Konten dari Pengguna

Analisis Teori Identitas terhadap Terorisme

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
3 April 2021 21:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Analisis Teori Identitas terhadap Terorisme
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Beberapa Kesalahan dalam Upaya Memahami Tindakan Terorisme

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Brannan, Esler, dan Strindberg (2001), yang mengkritik bagaimana tradisi Barat dalam menggambarkan gerakan-gerakan terorisme ataupun beberapa upaya dari para akademisi dalam menjelaskan tindakan terorisme. Kesalahan fatal yang sering dilakukan adalah para akademisi tersebut biasanya memiliki sudut pandang yang kurang bisa setidak-tidaknya netral tanpa memihak, atau biasa yang sering digunakan dalam istilah akademisi adalah upaya perspektif emik dalam penulisan.
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
Sudut pandang yang seringkali digunakan selalu memotret gerakan-gerakan terorisme itu sebagai suatu tindakan yang antagonis dan cenderung selalu melakukan justifikasi atas hal tersebut. Justru dengan cara pandang yang seperti ini akan membuat upaya analisis terhadap tindakan terorisme menjadi dangkal, karena akan menghalangi pemahaman peneliti secara menyeluruh dan juga yang lebih utama adalah menghalangi perspektif dari para pelaku terorisme itu sendiri terkait dengan motif serta tujuan mereka melakukan hal tersebut. Perspektif emik inilah merupakan salah satu solusi untuk memahami tindakan terorisme secara mengakar dan mengetahui seluk-beluk mereka.
ADVERTISEMENT
Kemudian kesalahan kedua yang seringkali luput untuk ditangkap oleh peneliti adalah menganggap bahwa seolah-olah tindakan terorisme itu merupakan produk dari psikopatologi, atau hanya dianggap sekadar pemenuhan ego pribadi mereka saja (Abdel-Khalek, 2004). Padahal seperti yang seringkali kita lihat di berita-berita juga, bahwa para pelaku terorisme tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya itu depresi. Mungkin akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan tindakan bunuh diri lain yang dilakukan atas nama pribadi jika memang yang bersangkutan telah mengalami tanda-tanda depresi sebelumnya.
Sedangkan tindakan bunuh diri dalam terorisme biasanya tidak ada kesan depresi dari para pelaku (Lester dkk, 2004). Justru tindakan terorisme seringkali menujukkan kesan adanya kesetiaan kelompok yang tinggi, tujuan tertentu yang sangat ingin dicapai, fokus atas tugas-tugas tertentu yang telah diberikan (Lester dkk, 2004).
ADVERTISEMENT
Ketiga, adalah biasanya sudut pandang ataupun framing yang dilakukan oleh beberapa media pemberitaan termasuk para akademisi dalam upayanya memahami terorisme adalah mengelompokkan mereka dengan tindakan kriminal. Padahal justru yang menarik adalah sebaliknya, bahwa para pelaku terorisme sama sekali tidak melihat diri mereka itu merupakan seorang kriminal (Lester, 2004).
Malahan dalam benak mereka, tersimpan kepercayaan yang mendalam bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang sah serta disetujui oleh otoritas agama ataupun pemimpin kelompok mereka. Kemudian kesalahan keempat yang seringkali ditemui adalah penilaian bahwa para pelaku terorisme itu dalam melakukan aksinya merupakan upaya untuk “mencari” identitas.
Padahal justru kebalikannya, mereka melakukan aksinya adalah dikarenakan pengaruh identitas yang sangat amat kuat melekat dalam diri mereka. Hal itu merupakan bentuk ekspresi dari identitas tersebut (Arena & Arrigo, 2005).
ADVERTISEMENT

