Pengaruh Teori Kritis Pada Perkembangan Antropologi

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
Konten dari Pengguna
18 Januari 2021 11:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini disadur dari karya Bruce M. Knauft yang berjudul Critical Theory, yang kemudian disusun oleh McGee & Warms dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2013 dengan judul Theory in Social and Cultural Anthropology. Mengisahkan bagaimana perkembangan Teori Kritis dan pengaruhnya kepada Antropologi untuk membongkar berbagai narasi ketidaksetaraan atau dominasi.
ADVERTISEMENT
Teori kritis ini berangkat dari kebiasaan para antropolog awal yang cenderung sangat bias dalam menangkap suatu fenomena di lapangan. Dia menggambarkan suatu fenomena di lapangan berdasarkan kepada latar belakang kebudayaan yang dia pahami sendiri, tanpa berusaha untuk menggambarkannya sebagaimana apa yang diketahui oleh informan di lapangan. Sejak awal dekade ke-20 hal tersebut telah mulai dikritik oleh sejumlah nama besar seperti Franz Boas, Bronislaw Malinowski, dan Margaret Mead. Teori kritis ini menjadi sebuah paradigma yang mempertanyakan sejumlah teori yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti dahulu yang cenderung bias dan sudut pandangnya sangat Eropasentris. Lebih lanjut, teori ini menjelaskan bagaimana suatu bentuk perbedaan latar belakang budaya bisa menjadi alat untuk mendominasi kebudayaan lain dan menciptakan ketidaksetaraan kultural yang terjadi di masyarakat, atau bahkan terkadang masyarakat tidak menyadari akan hal iu karena sudah mendarah daging pada sistem ide mereka dan telah dilakukan turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Teori kritis ini berasal dari suatu perkumpulan yang disebut dengan madzhab Frankfurt. Perkumpulan tersebut berisi tokoh-tokoh hebat dari Jerman yang titik awalnya merupakan seorang Marxis. Namun dalam perkembangannya mereka menolak gagasan-gagasan Marxis yang digunakan sebagai dogma, dipelintir dan dijadikan alat politik, dan malah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Marx sendiri. Bahkan malah cenderung untuk melanggengkan kekuasaan dan ketidaksetaraan. Pada tahun 1937, ketua perkumpulan ini, Max Horkheimer menuliskan sebuah artike yang diberi judul “Traditional and Critical Theory”. Kemudian dikenal sebagai teori kritis oleh orang banyak karena judul tersebut dan menjadi sebuah paradigma besar. Secara garis besar, teori kritis berisi pernyataan-pernyataan yang mendobrak tatanan beberapa teori sebelumnya yang telah diterbitkan oleh para peneliti yang sangat bias makna dan bias kepentingan – dalam hal ini sangat Eropasentris. Bagi Horkheimer, budaya itu bukanlah pendukung dari adanya ketidaksetaraan, melainkan malah menjadi pusat akan ketidaksetaraan. Hal ini dikarenakan suatu budaya merupakan hal yang melekat dalam sistem ide, atau juga bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi. Ideologi tersebut bisa saja digunakan oleh elit tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya dan dominasinya bahkan tanpa disadari oleh khalayak. Karena mereka menganggap hal itu sudah lumrah, sudah biasa, sudah sejak dulu dilakukan. Jadi budaya menjadi alat propaganda kepentingan elit. Bagi mereka yang non-elit, mereka akan dengan mudah dihukum bahkan tanpa memiliki kesempatan untuk melawan. Jangankan suatu kesempatan, bahkan suatu kesadaran bahwa mereka sedang berada dalam dominasi pun tidak mereka miliki. Jadi mereka menganggap hal itu terjadi biasa saja dan memang seharusnya terjadi. Secara objektif mereka jelas tidak mampu karena tidak memiliki power dibanding elit, namun juga secara subjektif pun mereka tidak mampu melawan karena mereka tidak dasar mereka sedang mengalami dominasi.
ADVERTISEMENT
Intinya teori kritis itu mengkritik cara kerja teori terdahulu yang sangat bias dan mendominasi. Berbeda dengan pengertian “teori” pada umumnya yang hanya sekedar merupakan penjelasan atas sesuatu menggunakan konsep-konsep agar lebih mudah untuk diabstraksikan, pembenaran dan/atau penjelasan akan suatu hal. Tapi teori ini menggunakan dasar-dasar teori Marx untuk mengkritisi balik beberapa pandangan dan mengubah tatanan dunia menjadi lebih bak tanpa adanya dominasi. Horkheimer sendiri menentang cara kerja eori pada umumnya yang terlalu fokus dan memisah-misahkan tiap permasalahan menjadi topik atau spesialisasi tertentu. Justru dia tengah mengembangkan suatu teori yang mampu menampung seluruh keberagaman yang terjadi di dunia nyata, berada di tengah pola dan struktur dominasi atau ketidakadilan.
