebani APBN. Dengan kata lain, harus ada sinergy antara CASN dan pemerintah, agar semua kepentingan dapat direalisasikan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ada juga kasus seperti guru madrasah swasta (atau guru swasta lainnya), yang menuntut bisa diakomodasi di UU ASN yang baru. Di sini perlu kami jelaskan bahwa UU ini baru mencoba menyelesaikan isu ASN, bukan semua pekerja, termasuk swasta. Saya kira kita semua saat mendaftar suatu pekerjaan, juga sudah mengetahui konsekuensinya, termasuk pilihan ke swasta.
Biasanya yang memilih ke swasta, karena fasilitas di swasta lebih baik dan sebagainya. Meski begitu, bila ada keinginan pindah sebagai ASN, masih terbuka peluang, melalui formasi baru, di mana itu bisa diikuti oleh siapa pun, di luar tenaga honorer yang sudah terdaftar.
Keempat, apakah setelah 2,3 Juta tenaga Honorer selesai, semua beres? Tidak. Kami sudah menekankan ke Menteri PAN-RB bahwa ini baru langkah awal, karena kita juga tahu jumlah awal tenaga honorer (sebelum verifikasi) sekitar 4,6 Juta.
ADVERTISEMENT
Nah berikutnya kita akan mencari solusi untuk sisanya, termasuk Tenaga Kerja Sukarela Kesehatan (TKSK), Pendamping PKH, Tenaga Administrasi Non-Guru, dan lainnya. Ini juga harus kita perjuangkan.

Bekerja Tak Dibayar

Terkait TKSK, penulis mendapat kisah yang memilukan, di mana mereka telah bekerja selama puluhan tahun, namun tidak mendapatkan gaji. Komisi II juga sudah bertemu dengan perwakilan TKSK beberapa kali untuk menemukan solusi yang adil di masa depan. Mengapa mereka mau bekerja tanpa digaji? Bagaimana pemerintah menangani isu ini?
Satu jawaban yang kami dapat, bahwa mereka mau bekerja tanpa gaji, karena tidak ada pilihan lain. Dalam kesehariannya, mereka mendapatkan uang dari sumbangan sukarela pasien dan keluarganya. Ini tentu bukan hubungan kerja yang ideal, dan oleh karenanya negara harus hadir untuk memberikan solusi. Yang pasti, TKSK dan sejenisnya ini ini belum termasuk daftar 2,3 Juta honorer yang akan diangkat.
ADVERTISEMENT
Kelima, ada kritik bahwa UU ini mengecilkan peluang fresh graduate untuk mendapatkan pekerjaan. Saya kira itu penilaian yang berlebihan, karena setiap tahun ada formasi baru untuk para lulusan baru. Seperti di 2024-2025 ini, banyak peluang yang bisa dimaksimalkan para lulusan baru.
Keenam, terkait dengan potensi “previlege” atau ASN titipan, Komisi II sudah menegaskan ke Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak bermain-main dengan nasib jutaan rakyat. Kami juga mengharapkan partisipasi warga (netizen) untuk memberitahukan bila masih ada praktik yang tidak fair semacam itu. Kami kira dengan semakin mudahnya komunikasi di era digital, telah terjadi percepatan dalam transparansi, sehingga tidak mudah bagi birokrasi untuk melakukan kecurangan.
Lebih penting dari semuanya, partisipasi publik—khususnya netizen—untuk mengungkap berbagai temuan, menjadi elemen penting agar UU ini istiqomah di jalan keadilan. Mari kita kawal bersama. Selamat berpuasa.***
ADVERTISEMENT