Konten dari Pengguna

Orang yang Suka Pamer Sebenarnya Dia Sedang Minder

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
27 Maret 2022 18:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilsutrasi Orang Pamer, Credit: Gerd Altmann, Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi Orang Pamer, Credit: Gerd Altmann, Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Belakangan fenomena pamer ini mungkin akan banyak kita jumpai di berbagai platform sosial media. Mulai dari Instagram, Tiktok, Youtube dan sebagainya. Tidak sedikit diantara para public figure tersebut terkesan seolah ingin menunjukkan kesuksesan mereka atas seluruh hasil kerja kerasnya selama ini yang telah berbuah manis. Meski katakanlah itu semua memang karena mereka dianggap ‘pantas’ untuk melakukannya, namun apakah seluruh tindakah tersebut murni karena mereka ingin menciptakan sebuah motivasi atau sebenarnya ingin berusaha untuk dianggap spesial?
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah kita melalui sekian jalan dan proses yang cukup melelahkan maka kita akan berbangga diri atas capaian yang telah berhasil kita raih saat ini. Namun secara tidak sadar, terkadang cara kita untuk sekedar memberikan apresiasi atas pencapain tersebut justru malah menyiratkan kalau kita ingin sekali untuk diakui sebagai seseorang yang ‘spesial’ dan dengan kata lain berusaha untuk ‘menjatuhkan’ orang lain.
Lantas apa salahnya jika seseorang ingin memamerkan kesuksesan mereka atas apa yang telah mereka raih dan perjuangkan selama ini, apakah itu hak mereka karena telah melalui serangkaian proses yang cukup panjang? Jawabannya adalah iya dan tidak. Memang itu adalah hak mereka karena mungkin selama ini mereka telah berjuang sedemikian keras, namun apakah kalian sadar bahwa itu semua adalah upaya mereka untuk sekedar mencari perhatian dan atensi karena takut dan khawatir kalau orang lain tidak akan pernah menghargainya apabila tidak melakukan pamer tersebut?
ADVERTISEMENT
Bukan melulu soal hal-hal yang berbau materi saja, namun ini bisa digunakan untuk melihat berbagai macam hal. Mungkin kalian juga pernah menemui seseorang yang selalu bercerita mengenai pengalaman dia di masa lalu ketika dia sedang paling bersinar. Itu semua jika menurut Alfred Adler merupakan sebuah dampak dari segenap perasaan inferioritas yang dimilik oleh orang tersebut dan selalu berusaha untuk standing out di depan orang lain.
Meski begitu, sejatinya perasaan inferior ini sama sekali tidak salah karena merupakan hal yang sangat lumrah dimiliki oleh setiap manusia tak peduli seberapa kaya dirinya, seberapa tampan rupanya atau seberapa sukses dirinya dalam bidang apapun. Setiap orang pasti akan memiliki beberapa titik kelemahan dalam hidup jika membandingkan dengan orang lain dan menciptakan perasaan inferior tersebut.
ADVERTISEMENT
Bahkan mungkin kalian sendiri juga saat ini sedang merasakannya, di saat banyak kawan yang sudah lulus sekolah/kuliah dan kalian masih belum menyelesaikannya, di saat banyak kawan sudah pada bekerja sedangkan kalian masih pengangguran. Namun pernahkah kalian berfikir mungkin orang yang kalian iri tersebut sebenarnya juga akan memiliki rasa iri yang lain terhadap orang lain atau bahkan iri pada kalian sendiri? Mungkin pada aspek lain yang belum kita lihat seperti harmonisnya keluarga, hubungan baik dengan para saudara, dan sebagainya.
Maka dari itu tidak akan pernah ada habisnya jika kita terus berkutat pada perasaan inferior tersebut karena itu sebenarnya bukanlah special thing, namun hanyalah sekedar common thing saja. Sama sekali menurut Adler tidak ada yang salah akan hal tersebut karena itu menjadi salah satu sifat dasar dari manusia. Akan tetapi perasaan inferior itu akan menjadi bermasalah jika kita terus-menerus tenggelam di dalamnya sehingga mempengaruhi segenap perasaan kita ataupun emosi kita. Sehingga berubah menjadi Inferiority Complex.
