Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Paradigma Materialisme Kultural
21 Januari 2021 13:26 WIB
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Melihat Fenomena Sosial Menjadi Lebih Logis
ADVERTISEMENT
Artikel ini merupakan versi pembacaan ulang dari tulisan Maxine L. Margolis yang dimuat dalam buku Theory in Social and Cultural Anthropology terbitan tahun 2013. Di sini Margolis sangat bagus dalam memberikan sebuah gambaran terkait dengan salah satu paradigma yang berasal dari pendekatan antropologis, yakni Materialisme Kultural yang berakar dari pemikiran Marvin Harris. Paradigma ini terbilang sangat berguna bagi beberapa topik penelitian, atau setidaknya sekedar untuk melihat fenomena sosial yang tengah terjadi di masyarakat kita. Kadang seringkali suatu fenomena sosial dinilai kurang logis ataupun dipandang kontraproduktif dari apa yang seharusnya dilakukan. Namun hal itu bisa dibantah dengan menggunakan kacamata Materialisme Kultural dalam melihat fenomena. Hal-hal yang kontraproduktif tadi akan terlihat sangat rasional dan logis apabila kita memandangnya berakar dari basis material masyarakat.
ADVERTISEMENT
Materialisme Kultural biasa dialihbahasakan ke bahasa Indonesia menjadi materialisme kebudayaan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Marvin Harris pada tahun 1968 melalui bukunya yang berjudul The Rise of Anthropological Theory. Kemudian paradigma ini dielaborasikan lagi secara lebih eksplisit dan penuh dalam bukunya yang berjudul Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture, 1979. Istilah “materialisme” di dalam nama tersebut mengandaikan pengamatan yang dilakukan pada ranah material kehidupan manusia. Biasanya paradigma ini juga bisa dijadikan sebagai sebuah pendekatan dalam meneliti organisasi masyarakat baik jaman sekarang maupun jaman dulu. Fokus paradigma ini adalah pada prinsip-prinsip saintifik. Pendekatan ini biasanya akan melakukan generalisasi untuk menjelaskan perbedaan dan persamaan sosiokultural yang terjadi antara satu tempat dengan yang lain. premis utama dari paradigma ini, sebagaimana telah dikemukakan oleh Harris (1979) adalah bahwa kehidupan sosiokultural manusia itu tercipta berdasarkan respon terhadap masalah praktis kehidupan mereka sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sudut pandang utama mereka itu menolak adanya suatu kemampuan untuk “mengubah dunia” dari manusia. materialisme kultural ini justru mengamini determinisme infrastruktur, bahwa segala variasi dalam kehidupan sosiokultural yang ada pada manusia itu merupakan respon dari kondisi material kehidupan manusia. infrastruktur merupakan kekuatan paling esensial di balik terjadinya suatu evolusi kebudayaan. Sistem sosial yang ada dalam masyarakat di seluruh dunia itu memiliki tiga tingkatan. (1) Infrasruktur, (2) Struktur, (3) Suprastruktur. Infrastruktur merupakan fondasi atau landasan dari masyarakat, karena mengandaikan adanya kondisi material keberadaan manusia. infrastruktur ini merupakan proses produksi dan reproduksi yang ditentukan oleh keadaan ekologi, teknologi, lingkungan, dan demografi. Intinya adalah bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat – kemudian dalam perkembangannya, mereka menciptakan sebuah kebudayaan tertentu – yang cocok atau dalam rangka mampu bertahan di lingkungan yang mereka tinggali saat ini.