Peran Identitas dalam Terorisme

Jika membahas tentang konsep “identitas”, maka akan mengarah pada tiga pembagian lagi di dalamnya, yang kemudian ketiga bagian ini akan saling bersinggungan satu sama lain membentuk pola-pola tertentu dalam diri individu. Identitas akan membentuk bagaimana si individu itu untuk berpikir, berperilaku dan kemudian menggunakan seperangkat hal tertentu yang mencerminkan identitas tersebut. apa saja tiga bagian dari identitas? Pertama yakni identitas kultural. Identitas kultural berarti seluruh nilai-nilai budaya tertentu yang diterima oleh si individu dari dia kecil sampai sepanjang masa hidupnya. Nilai-nilai tersebut bisa dia peroleh dari lingkungannya mulai dari cara berperilaku, kolektivisme, absolutisme dan sebagainya (Schwartz dkk, 2006). Bagimana nilai-nilai ini kemudian bisa membentuk identitas diri individu?
ADVERTISEMENT
Maka mengandaikan sebuah proses internalisasi terlebih dahulu dari nilai-nilai tersebut ke dalam diri individu secara pribadi. Kemudian lingkungan yang dimaksudkan di sini bukan melulu lingkungan tempat tinggal saja, namun bisa juga diartikan dalam hal yang lebih luas lagi seperti nilai-nilai bangsa dan negara, nilai-nilai agama, etnis, kelompok, bahkan termasuk apa saja yang kemudian diakses oleh si individu yang bersangkutan.
Dalam konteks zaman sekarang yang mana informasi sudah sangat deras arusnya di seluruh sendi kehidupan kita melalui media sosial, maka seluruh interaksi yang dia lakukan di media sosialnya pun termasuk memiliki kemungkinan untuk proses internalisasi nilai-nilai tersebut (Amett Jensen, 2003).
Kemudian identitas sosial itu berkaitan dengan signifikansi atau penandaan tertentu yang melekat pada diri atau kelompok tertentu yang dianggap khas (Henri & Turner, 1986). Identitas sosial ini tidak hanya terkait dengan signifikansi, lebih jauh dia juga terkait dengan pola-pola interaksi dalam kelompok tertentu serta bagaimana perasaan antar individu dalam kelompok tersebut terkait dengan kedekatan dia dengan kelompoknya (Brown, 2000).
ADVERTISEMENT
Perasaan solidaritas dan saling memiliki dalam satu kelompok ini kemudian menciptakan sudut pandang tertentu bagi kelompok lain yang dianggap bertentangan dengan kelompoknya. Biasanya akan mudah sekali timbul rasa antipati terhadap kelompok lain yang dianggap “bukan golongan kami” (Tajfel & Turner, 1978). Setelah melihat identitas kultural dan identitas sosial, kemudian kedua bentuk identitas ini akan membentuk identitas personal pada akhirnya.
Namun dengan beberapa persyaratan yakni mengandaikan subjektivitas dari pribadi yang bersangkutan. Maksudnya adalah si pribadi ini akan melakukan refleksi atas nilai-nilai dan perasaan solidaritas dalam kelompok tadi, dia paduka dengan tujuan yang kemudian akan dia pilih dan dia tentukan, bagaimana perspektif pribadi dia dalam memandang seluruh hal.
Dengan bermodalkan tiga jenis pembentukan identitas ini, kita akan bisa menganalisis perilaku terorisme dikarenakan apabila hanya salah satu dari tiga jenis identitas yang telah diuraikan tersebut merasa terganggu atau terancam, maka orang yang bersangkutan pastinya akan melakukan suatu tindakan tertentu terkait hal tersebut. Apalagi jika ada lebih dari satu aspek dalam tiga hal tadi yang saling bersinggungan seperti yang telah penulis jelaskan. Sebagai contoh anak-anak muda yang mungkin sedang mencari jati dirinya dan ketika merasa telah menemukan suatu jati diri tersebut akan dia genggam seerat mungkin.
ADVERTISEMENT
Secara pribadi biasanya anak muda itu akan mengalami semacam krisis identitas yang juga akan berpengaruh pada sikap atau perilaku dia, kematangan dan stabilitas emosional yang dia miliki. Bayangkan saja apabila kelabilan tersebut bertemu dengan ajaran sekelompok tertentu yang mengajarkan pola beragama dengan sangat keras, menanamkan nilai-nilai yang kuat terkait dengan ketaatan beragama, ada paradigma “kita versus mereka” yang selalu digaungkan oleh pemuka kelompok tersebut dan menormalisasi tindakan pengutukan, pengecaman serta pada puncaknya adalah mendukung tindak kekerasan yang akan dilakukan kepada siapa pun yang dianggap telah menodai prinsip-prinsip mereka (Silberman dkk, 2005).
Kemudian hal itu juga dibalut dengan perasaan emosional saling memiliki dalam kelompoknya, solidaritas yang begitu kuat terjalin di dalamnya. Keyakinan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar jika dibandingkan dengan kelompok lain, utamanya kelompok tertentu yang dianggap “sah” untuk diserang (Smith, 2004). Seluruh hubungan yang sangat kompleks tadi bisa saling berintegrasi satu sama lain dan membuat kemungkinan perilaku terorisme makin tinggi akan terjadi. Maka dari itu dibutuhkan kemampuan analisa yang komprehensif, multidimensional, serta integratif dalam memahami hubungan antara identitas dengan tindakan terorisme ini.
ADVERTISEMENT

