Konten dari Pengguna

Menyoal Kekerasan Seksual dalam Pemahaman Masyarakat

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
31 Mei 2021 20:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kekerasan Seksual. Sumber Gambar: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kekerasan Seksual. Sumber Gambar: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Pola sosio-kultural tidak bisa kita lepaskan dalam melihat suatu permasalahan termasuk tindakan kekerasan seksual. Di dalamnya terdapat suatu penanaman nilai-nilai tertentu hingga diamini oleh sekian lapis masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual, bagaimana ini bisa terjadi hingga bagaimana bisa pelaku serta masyarakat masih menganggap hal itu sebagai suatu hal yang "biasa" dan "wajar?"
Belakangan terjadi kasus kekerasan seksual berupa begal payudara di Cirebon. Melalui sebuah video yang sempat viral yang merekam proses pengejaran begal payudara tersebut hingga dirinya terjatuh dari motornya. Alih-alih merasa bersalah, pelaku justru menantang balik untuk dilaporkan kepada kepolisian.
Saat ini pelaku memang sudah ditahan oleh Polres Cirebon. Namun dalam sebuah unggahan di media sosial, justru ada juga komentar dari warganet yang seolah meremehkan kasus ini dan menganggap seolah bahwa itu "cuma" begal payudara, bukanlah begal dalam arti merampok harta benda milik korban.
Hal itu yang oleh penulis sempat menjadi perenungan, kenapa bisa terjadi dan lebih mirisnya legi kenapa sampai hal itu bisa dianggap "normal" dan malah terkesan berlebihan apabila ada korban yang menuntut.
ADVERTISEMENT
Pola pikir masyarakat yang justru membiarkan hal itu terjadi akan membuat semakin maraknya kekerasan seksual di sekitar kita.
Sebenarnya kita telah mengetahui banyak kejadian kekerasan seksual di sekitar kita, entah itu pernah kita alami sendiri ataupun mendengar cerita dari orang-orang di sekitar kita yang pernah menjadi korban atas kekerasan seksual.
Namun seolah itu semua bukanlah merupakan suatu tindak kejahatan yang "serius". Malah justru banyak kasus kekerasan seksual akan menimpa balik para korban seperti dikomentari cara berpakaiannya, cara berperilakunya, dan sebagainya.
Kekerasan seksual berupa kata-kata yang melecehkan, cat calling kepada korban, seringkali dianggap remeh dan bukanlah dianggap sebagai sesuatu yang serius. Hal itu kemudian menciptakan suatu “cultural atmosphere”, yakni semacam suatu kultur yang telah menganggap kejadian itu merupakan suatu kejadian yang "biasa" dan tidak perlu ditanggapi secara berlebihan (Kavanaugh, 2013).
ADVERTISEMENT
Ada pula beberapa perempuan yang justru tidak merasa terancam ketika menerima suatu godaan dari laki-laki di tengah jalan atau juga catcalling. Mereka malah menganggap hal itu sebagai bentuk pujian dari para lelaki tersebut (Salvatore, 1981; Weston, 1981).
Ketika ada suatu anggapan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk pujian atau apresiasi terhadap keindahan dan kecantikan tubuhnya, maka justru mendorong ego dari perempuan lain ingin merasakan hal yang sama, akhirnya terciptalah "pembiasaan" (Weston, 1981).
Padahal menurut WHO (2013), definisi dari kekerasan seksual itu tidak melulu sampai pada suatu tindakan fisik semata. Perkataan tertentu, atau sikap-sikap tertentu yang menjurus kepada seksualitas dan menimbulkan ketidaknyamanan korban, utamanya adalah sesuatu yang tidak didasari atas kesepakatan dua belah pihak, itu sudah termasuk dalam kekerasan seksual sebenarnya. Bahkan Davis (1993) dan Kissling (1991) menyebut hal tersebut dengan lantang dengan sebutan Sexual Terrorism.
ADVERTISEMENT
Bagi Robinson (2005) kekerasan seksual tidak bisa dipahami secara terpisah dari pola sosio-kultural masyarakat yang ada. Di dalamnya pasti ada konteks ketimpangan kekuasaan yang terjadi. Lebih spesifik lagi adalah kultur patriarki ang berkembang dalam suatu masyarakat membantu kekerasan seksual terus terjadi, ketimpangan antara derajat laki-laki dan perempuan, yang mana laki-laki dianggap selalu berada posisinya di atas perempuan (Rospenda, Richman, & Nawyn, 1998; Stanko, 2013).
Sudah sejak dulu kita diajarkan perbedaan yang seolah sangat timpang dan jauh terkait dengan kejantanan yang identik dengan kekuasaan dan kekuatan, sedangkan berbanding dengan sangat terbalik jika kita melihat feminitas merupakan suatu hal yang lemah (Seidman, 2010).
Ajaran-ajaran seperti itu kemudian yang membentuk pola pikir kita dan kemudian mempengaruhi pola perilaku kita yang kemudian memandang bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan yang berbeda secara derajat (Rich, 2007; Rubin, 1975; Warner, 1993).
