Memahami Pernikahan Anak Secara Kultural

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
Konten dari Pengguna
20 Mei 2021 11:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pernikahan Anak. Pict by: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pernikahan Anak. Pict by: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernikahan anak sebagai solusi atas takut berzina, mengembalikan derajat keluarga, menghindari fitnah, melatih si anak agar bisa tumbuh menjadi orang dewasa, hingga berbagai pemaknaan kultural lainnya yang turut mewarnai kompleksitas permasalahan ini.
ADVERTISEMENT
Pernikahan anak disebut oleh organisasi internasional sebagai “child marriage” merupakan masalah yang terjadi dalam lingkup global mengenai hak asasi manusia. Permasalahan ini terjadi di seluruh dunia tanpa memandang agama, ras, etnis, dan budaya.
Bahkan di negara berkembang, satu dari tiga anak perempuan telah menikah dan diprediksi angka ini akan terus meningkat seiring waktu. child marriage ini dikategorikan berdasarkan kepada pernikahan suatu pasangan yang apabila salah satu atau kedua dari mereka masih di bawah usia 18 tahun (Grijns & Horii, 2018).
Motif dari terselenggaranya pernikahan di bawah umur ini umumnya adalah keyakinan akan ajaran agama yang begitu kuat melekat, yakni takut akan zina.
Meskipun ada kemungkinan lain seperti sang anak telah dijodohkan oleh orang tuanya sejak kecil, bahkan ada juga di beberapa kasus, sang anak sendiri lah yang memilih jodoh dia sejak kecil (Grijns, 2016).
ADVERTISEMENT
Pernikahan juga disebut sebagai satu-satuya solusi apabila terjadi kecelakaan semacam hamil di luar nikah. Hal tersebut terjadi karena melakukan aborsi merupakan tindakan yang bisa diancam oleh pidana, terlebih juga memang dilarang oleh agama. Di sisi lain, akses terhadap alat kontrasepsi masih sangat terbatas apabila menyangkut anak di bawah umur apalagi mereka pasangan yang belum menikah.
Pernikahan juga bisa digunakan sebagai pengembalian harkat martabat keluarga, atau juga setidak-tidaknya menghindari timbulnya fitnah yang lebih besar jika kedua pasangan ini telah berpacaran dalam kurun waktu yang relatif lama, terlebih apabila mereka memang sangat sering berkontak fisik secara intens dan kedekatan yang sangat intim.
Biasanya tren menggosip ataupun menggunjing pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran memang banyak dilakukan di Indonesia. Ketika pasangan muda-mudi berkencan berdua, pasti ada saja para tetangga mereka yang membicarakan mereka, bahkan sampai kepada memberikan opini atau bahkan fitnah tentang kehamilan si gadis, padahal itu semua belum tentu terjadi.
ADVERTISEMENT
Stigma dan pergunjingan yang sangat buruk dari warga ini lah yang kemudian membuat kedua orang tua dari pasangan tersebut, utamanya dari pihak perempuan membujuk anaknya agar segera menikah saja dengan pria yang menjadi pacarnya tadi (Topsfield & Rosa, 2017).
Ada juga semacam kepercayaan bahwa menolak suatu lamaran atau pinangan dari seorang pria akan menyebabkan datangnya kesialan bagi si perempuan beserta keluarganya.
Maka dari itu, di Jawa Barat, khususnya Sukabumi sangat umum terjadi untuk memilih waktu atau tanggal menikah yang tepat karena dipercayai sebagai hari yang mendatangkan berkah atau rezeki. Orang tua kedua pasangan juga memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan hari pernikahan anak mereka.
Akan tetapi apabila ada gosip dari tetangga mereka tentang zina dan hamil, maka respon dari orang tua akan segera melakukan pernikahan secepat mungkin dengan tujuan memulihkan kembali derajat anak perempuan mereka dan terlebih supaya nama besar keluarga tidak tercoreng atas gosip tersebut.
ADVERTISEMENT
Meskipun fitnah atau gosip tentang perzinahan banyak dijumpai berasal dari lingkungan sekitar seperti tetangga, namun ada juga beberapa kasus ketika kedua pasangan ini sendiri yang membuat gosip tersebut terjadi dan menyebar luas supaya orang tua mereka segera melangsungkan pernikahan untuk mereka (Grijns & Horii, 2018).