Identitas Kultural

Dalam seluruh tindakan terorisme, pasti terdapat sudut pandang atau paradigma yang terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah kepentingan tertentu yang harus diwujudkan dalam kegiatan atau tindakan tertentu “kami”, dan yang kedua adalah sasaran atas perwujudan dalam tindakan tersebut “mereka”. Pasti akan selalu ada sudut pandang yang dengan mendikotomi dengan berbagai alasan. Biasanya dikarenakan ada perbedaan agama, ras, etnis, dan budaya.
Lebih lanjut terkait dengan dikotomi sudut pandang “kami” versus “mereka” ini selalu akan memposisikan kelompok “kami” merupakan kelompok yang dalam posisi kebenaran, baik, bermoral, sebaliknya dengan kelompok lain yang tergolong dengan “mereka” akan selalu dipandang sebagai yang buruk, tidak bermoral, dan salah. Peran penanaman nilai kultural dalam sudut pandang seperti ini juga merupakan hal yang sangat berpengaruh, ketika anggota dalam kelompok kultural tersebut yang selalu ditanamkan sudut pandang dikotomis tidak mampu untuk melihat sudut pandang “yang lain” seolah mereka memakai kacamata kuda yang menutup pandangan sekitar dengan cara yang luas dan hanya memiliki satu pandangan saja. Oleh Erickson (1985) proses tersebut dinamakan sebagai “pseudospeciation”.
ADVERTISEMENT
Ajaran kebenaran suatu kelompok agama tertentu yang absolut kemudian menjadikan penanaman nilai secara kultural tentang sudut pandang “kami melawan mereka” ini menjadi sangat kental. Ketika suatu kelompok memandang bahwa ajaran dari kelompok agamanya lah satu-satulah ajaran yang paling benar, dan ajaran agama lain otomatis akan dianggap salah. Dengan cara berpikir seperti ini, maka kemudian akan timbul misi-misi tertentu yang menuntut kelompok “paling benar” ini kemudian membuat perombakan ulang kepada seluruh pandangan kelompok agama lain supaya mereka juga ikut dalam “ajaran kebenaran” sebagaimana yang kelompok ini anut.
Kemudian akan muncul tindakan-tindakan atau upaya mengubah, menghilangkan, menaklukkan mereka yang diidentifikasi sebagai “kafir”. Dengan perlekatan konsep-konsep tersebut ketika memandang kelompok lain, maka seolah akan tercipta pembenaran untuk melakukan penyerangan kepada kelompok lain yang dianggap “kafir”, “orang berdosa”, “kaum bid’ah” dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Religiusitas dalam kadar tertentu memang akan mampu untuk mengarah kepada tindakan-tindakan kekerasan bahkan sampai kepada terorisme (Ciampi, 2005). Apalagi keyakinan tertentu dari seseorang atau suatu kelompok ajaran agama yang sangat kaku dalam memandang dan melihat kelompok lain menjadi otomatis akan selalu salah karena golongan mereka lah golongan yang paling benar (Silberman dkk, 2005). Ada tiga cara bagaimana nilai-nilai dalam ajaran agama mampu untuk menyebabkan kemungkinan seseorang kemudian menjadi ekstremis, pertama adalah kemutlakan akan pandangan dikotomis “kelompok kami melawan kelompok mereka”, kedua adalah paham religius yang kuat dan amat kaku, dan kemudian yang ketiga adalah keyakinan atas janji penebusan dosa yang menuntut pengorbanan diri sendiri atau perintah tertentu untuk melindungi iman dalam diri dengan sangat kuat sampai mengorbankan diri sendiri pun bukan menjadi masalah. Faktor kultural ini kemudian akan mampu untuk saling berintegritas dengan faktor-faktor lain seperti identitas sosial dan identitas personal.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang “kami melawan mereka” juga biasanya berpengaruh dalam bingkai perbedaan etnis, suku bangsa, ras, dan perbedaan kultural lainnya. Biasanya akan terjadi konflik horizontal dengan kelompok lain yang seolah menyatakan bahwa wilayah atau hak kelompok pertama itu telah dirampas dari mereka sehingga akan selalu memposisikan diri mereka sebagai korban yang kemudian memiliki pembenaran untuk melakukan “serangan balik”. Dorongan-dorongan untuk merebut kembali hak-hak yang telah direnggur, upaya memerdekakan golongan dari kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman mampu endorong berbagai kemungkinan tindakan terorisme.