ADVERTISEMENT
Penanaman pola pikir seperti itu terpatri dalam hampir seluruh bidang kehidupan yang sehari-hari pasti bersinggungan dengan kita. Yakni yang paling kecil sekalipun seperti pada tatanan keluarga, norma sosial, berbagai media, dan peraturan tertentu yang bias gender dari pemerintah (Kavanaugh, 2013).
Bahkan mungkin kita sendiri tanpa sadari dan seolah melakukan suatu perilaku yang memang sudah sewajarnya dan senormalnya saja dilakukan. Begitulah cara kerja pembentukan pola pikir yang dilegitimasi oleh tatanan mikro dalam masyarakat seperti yang disebutkan tadi. Terkadang malah dengan telah tertanamnya pola pikir demikian, membuat seperti kita tidak memiliki alternatif perilaku lain lagi selain dikotomi gender (Martin & Hummer, 1989).
Jadi kenapa pelecehan seksual bisa terjadi? Pelecehan seksual terjadi karena ada suatu relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosio-kultural. Posisi laki-laki seringkali dianggap lebih superior ketimbang perempuan yang kemudian mengisyaratkan seolah dia mampu untuk melakukan segalanya sesuai dengan kehendaknya jiak berkaitan dengan perempuan yang lebih inferior.
ADVERTISEMENT
Pola pikir seperti itu yang sudah tertanam dan diturun-temurunkan kemudian akan menjadi kultur dan diamini oleh masyarakat luas. Ketika telah diamini, maka hal-hal terkait pelecehan seksual akan bisa dianggap sebagai sesuatu yang "remeh" atau bahkan kurang penting sama sekali.
Lebih parahnya lagi adalah ketika tindak pelecehan seksual menjadi suatu pembiasaan dan pewajaran dari masyarakat setempat karena menganggap bahwa tindakan itu merupakan naluri alamiah dari laki-laki yang pasti suka menggoda perempuan.
Pernah mendengar kalimat “kucing diberi ikan pindang pasti disantap?" Kalimat itu menggambarkan betapa pola pikir masyarakat yang memandang tindak pelecehan seksual murni bukanlah salah laki-laki karena itu adalah sifat dasar mereka. bagi masyarakat justru banyak yang kemudian menyalahkan perempuan karena kurang sopan untuk berpakaian, sengaja menggoda, pergi sendirian, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Seolah kalimat tadi menggambarkan bahwa ketika laki-laki dihadapkan dengan seorang perempuan maka pasti akan langsung "disantap". Padahal jika kita memakai metafora itu sangatlah tidak sepadan karena manusia seharusnya masih memiliki nilai-nilai moral dan etika dalam dirinya, tidak melulu hanya akan menuruti nafsu alamiahnya saja.
Ilustrasi pelecehan seksual di transportasi umum. Foto: Shutter Stock
Berangkat dari penanaman pemahaman seperti nilai-nilai tadi, termasuk berbagai edukasi terkait pelecehan seksual, penulis berharap setidaknya akan menciptakan suatu narasi tandingan dari kultur yang telah mapan saat ini yaitu patriarki.
Kultur patriarki saja bisa menjadi selanggeng ini karena berawal dari gagasan yang kemudian terlegitimasi dan diamini, serta dipraktikkan bahkan tanpa sadar. Maka seharusnya kita bisa menciptakan narasi tandingan melawan hal tersebut yang kemudian suatu saat akan mungkin terlegitimasi juga.
ADVERTISEMENT
Referensi
Kavanaugh, P. R. (2013). The continuum of sexual violence: Women’s accounts of victimization in urban nightlife. Feminist Criminology, 8(1), 20-39.
Martin, P. Y., & Hummer, R. A. (1989). Fraternities and rape on campus. Gender & Society, 3(4), 457-473.
Rich, A. (2007). Compulsory heterosexuality and lesbian existence (pp. 225-252). Routledge.
Rubin, G. (1975). The traffic in women: Notes on the" political economy" of sex.
Warner, M. (Ed.). (1993). Fear of a queer planet: Queer politics and social theory (Vol. 6). U of Minnesota Press.
Seidman, S. (2010). The social construction of sexuality. WW Norton & Company Incorporated.
Rospenda, K. M., Richman, J. A., & Nawyn, S. J. (1998). Doing power: The confluence of gender, race, and class in contrapower sexual harassment. Gender & Society, 12(1), 40-60.
ADVERTISEMENT
Stanko, E. (2013). Intimate Intrusions (Routledge Revivals): Women's Experience of Male Violence. Routledge.
Robinson, K. H. (2005). Reinforcing hegemonic masculinities through sexual harassment: issues of identity, power and popularity in secondary schools. Gender and education, 17(1), 19-37.
Davis, D. (1993). The harm that has no name: Street harassment, embodiment, and African American women. Ucla Women's LJ, 4, 133.
Kissling, E. A. (1991). Street harassment: The language of sexual terrorism. Discourse & Society, 2(4), 451-460.
World Health Organization. (2013). Global and regional estimates of violence against women: prevalence and health effects of intimate partner violence and non-partner sexual violence. World Health Organization.