Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sosmed, 'Bongbong', dan Pemilu 2024
29 Juli 2023 21:57 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dr H Ahmad Doli Kurnia SSi, MT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2022, sebuah kejutan terjadi di Filipina, ketika Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr, anak diktator Ferdinand Marcos memenangkan pemilu di negara tersebut. Mengejutkan, karena citra Marcos sejak kejatuhannya pada 1986 belum sepenuhnya pulih. Namanya juga kerap dikaitkan dengan megakorupsi di masa lalu.
ADVERTISEMENT
Bahkan di Manila terdapat “museum” yang berisi ribuan sepatu mahal Imelda Marcos (istrinya) untuk mengenang rezim koruptif dan diktator tersebut. Namun dunia telah berubah, dan itu nyata adanya. Generasi Milenial dan Gen-Z Phillipines tidak lagi merasa terbebani oleh memori kelam masa lalu.
Hanya sedikit kelompok tua yang masih anti-Marcos. Meski demikian, masih banyak pihak penasaran, mengapa pemulihan citra Marcos berhasil dalam waktu relatif cepat? Tak lain karena dukungan social media! Sejumlah analis kawasan Asia Tenggara sepakat bahwa kemenangan Bongbong ditopang oleh penggunaan media sosial sebagai alat propaganda.
Ia tidak melakukannya hanya menjelang pemilu, melainkan telah menyiapkan plan strategy di socmed jauh-jauh hari. Lima tahun sebelum pemilu 2022, Bongbong banyak terlibat dalam upaya membalik image keluarganya melalui social media. Setelah melewati masa krisis—dengan membaiknya citra Marcos Family—berbagai testimoni dari eks pendukung Marcos disebar secara masif di lini masa TikTok dan platform media sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan menurut laporan yang dimuat The Nation, sumber di Cambridge Analytica, konsultan politik global, mengaku telah didekati oleh Marcos Jr untuk menghapus catatan hitam rezim Marcos di platform media sosial (dan internet). Setelahnya, Bongbong mendapatkan momentum untuk memberi harapan baru bagi rakyat Filipina.
Bertolak dari pengalaman Filipina yang masih segar dalam ingatan publik, kini bangsa kita dihadapkan pada pemilu 2024. Terdapat kesamaan antara Indonesia dan Filipina dalam perkembangan Information and Communication Technology (ICT), di mana penetrasi internet di kedua negara sangat masif. Indikator kualitatifnya dapat dilihat dari pergeseran model pemberitaan media mainstream. Mereka sebelumnya menganggap social media hanyalah platform “main-main”.
Kini asumsi itu tidak berlaku lagi, di mana socmed telah menjadi salah satu rujukan berita. Setiap hari, ratusan artikel disajikan oleh media mainstream hanya berdasar posting-an atau twit dari pejabat pemerintah maupun politisi. Pergeseran political behaviour politisi juga terlihat dalam cara mereka beradu argumen. Dari sebelumnya bertemu di talk show televisi, radio dan artikel di media cetak, kini kita disuguhi serangkaian Twitwar atau sejenisnya, antar politisi, pejabat maupun aktivis.
ADVERTISEMENT
Go Digital
Tak heran, sejumlah partai besar yang dulu percaya dengan “kekuatan massa” dan pendekatan tradisional, kini mulai membangun desk khusus social media. Mereka menyadari bahwa jika tidak melakukan perubahan dalam pola komunikasi politik di tengah disrupsi teknologi, maka akan berdampak pada melemahnya citra partai di mata pemilih muda yang jumlahnya mayoritas.
Selain itu, semakin banyaknya jumlah politisi muda di partai, turut mempengaruhi para pengambil keputusan. Mereka antara lain mendesak pentingnya penggunaan new media dan social media, karena itu adalah fenomena yang tidak bisa ditolak. Sunnatullah istilahnya, tanda-tanda zaman.
Data menunjukkan, pengguna internet di Indonesia meningkat tajam dalam sepuluh tahun terakhir. Terbaru, mengutip laporan Wearesocial, Januari 2023, pengguna internet di Indonesia mencapai 212,9 Juta orang, atau 77% dari total populasi kita yang sekitar 273 Juta jiwa. Lalu social media juga berkembang pesat, di mana saat ini terdapat kurang lebih 167 Juta pengguna socmed aktif (60,4% terhadap populasi). Angka ini cukup besar, dan akan terus meningkat, seiring semakin bertumbuhnya infrastruktur ICT.
ADVERTISEMENT
Perilaku internet users di Indonesia juga memacu banyak parpol dan politisi untuk semakin mendekati masyarakat. Masih dalam laporan yang sama, sekitar 83,2% users menggunakan internet dan social media untuk mencari informasi. Sementara 73,2% users memakai internet untuk menemukan ide-ide baru dan inspirasi. Angka ini tentu sangat penting untuk dicermati, mengingat parpol dan politisi dituntut menyajikan informasi yang menarik, agar bisa link and match dengan kebutuhan para pencari informasi tersebut.