Identitas Sosial

Dalam identitas sosial, bagaimana antar individu dalam suatu kelompok mengidentifikasi dirinya yang sudah inheren di dalam kelompoknya dengan berbagai spesifikasi, memperkuat lagi nilai-nilai yang tertanam terkait dengan “kelompok kami melawan kelompok mereka”. Dikotomi perbedaan kelompok tersebut kemudian akan berdampak pada pola interaksi yang dilakukan antar kelompok, maupun dalam diri individu yang sudah terinternasilasi nilai tersebut apabila berhadapan dengan orang yang berada di kelompok luar.
ADVERTISEMENT
Ada konsep “in group” dan “out group” yang seringkali sensitif pembahasan ini karena pembatasan yang begitu abstrak tentang wilayah ang mungkin bisa saja dianggap dilanggar oleh seseorang dari kelompok lain. pelanggaran wilayah tersebut tidak melulu secara fisik saja, namun juga bisa dirasakan secara psikologis.
Tantangannya adalah justru ketika secara psikologis suatu kelompok merasa wilayah mereka dilanggar oleh kelompok lain, maka akan menimbulkan gesekan sosial meskipun itu hanya berasal dari anggapan psikologis tanpa dasar yang jelas secara empiris (Brown, 2000). Seringkali orang lain yang dinilai sebagai out group dikelompokkan menjadi satu dengan diberikan label khusus seperti “kafir” dan kemudian akan dianggap sebagai “musuh” (Woolf & Hulsizer, 2005).
Interpretasi dari “ancaman” yang seringkali dilekatkan berasal dari mereka yang out group itulah yang menjadi sangat abstrak untuk dibahas. Karena hal itu nyatanya seringkali hanya terkait dengan permasalahan beda pendapat yang mungkin tidak seharusnya diselesaikan dengan kekerasan sama sekali. Akan tetapi seolah menjadi konflik yang sangat memanas bahkan melebihi ancaman secara fisik yang nyata terjadi (Huntington & Jervis, 1997). Maka dari itu sebagai bentuk kehati-hatian, sangat penting untuk bisa berperspektif emik, mencoba meniadakan segala kemungkinan yang membuat kelompok ekstremis menjadi menyala dan melakukan suatu tindakan terorisme (Brannan dkk, 2001; Arena & Arrigo, 2005).
ADVERTISEMENT
Apabila gagal untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gesekan akibat interpretasi “ancaman” tadi, maka akan menimbulkan kelompok tertentu yang mengatasnamakan suatu kelompok atau ideologi tersebut serta merasa bertanggung jawab untuk mengubah sistem yang telah ada bahkan dengan kekerasan sekalipun.
Ada juga perasaan keterasingan yang dialami oleh pihak kelompok tertentu yang kemudian akan berubah menjadi “kebencian” terhadap rezim kelompok yang dianggapnya lebih berkuasa atau lebih besar yang telah melakukan penindasan dan diskriminasi terhadap kelompok pertama. Jelas saja hal itu akan berusaha untuk dirubah oleh kelompok yang merasa terdiskriminasi, lepas dari memang mereka menerima diskriminasi tersebut atau bahkan hanya sekadar prasangka yang mereka miliki ketika mereka melihat ada kelompok lain yang lebih besar dan lebih dominan dari kelompoknya.
ADVERTISEMENT
Segala cara akan mampu dikerahkan demi mengubah sistem tersebut. dikarenakan mereka sudah merasa terasing sejak awal, maka secara psikologis prasangka akan melekat dengan buruk meskipun semisal suatu saat ada upaya dari kelompok luar yang lebih besar tadi mengirimkan perwakilan demi menjalin hubungan dan berdialog dengan mereka. Mereka akan otomatis mengecap hal tersebut tak lebih dari pencitraan belaka dan akan langsung menolak, alhasil jalan satu-satunya yang mereka anggap mereka miliki hanyalah kekerasan (Post, 2005).