ADVERTISEMENT
Tingkat kedua yakni Struktur, struktur ini semacam organisasi sosial, sistem kekerabatan, pola perkawinan, pembagian kerja, institusi politik, dan kelas serta hierarki sosial lainnya. Ada tingkat tiga ada yang namanya Suprastruktur, yaitu ranah ideologis dalam masyarakat, agama, intelektualitas, simbolik, dan pola pikir yang lainnya. Ketiganya ini saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain, selain itu juga memungkinkan untuk terjadinya suatu prediksi tertentu terkait dengan perubahan tertentu pada salah satu dari ketiga tingakatan ini. Apabila dirangkai dari awal, bisa diuraikan sebagai berikut. Jadi Infrastrtukur merupakan basis material, maksudnya adalah upaya-upaya masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apabila cara-cara tertentu ini sudah dimatangkan dan sudah terjadi sekian lama, maka dia akan mengalami institusionalisasi, bergeser atau merambah ke ranah institusi sosial dan politik di masyarakat, dengan kata lain dia sudah menjadi Struktur dalam masyarakat tersebut. Setelah ada pada tahap fungsional di beberapa institusi ini, kemudian dia akan jauh lebih melekat lagi ke pola pikir masyarakat, berwujud ideologi, agama, dsb – yang dengan kata lain menjadi Suprastruktur. Ketiga tingakatan ini mempengaruhi kontinuitas dan stabilitas sistem yang berjalan di masyarakat. Harris menyebutkan fokus utama dari paradigma ini adalah membedah infrastruktur karena merupakan landasan awal dan titik temu awal dari manusia dengan lingkungannya, yang kemudian akan melahirkan pola-pola tindakan atau budaya tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun yang harus digarisbawahi adalah bahwa hubungan antara kondisi material dengan kondisi ideologi itu tidak terjalin sesederhana itu. Struktur dan suprastruktur bukanlah sesuatu yang epifenomenal – mengandaikan kondisi materi menentukan kondisi ideologi – dan tidak penting terhadap infrastruktur. Struktur dan suprastruktur ini bertindak sebagai mekanisme pengatur dalam sebuah sistem sosial. Tidak melulu semua perubahan dalam sistem itu berarti awalnya bermuara pada perubahan infrastruktur juga. Hal ini dikarenakan mungkin ada jeda waktu sebelum ideologi dan institusi politik berubah sesuai dengan perubahan infrastruktur. Hubungan antara ketiga tingakatn ini bersifat probabilistik, namun di satu sisi sumber utama suatu perubahan adalah pada kondisi material. Dengan kata lain, ketika kita menemui ada suatu perubahan dalam suprastruktur dan/atau struktur, kita juga harus lihat terlebih dahulu kemungkinan adanya perubahan pada tingkat infrastruktur sebagai sumber perubahan yang terjadi. Namun apabila perubahan yyang terjadi dalam struktur dan suprastruktur itu misalnya tidak kompatibel dengan infrastruktur, maka besar kemungkinan perubahan tersebut tidak akan mungkin bisa langgeng.
ADVERTISEMENT
Paradigma ini bisa digunakan untuk memahami, bahkan memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer termasuk kemiskinan, rasisme, seksisme, dan penindasan dalam berbagai jenis. Misalnya contoh, bagaimana rasisme dapat terjadi? Rasisme merupakan sebuah entitas yang berada pada tatanan Suprastruktur dan/atau Struktur, apabila di wilayah tertentu ada kebijakan yang mengamini hal tersebut. Dengan menggunakan paradigma Materialisme Kultural, kita bisa melihat bahwa kemungkinan besar rasisme terjadi karena adanya perubahan dalam aspek Infrastruktur antara kedua belah pihak yang sedang bertentangan ini, misalnya antara Barat vs Non-Barat. Kemungkinan masalah ini bersumber dari kesenjangan yang terjadi pada aspek material yang dimiliki masyarakat Barat jika dibandingkan dengan masyarakat Non-Barat yang belum memiliki peralatan secanggih itu. Apabila ditelisik secara lebih lanjut, kenapa bisa terjadi kesenjangan kecanggihan peralatan seperti itu? Kita bisa jawab yakni karena kondisi lingkungan masyarakat Barat yang mau tidak mau menuntut mereka memutar otak supaya bisa tetap bertahan di lingkungan yang sulit seperti itu. Mereka akan menciptakan beberapa alat hanya sedekar untuk bisa bertahan. Sedangkan jika dibandingkan dengan masyarakat Non-Barat yang wilayahnya sudah subur, mereka akan cenderung berada di zona nyaman dan tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk melakukan inovasi tertentu.