Selain mengacu kepada Marx, Horkheimer juga mengacu kepada Immanuel Kant, Georg Hegel, dan Max Weber. Dia terus mengkritisi dan mendorong supaya kultur barat, ide orang-orang barat, serta subjektivitas mereka menyediakan suatu perbaikan sosial atau degan kata lain supaya tidak terus-menerus memandang secara Eropasentris pada orang lain. gagasan materialisme historis Marx diadaptasi dalam melihat pola hubungan kultural yang terjadi belakangan. Bahwa seolah ada kultur tertentu yang menjadi dominan dan mendominasi kultur yang lain, namun suatu saat akan terjadi sebuah revolusi dari kultur yang tertindas tadi untuk menuntut suatu keadilan dan kesetaraan. Meskipun pada kenyataannya pada pertengahan abad ke-19 revolusi yang digagas oleh Marx ini tidak pernah benar-benar ada dan berhasil di dunia nyata, maka dalam perkembangannya orang yang mendukung gagasan Marx ini beralih pemahaman menjadi melihat kultur dan ideologi beroperasi di tengah ketidaksetaraan, bukan lagi melihat material atau perihal produksi saja seperti yang Marx ajarkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu antropolog terkemuka bernama Eric Wolf menyebutkan bahwa sejak tahun 1960-an, Antropologi mulai menaruh perhatian kepada persoalan ketidaksetaraan material, ekonomi, politik, budaya. Apalagi dalam perkembangannya pada paruh pertama abad ke-20 mulai lahir beberapa tokoh dari teori kritis yang terkenal seperti Antonio Gramsci, Walter Benjamin, Georg Lukács, Mikhail Bakhtin. Mereka telah memberikan pengaruh yang cuku signifikan di kalangan para antropolog. Mulai tahun 1970-an dan 1980-an mulai makin banyak pembahadan dalam antropologi mengenai ketidaksetaraan kelas, dominasi gender, ketidaksetaraan rasial, kolonialisme, ketidaksetaraan dan diskriminasi seksual, dan pola imperialisme politik dan ekonomi regional atau global, baik secara historis maupun saat ini. Teori kritis juga membahas masalah-masalah seperti disparitas [ketidaksetaraan] perawatan kesehatan dan medis, pendidikan, kualitas lingkungan, dan pekerjaan atau kemampuan kerja.
ADVERTISEMENT
Karakteristik suatu teori pada umumnya adalah melakukan generalisasi dan mengagungkan konsep-konsep yang dibuatnya sendiri secara berlebihan, apalagi dia berpura-pura menjadi otoritas ilmiah agar kemudian seua orang akan tunduk kepada klaim kebenaran yang dia sampaikan. Teori kritis berkembang sedemikia pesat bahkan hingga mengkritik teori-teori modernis yang demikian. Teori kritis menjelma menjadi paradigma posmodern dalam usahanya mendobrak kebiasaan teori modernis dengan kebenaran agung nan tunggalnya. Posmodernisme sendiri lahir dikarenakan oleh kondisi sosial pada saat itu, banyak sekali terjadi ketimpangan yang diwariskan oleh kapitalisme Barat. Posmodernisme merupakan produk budaya dari kondisi tersebut menurut David Harvey pada 1990.
Sejak 1990-an paradigma teori kritis yang menentang ketidaksetaraan terus digunakan dalam Antropologi, namun para antropolog tidak secara eksplisit menyatakan bahwa cara pandang mereka tersebut adalah sebuah “teori”. Para antropolog menlak pelabelan yang terlalu muluk dan terlalu tinggi tersebut. Jadi bisa dibilang mereka secara inheren atau implisit menyematkan paradigma teori kritis tanpa menyebutkan secara eksplisit dengan sebutan suatu teori.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 2000-an pengaruh tepri kritis makin terasa, dan bahkan berkembang menjadi lebih eksplisit dalam dunia antropologi. Ada beberapa penyebutan aliran tertentu dalam antropologi yang telah mengadaptasi cara berpikir teori kritis, yakni engaged anthropology, practicing anthropology, activist anthropology, atau public anthropology. Masing-masing dari aliran ini memiliki perbedaan dalam bagaimana mempertautkan antara suatu pemikiran, karya antropologi ke dalam suatu dominasi atau ketidaksetaraan. Penekanan pada tiap hal juga berbeda. Biasanya di dalam beberapa buku teks bahasa Indonesia, disebut sebagai Antropologi Terapan. Jadi bagaimana teori-teori yang dirumuskan oleh para antropolog mampu mengatasi berbagai masalah di lapangan secara praktis membantu masyarakat. Dengan adanya pengaruh teori kritis ini, membantu dalam proses penggunaan Antropologi Terapan itu sendiri. Mereka dengan berhati-hati agar supaya penggunaan di lapangan tidak justru diperalat oleh para elit dan seolah melayani masyarakat padahal melanggengkan dominasi para elit. Pengaruh dari teori kritis ini membantu perkembangan pemikiran antropologi menjadi lebih reflektif dan efektif dalam melawan berbagai macam ketidaksetaraan. Bahkan mengungkap “kebusukan” dari suatu kultur dan kekuasaan itu sendiri tercipta. Seolah mereka bermaksud baik, padahal mereka hanya mendominasi kelompok tertentu yang tidak berdaya.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Knauft, B. (2013). Critical theory. Theory in Social and Cultural Anthropology. Edited by R. Jon McGhee and Richard Warms. Thousand Oaks: Sage, 139-42.
Gambar tersebut diambil dari https://shenviapologetics.com/