Identitas Personal

Setelah membahas dua pendekatan identitas di atas, yakni identitas kultural dan identitas sosial yang terkesan bahwa identitas tersebut merupakan bentukan dari luar diri, maka kita sekarang berada pada pembahasan identitas personal. Identitas personal berarti bagaimana diri sebagai subjek yang otonom akan mengambil atau mengamini beberapa ataupun seluruh nilai-nilai yang tadi telah dijelaskan berada pada aspek di luar individu sebagai subjek. Nilai-nilai tersebut akan disesuaikan dengan tujuan, keyakinan yang dipegang secara pribadi, juga kepentingan pribadi dari si individu (Marcia dkk, 2012).
ADVERTISEMENT
Marcia (1966) menuliskan bahwa ada setidaknya dua proses dalam pembentukan identitas personal ini. Pertama adalah dimensi eksplorasi dan yang kedua adalah dimensi komitmen. Dalam dimensi eksplorasi, jelas si subjek akan melakukan pencarian atas jati dirinya ketika menghadapi berbagai alternatif identitas atau nilai-nilai yang berada di luar sana. Kemudian dalam dimensi komitmen, berarti subjek telah memegang nilai-nilai tertentu dan kemudian akan dengan sangat teguh mempertahankan nilai-nilai tersebut dalam dirinya.
Dari dua proses pembentukan ini, kemudian akan menghasilkan dua kemungkinan identitas. Pertama adalah identitas yang dipaksakan secara otoriter, dan yang kedua adalah identitas campuran yang tidak jelas arah tujuannya.
Dua kemungkinan hasil dari pencarian identitas tadi bisa memiliki potensi untuk pada akhirnya jatuh kepada identitas seorang teroris. Ketika kita mencoba melihat pada hasil pertama yang ada semacam otoritas tertentu untuk membuat subjek tidak melihat kemungkinan atas nilai-nilai lain yang lebih luas akan menghasilkan individu yang tidak toleran. Sedangkan untuk kemungkinan hasil kedua ketika ada percampuran nilai-nilai dalam identitas namun tanpa diselingi dengan arah tujuan yang jelas maka juga akan mampu dengan mudah menerima “cuci otak” dari para penyebar ideologi teroris (Marcia dkk, 2012).
ADVERTISEMENT
Individu yang dalam proses pencarian atau eksplorasi akan nilai-nilai identitas itu tidak bisa bebas menjelajahi seluruh pandangan alternatif yang ada, biasanya akan cenderung memiliki sudut pandang yang sangat tekstual dalam memandang keimanan atau ajaran agama (Duriez & Soenens, 2006).
Ketika individu yang lahir dalam proses yang sangat otoriter akan satu nilai ini terwujud, maka akan dengan sangat mudah dia menganggap perbedaan pendapat di masyarakat secara luas itu merupakan perihal yang melulu salah melawan benar, paradigma hitam-putih pun akan muncul, dan secara otomatis dia akan membela mati-matian nilai yang dia anut dengan cara apa pun bahkan akan memandang mereka yang berbeda pendapat sebagai ancaman atau gangguan yang patut untuk disingkirkan (Altemeyer, 2004).
ADVERTISEMENT
Untuk kasus individu yang kurang memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas, mereka akan diimingi gambaran tertentu dan jaminan akan kejelasan tertentu dalam ideologi kelompok teroris yang membuat diri mereka seolah mencari jawaban atas ketidakjelasan yang selama ini mereka alami. Maka dari itu individu seperti ini akan dengan mudah melakukan suatu hal tanpa mempertimbangkan hal-hal lain.
Individu seperti ini jiak diibaratkan adalah seperti mesin yang tidak akan mampu untuk beroperasi dengan tujuan yang jelas tanpa ada seorang operator yang mengarahkan dan memimpin mereka pada jalan yang sudah dapat dipastikan. Manipulasi akan sangat rentan terjadi dalam orang tanpa tujuan seperti ini. Mereka akan dengan mudah untuk menjiplak suatu pemikiran orang lain apa adanya tanpa melakukan refleksi terlebih dahulu terhadap suatu pandangan tersebut (Schwartz, 2005).
ADVERTISEMENT