ADVERTISEMENT
Contoh lain yaitu kebangkitan paradigma feminisme di masyarakat Amerika pada sekitar 1950-an. Pada saat itu banyak sekali wanita yang mau tidak mau harus juga ikut bekerja menafkahi keluarga mereka berbarengan dengan para suami mereka. Meskipun hal ini tidak langsung menyebabkan adanya perubahan ideologis berupa paradigma feminisme di awalnya, hal ini menunjukkan adanya semacam jeda waktu antara perbahan yang terjadi pada infrastruktur kemudian berdampak juga pada perubahan di tingkat suprastruktur. Selang beberapa dekade, barulah masyarakat, khususnya kaum wanita sadar akan hal ini dan barulah paradigma feminisme secara populer dikenal oleh khalayak. Jadi jika dilihat dari Materialisme Kultural, feminisme itu meruapakan hasil dari tindakan para wanita yang ikut bekerja menafkahi keluarga mereka, bukan merupakan penyebab dari adanya kesamaan atau pengakuan kesetaraan dalam hal pekerjaan. Dengan kata lain, mereka bertindak terlebih dahulu, baru kemudian beberapa dekade ideologis mereka sadar, bukan sebaliknya. Tindakan menciptakan kesadaran, bukan sebaliknya. Bukanlah ideologi feminis yang memampukan para wanita untuk bersaing di dunia kerja dengan laki-laki, namun keadaan sejak pasca perang dunia kedua lah yang menciptakan hal itu, disamping memang standar hidup yang perlahan mulai naik seiring berjalannya waktu, maka merekamau tidak mau otomatis akan ikut bekerja pula.
ADVERTISEMENT
Selama abad ke-20 di Amerika terjadi penurunan angka kelahiran. Hal ini jika dilihat melalui paradigma Materialisme Kultural adalah dikarenakan ada pergeseran dari yang awalnya masyarakat agraris menjadi masyarakat ekonomi industri. Jelas saja pada masyarakat yang agraris, makin banyak jumlah keturunan akan makin menguntungkan. Akan tetapi hal tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi masyarakat ekonomi industri, dan justru mereka memandang bahwa makin banyak anak, maka makin banyak tanggungan biaya dalam keluarga tersebut. Di sini bisa dilihat bahwa, bahkan untuk ukurang tingkat kesejahteraan keluarga yang dianggap ideal, itu semua tergantung pada keadaan basis material yang ada.
Dengan menggunakan pendekatan Materialisme Kultural ini, kita dapat mengungkap suatu tindakan atau kebudayaan dari masyarakat yang bahkan mungkin terlihat aneh atau irasional atau bahkan kontraproduktif jika hanya dipandang begitu saja. Namun jika kita bisa menemukan sesuatu di balik itu semua, maka hal-hal tersebut akan menjadi logis. Bagi penganut pendekatan ini, mereka kurang setuju akan adanya perdebatan siapa yang lebih bermakna antara penelitian yang sifatnya emik atau yang sifatnya etik? Bagi penganut Materialisme Kultural, keduanya merupakan hal yang penting dalam penelitian. Kita tidak bisa begitu saja mengamini apa yang berasal dari informan di lapangan, peneliti sendiri juga harus bisa melihat atau menilai masyarakat tersebut dari sudut pandang yang lain dan lebih transendental, yang mungkin saja bahkan oleh informan sendiri hal itu tidak terpikirkan oleh mereka karena mereka menganggap suatu praktik budaya yang telah mereka lakukan sifatnya turun-temurun dan terjadi begitu saja secara lumrah.
ADVERTISEMENT
Marvin Harris sangat behtang kepada pemikiran materialis Karl Marx. Dari Marx dia bisa mendapatkan pemahaman bahwa perubahan material itu akan sangat menentukan bagi perubahan pola organisasi bahkan sampai pada tingkat ideologi. Namun Harris menambahkan sentuhan baru dalam pandangan ini, dengan tidak luput juga memandang fenomena ekologis yang terjadi.
Referensi:
Harris, M. (1979). Cultural materialism: The struggle for a science of culture. New York, NY: Random House.
Margolis, M. L. (2013). Cultural Materialism. Theory in Social and Cultural Anthropology, 1, 147-149.