Meski demikian, social media juga dijadikan ajang pertarungan antar kekuatan politik. Mereka bisanya menggunakan kelompok pendengung (buzzer) untuk mem-viralkan narasi tertentu. Di saat yang sama, para buzzer ini juga kerap melakukan serangan masif ke lawan politik. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi “monumen” perang virtual yang sampai membelah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saat itu, para pendukung capres saling memberi stigma untuk menjatuhkan mental lawan politiknya masing-masing. Fenomena Cebong dan Kampret menambah semakin paripurnanya keterbelahan itu, yang sampai hari ini dampaknya sebagian masih terasa. Kohesivitas sosial kini belum benar-benar pulih, meskipun pemilu sudah lama berlalu. Ironisnya, di tengah sentimen antar kelompok di grassroot akibat socmed yang destruktif, elite di atas justru sudah saling bersalaman dan bahkan bergabung.
Oleh karenanya, dalam menghadapi pemilu 2024 mendatang, kita harus menghindari perpecahan akibat pertarungan isu dan dukungan di social media. Caranya, pertama, memisahkan antara negative campaign dan black campaign. Negative campaign adalah strategi mengkritisi kebijakan atau kinerja minor dari lawan politik. Sementara black campaign, cenderung mengeksploitasi kelemahan lawan yang bersifat personal dan SARA.
ADVERTISEMENT
Untuk yang pertama, itu sah digunakan dalam demokrasi. Misalnya calon incumbent menjanjikan pembangunan perumahan sekian ratus ribu unit, namun baru terbangun puluhan ribu. Celah jumlah itu dapat dijadikan bahan negative campaign. Sementara yang kedua, biasanya dilakukan dengan mengolok-olok keluarga, suku dan sebagainya. Ini yang tidak boleh, karena akan memancing reaksi yang destruktif.
Menertibkan Buzzer
Kedua, mendorong pemerintah untuk bersikap preventif dengan mengidentifikasi akun-akun yang berpotensi memecah belah masyarakat. Ujaran-ujaran yang bersifat provokatif, kebencian dan SARA, juga seharusnya ditertibkan, bahkan sebelum kampanye resmi digelar. Ini menjadi tugas dari Kementerian Kominfo dan aparat penegak hukum, untuk bersikap adil dan tegas terhadap setiap pelanggaran. Jangan sampai penindakan hanya kepada satu-dua pihak, melainkan harus fair ke semua kelompok yang melanggar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mendorong kesadaran para elite politik untuk tidak menggunakan buzzer dengan tujuan menyerang lawan politik secara personal. Jika mereka hanya digunakan untuk menyebarluaskan strategi dan program partai atau Capres, itu bisa diterima. Di sinilah terkadang muncul godaan untuk menghalalkan segala cara demi memenangkan pertarungan. Oleh karenanya, sikap dan komitmen para elite sangat menentukan, karena mereka memiliki kuasa untuk mengeksekusi kebijakan.
Jangan sampai, rayuan kekuasaan yang berlebih, menjadikan social media yang seharusnya bermanfaat, menjadi alat yang berbahaya. Dalam jangka panjang, itu akan menurunkan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi, karena mereka mempersepsikan demokrasi hanyalah kegaduhan, kebisingan dan konflik.
Ini juga yang berlaku di Filipina—di mana selain propaganda di media sosial—kemenangan Bongbong juga dikarenakan kekecewaan dan keputusasaan sebagian besar pemilih terhadap stabilitas politik dan pemerintahan yang dihasilkan dari pemilu demokratis selama tiga dekade terakhir. Kegaduhan dimaksud antara lain mulai dari pemakzulan presiden, protes politik, kerusuhan, korupsi, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Apakah sejumlah indikator di Filipina tersebut juga terjadi di Indonesia? Sepertinya sejumlah diksi tersebut tidak terlalu asing bagi kita dalam dua puluh tahun terakhir. Inilah yang kita khawatirkan, bila demokrasi terbuka yang kita perjuangkan bersama sejak 1998, justru berujung pada keputusasaan pemilih. Oleh karenanya, para elite dan kita semua harus teguh memegang prinsip Pancasila, Konstitusi dan Demokrasi, untuk bersama-sama mengawal perjalanan pemilu di era digital menjadi pemilihan yang adil, jujur dan berkualitas.
Jangan sampai demokrasi berujung pada kepasrahan kolektif, sebagaimana kutipan dari seorang sosiolog, “The faith people had in liberal democracy has dried up”. Keyakinan orang-orang terhadap demokrasi liberal telah mengering. Tentu itu yang harus kita hindari.***