ADVERTISEMENT
Kemudian dijelaskan kembali oleh Adler, bahwa setelah manusia merasakan hal tersebut maka dia akan berusaha untuk keluar dari perasaan inferior itu. Sehingga banyak orang menggunakan jalan instan untuk bisa terbebas dari perasaan inferior tersebut dengan mulai mencari-cari cara bagaimana agar orang lain bisa lebih memberikan atensi padanya dan kemudian menjadikan dia adalah sosok yang sangat ‘spesial’.
Dia akan mulai mencari-cari kiranya apa hal yang bisa dibanggakan atas dirinya dan kemudian akan mulai melakukan ‘budaya pamer’. Orang akan sibuk memamerkan statusnya sebagai mahasiswa aktivis dengan segudang pengalaman organisasinya karena sebenarnya dia merasa minder dengan kawan-kawannya yang memiliki prestasi akademik jauh lebih bagus dan berhasil lulus tepat waktu ketimbang dia harus merubah kebiasaanya dan mulai bergerak untuk mengerjakan tugas akhirnya.
ADVERTISEMENT
Orang lain akan juga memamerkan idealismenya dalam mencari pekerjaan dihadapan temannya yang sebenarnya sudah bekerja namun dalam perusahaan yang kecil. Terdapat pula orang lain yang ingin memamerkan lingkungan pertemanannya karena di sana terdapat banyak anak hits yang kaya raya sehingga membuatnya untuk seolah berbaur dengan golongan crazy rich tersebut. Padahal mungkin jauh di sana dia sedang kesepian, keluarganya sedang berantakan dan dia sama sekali tidak memiliki teman.
Itu semua akan membuat seolah dia adalah sosok ‘unik dan spesial’. Hal ini disebut oleh Adler sebagai sebuah gejala Superiority Complex, yang mana terjadi ketika seseorang berusaha untuk ‘menundukkan’ orang lain dengan segala kelebihan yang dia punya namun sebenarnya hanyalah upaya pelarian dari segenap inferioritas atau rasa minder yang dia miliki sejak awal.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Adler juga memberikan contoh yang jauh lebih esktrem lagi mengenai budaya pamer ini yang sebenarnya tidak hanya melulu memamerkan kelebihan saja. Namun nyatanya ada orang yang memamerkan kemalangannya, ketika kelemahanmu bisa menjadi salah satu senjatamu yang paling ampuh untuk ‘menundukkan’ orang lain. Jika contoh di atas membahas mengenai bagaimana orang memamerkan kelebihannya untuk menutupi rasa mindernya, namun ada pula orang yang dengan sengaja ‘menjual kemalangannya’ untuk terus mendapatkan atensi dan perhatian dari orang lain.
Uniknya adalah ketika ada seseorang yang dengan sengaja melimpahkan atau memamerkan segala kemalangan tersebut pada orang lain, namun tatkala orang lain itu berusaha untuk menasehatinya maka dia akan langsung menolak dan menjawab bahwa “kamu sama sekali tak memahami apa yang sedang kurasakan.” Hal tersebut sangatlah menunjukkan bahwa seolah yang paling menderita hanyalah dia, dia adalah orang yang paling ‘spesial’ sehingga orang lain hanya harus mendengarkannya dan lebih berhati-hati ketika berbicara padanya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, terdapat quote yang menurut penulis menarik dari Adler: “Dalam kebudayaan kita, kelemahan bisa menjadi senjata yang sangat kuat dan ampuh… Malah kalau kita bertanya pada diri sendiri, siapa orang yang paling kuat dalam kebudayaan kita, jawaban yang logis adalah bayi. Bayi menguasai dan tidak dapat didominasi.”