Kenapa dalam praktiknya di masyarakat masih banyak sekali dijumpai pelaksanaan nikah di bawah umur? Karena yang dijadikan patokan bukanlah usia atau umur itu sendiri, melainkan merupakan konsep yang berasal dari agama Islam yakni Akil Baligh. Konsep tersebut mengandaikan adanya kedewasaan dari pihak perempuan maupun laki-laki secara fisik dan mental.
Di Sukabumi sendiri ada sedikit tambahan mengenai konsep Islam tersebut, yakni bagi laki-laki yang “kuat gawe”, maksudnya adalah mampu untuk bekerja dan mencari penghasilan sendiri menjadi tolok ukur yang penting (Kartikasari, 2016).
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi perempuan, syaratnya adalah setidaknya mereka sudah mengalami haid atau menstruasi terlebih dahulu, lebih luasnya adalah mereka yang telah melewati masa pubertas karena kodratnya perempuan kelak akan menjadi seorang ibu.
Pernikahan di bawah umur ini tidaklah dianggap sepenuhnya buruk oleh masyarakat Sukabumi karena hal ini akan membuat kedua pasangan mampu untuk berlatih menjadi lebih dewasa, selain itu juga ada kepastian terkait kehidupan seksual mereka yang tidak perlu dikhawatirkan lagi oleh orang tua, kemudian status menjadi “dewasa” ketika telah menikah akan memberi mereka posisi khusus tertentu di masyarakat yang hal tersebut mustahil untuk didapatkan apabila mereka dianggap masih anak-anak karena belum menikah (Grijns & Horii, 2018).
Berbagai permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan di bawah umur bagi warga Sukabumi sangatlah susah dan akan berbelit ketika harus dibawa ke pengadilan dan secara hukum negara. Oleh sebab itu mereka lebih memilih melangsungkan pernikahan secara agama, yakni selama ada ijab kabul maka kedua mempelai telah dianggap sah secara adat dan agama sebagai pasangan suami istri meskipun belum dianggap sah secara negara dan meskipun mereka akan belum memiliki beberapa hak yang kemudian akan diberikan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Cara tersebut dianggap lebih mudah, cepat, dan praktis terlebih masyarakat masih menganggap bahwa ketika berkaitan dengan pengadilan maka akan mahal (van Huis, 2010) dan beberapa mengkaitkan “pengadilan” itu kepada tindak pidana, membuat mereka semakin takut dan enggan.
Ada tiga cara yang biasa dilakukan oleh warga Sukabumi supaya pernikahan di bawah umur bisa menjadi legal di mata masyarakat setempat. Pertama yakni mengubah tahun kelahiran sang anak menjadi setidaknya batas minimal usia pernikahan yang telah diatur oleh negara. Kedua adalah mengadakan isbat nikah secara adat, kemudian ketiga adalah dengan nikah siri (Grijns &Horii, 2018).
Terlihat bahwa ajaran agama beserta kultur atau budaya di masyarakat sangat berperan dalam adanya praktik pernikahan anak di bawah umur yang terjadi di Sukabumi ini. Tatanan nilai dan moral di masyarakat membuat praktik ini mau tidak mau harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Grijns, M. (2016). Child Marriage in Sukabumi West Java: Self and Agency of Girls. Jurnal Perempuan, 21(1), 1-12.
Grijns, M., & Horii, H. (2018). Child marriage in a village in West Java (Indonesia): Compromises between legal obligations and religious concerns. Asian Journal of Law and Society, 5(2), 453-466.
Kartikasari, D. (2016). Ke arah Perpu Anti Perkawinan Anak. Jakarta: Koalisi Perempuan Indonesia.
Topsfield, J. & Rosa, A. (2017). “Child Brides: Why Underage Girls Are Marrying in Indonesia”. https://www.smh.com.au/. Diakses pada 24 Februari 2021.
van Huis, S. J. (2010). Rethinking the Implementation of Child Support Decisions-Post-divorce Rights and Access to the Islamic Court in Cianjur, Indonesia. Law, Social Justice & Global Development, 1.
ADVERTISEMENT