Referensi

Abdel-Khalek, A. M. (2004). Neither altruistic suicide, nor terrorism but martyrdom: A Muslim perspective. Archives of Suicide Research, 8(1), 99-113.
Altemeyer, B. (2004). Highly dominating, highly authoritarian personalities. The Journal of social psychology, 144(4), 421-448.
Arena, M. P., & Arrigo, B. A. (2005). Social psychology, terrorism, and identity: a preliminary re‐examination of theory, culture, self, and society. Behavioral sciences & the law, 23(4), 485-506.
Arnett Jensen, L. (2003). Coming of age in a multicultural world: Globalization and adolescent cultural identity formation. Applied Developmental Science, 7(3), 189-196.
Brannan, D. W., Esler, P. F., & Anders Strindberg, N. T. (2001). Talking to" terrorists": Towards an independent analytical framework for the study of violent substate activism. Studies in Conflict and Terrorism, 24(1), 3-24.
ADVERTISEMENT
Brown, R. (2000). Social identity theory: Past achievements, current problems and future challenges. European journal of social psychology, 30(6), 745-778.
Ciampi, D. E. (2005). Developmental and Motivational Factors of Transnational Terrorists. Forensic Examiner, 14(3).
Duriez, B., & Soenens, B. (2006). Personality, identity styles, and religiosity: An integrative study among late and middle adolescents. Journal of adolescence, 29(1), 119-135.
Erikson, E. H. (1985). Pseudospeciation in the nuclear age. Political Psychology, 213-217.
Henri, T., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. Psychology of intergroup relations, 2, 7-24.
Huntington, S. P., & Jervis, R. (1997). The clash of civilizations and the remaking of world order. Finance and Development-English Edition, 34(2), 51-51.
ADVERTISEMENT
Lester, D. (2004). Altruistic suicide: A look at some issues. Archives of Suicide Research, 8(1), 37-42.
Lester, D., Yang, B., & Lindsay, M. (2004). Suicide bombers: Are psychological profiles possible?. Studies in Conflict & Terrorism, 27(4), 283-295.
Marcia, J. E. (1966). Development and validation of ego-identity status. Journal of personality and social psychology, 3(5), 551.
Marcia, J. E., Waterman, A. S., Matteson, D. R., Archer, S. L., & Orlofsky, J. L. (2012). Ego identity: A handbook for psychosocial research. Springer Science & Business Media.
Post, J. M. (2005). When hatred is bred in the bone: Psycho-cultural foundations of contemporary terrorism. Political Psychology, 26(4), 615-636.
Schwartz, S. J. (2005). A new identity for identity research: Recommendations for expanding and refocusing the identity literature.
ADVERTISEMENT
Schwartz, S. J., Montgomery, M. J., & Briones, E. (2006). The role of identity in acculturation among immigrant people: Theoretical propositions, empirical questions, and applied recommendations. Human development, 49(1), 1-30.
Silberman, I., Higgins, E. T., & Dweck, C. S. (2005). Religion and world change: Violence and terrorism versus peace. Journal of Social Issues, 61(4), 761-784.
Smith, A. G. (2004). From words to action: Exploring the relationship between a group's value references and its likelihood of engaging in terrorism. Studies in Conflict & Terrorism, 27(5), 409-437.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1978). Intergroup behavior. Introducing social psychology, 401-466.
Woolf, L. M., & Hulsizer, M. R. (2005). Psychosocial roots of genocide: Risk, prevention, and intervention. Journal of Genocide Research, 7(1), 101-128.
ADVERTISEMENT