Realitas Semu yang Terpatri dan Menciptakan Kekosongan Diri

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
Konten dari Pengguna
14 Juni 2021 14:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Merasa Hampa di Tengah Keramaian. Sumber Gambar: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Merasa Hampa di Tengah Keramaian. Sumber Gambar: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Semakin manusia menggantungkan dirinya terhadap orang lain, semakin dia menganut standar nilai-nilai tertentu yang dianut oleh orang lain, ditambah kenyataan bahwa itu semua mampu diunggah dengan bebas di sosial media, membuat manusia akan semakin jauh dari eksistensi dirinya sendiri dan merasa semakin hampa.
ADVERTISEMENT
Mungkin beberapa di antara kita semua pernah merasakan apa yang namanya kehampaan dalam hidup. Kita merasa diri kita ini kosong, sendiri, hampa, sunyi meski di tengah keramaian yang sedang kita hadapi.
Seolah-olah meskipun di depan mata kita situasi sedang begitu ramainya namun itu semua tidak ada sama sekali yang mempengaruhi kita dan kita tetap merasa bahwa dirinya kita itu hampa. Ada sesuatu yang kosong dalam diri, ada celah yang bahkan kita sendiri pun tidak mengetahui itu apa dan bagaimana cara mengatasinya.
Rasa hampa tersebut datang dengan sendirinya tanpa kenal waktu, tiba-tiba dia menyeruak dan mengisi seluruh persepsi diri kita bahkan mungkin tanpa sebab yang jelas. Kita langsung terjatuh dalam sebuah jurang kegelapan yang hampa.
ADVERTISEMENT
Tidak melulu menjamin ketika kita memiliki banyak relasi, banyak kenalan, bahkan mungkin ketika kita memiliki seorang kekasih yang selalu setia menemani namun kita tetap merasa ada sebuah celah yang tak bisa menutup di dalam diri.
Terlebih perasaan itu akan jauh lebih kuat hadir ketika kita memang sedang sendirian, tak ada satu pun orang di samping kita. Kenyataan itu sungguh ironis ketika kita sendiri mengingat bahwa sebenarnya kita memiliki banyak kawan.
Ke mana mereka semua? Kadang jerit seperti itu selalu ingin terucap dari lubuk hati kita yang tersayat dan merintih. Akan muncul beberapa pikiran jahat entah disengaja ataupun tidak, ketika kita mengalami hal itu.
Rasa seperti ini akan bisa dimaknai dengan berbagai perspektif yang berbeda seperti spiritual, filosofis hingga psikologis. Terkadang kita sendiri akan merasa aneh dengan perasaan hampa yang tiba-tiba muncul di tengah keramaian, namun juga di sisi lain kita sendiri kadang kurang nyaman berada di keramaian tersebut karena alasan tertentu.
ADVERTISEMENT
Setiap orang memiliki definisi dari hampa ini masing-masing, pun juga mereka akan merasakan intensitasnya bervariasi. Akan lebih terasa membingungkan lagi apabila hal ini datang padahal sebenarnya kita tidak sedang merasa sedih atau tidak sedang ditimpa sesuatu yang harusnya membuat kita sedih, semua berjalan normal dan baik-baik saja namun kehampaan tetap menyeruak.
Dengan perasaan hampa yang tiba-tiba muncul padahal sebenarnya semua sedang berjalan baik-baik saja, justru akan membuat kita mencari-cari jawaban kira-kira apa yang salah? Apa yang kurang? Kenapa ini bisa terjadi? dan sebagainya.
Lancer (2019) mengidentifikasi bahwa itu semua terjadi karena sebenarnya jauh dalam lubuk hati kita ada sesuatu yang kita harapkan segera terwujud, namun hal itu masih belum terwujud. Dia memberikan contoh ketika seseorang memandang harta sebagai suatu kesenangan hidup, dan pada waktu itu dia sedang tidak memilikinya maka kehampaan akan datang.
ADVERTISEMENT
Bagi Lancer (2019) justru ketika seorang manusia masih sanggup merasakan kehampaan dalam dirinya, berarti dia masih memiliki perasaan. Rasa hampa tersebut merupakan mekanisme terakhir dari manusia untuk tetap mempertahankan perasaan yang dia miliki sebelum akhirnya ketika berada di puncaknya, seorang manusia akan mengalami mati rasa sama sekali.
Ilustrasi Topeng Perasaan Diri. Sumber Gambar: Pixabay.com
Jadi karena terlalu seringnya dia merasa hampa dan tidak melakukan sesuatu untuk segera mengatasi hal itu, namun justru menekan perasaan itu dan menganggap bahwa semua baik-baik saja, maka pada akhirnya hanya akan menjadi bom waktu.
Bom waktu tersebut akan meledak dan membuat dia menjadi manusia yang benar-benar hampa, tidak memiliki perasaan sama sekali, dia terus menjalankan kehampaan itu sepanjang hidupnya dan membunuh perasaan dia sebagai seorang manusia. Seolah-olah dia hanya akan menjadi boneka yang hanya memiliki raga (Lancer, 2019).
ADVERTISEMENT
Kehampaan bisa terjadi menurut Lancer (2019) karena seorang manusia menjalankan hidupnya tanpa sekalipun memiliki otoritas akan dirinya sendiri secara otentik. Selama ini dia hanya menjalankan peran yang telah dikonstruksi dari tatanan nilai sosial yang harus dia amini mau tidak mau.
Apabila seorang manusia kehilangan kesempatan untuk mendefinisi dirinya sendiri sesuka hatinya, maka dia akan mengalami keterputusan koneksi dengan jati dirinya sendiri. Kemudian dia akan merasa seperti membutuhkan orang lain atau suatu hal lain di luar dirinya untuk bisa menopangnya dari dalam (Lancer, 2019).
Secara eksistensial, kenapa manusia bisa merasa dirinya hampa karena dia kurang bisa untuk benar-benar berekspresi sebagaimana kehendak hatinya. Dia terlalu bergantung kepada orang lain, bahkan standar nilai tertentu pun dia sepenuhnya serap dari orang lain. Sehingga landasan untuk bisa merasakan kebahagiaan harus melulu sesuai dengan standar serta harapan orang lain (Lancer, 2019).
ADVERTISEMENT
Bagi penulis, hal tersebut bisa saja diperparah dengan kenyataan di zaman sekarang, yang mana hampir seluruh manusia memiliki dan pernah mengakses media sosial. Dari media sosial yang kita lihat, banyak tercermin realitas-realitas tertentu dari orang lain yang mungkin akan kita anggap sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan.
Semakin kita mengamini apapun yang terunggah dalam media sosial orang lain, besar kemungkinan kita sendiri akan merasa bahwa diri sendiri ini merupakan seseorang yang sama sekali rendah atau kecil. Standar kebahagiaan, kehidupan yang enak, dan sebagainya dari orang lain bahkan secara tidak sadar merasuk dalam pikiran kita.
Ilustrasi Pengaruh Sosial Media. Sumber Gambar: Pixabay.com
Secara logika pun, sebenarnya tidak mungkin orang lain mengunggah hal-hal yang membuat mereka tampak menyedihkan dalam unggahan media sosialnya bukan? Lantas kalian semua termakan dengan identitas semu yang mereka tampilkan dalam media sosial mereka?
ADVERTISEMENT
Melihat kawan kita mengunggah aktivitas mereka dengan kekasihnya, membuat kita tampak menyedihkan. Melihat kawan kita mengunggah aktivitasnya aktif berorganisasi, membuat kita tampak kurang pergaulan. Melihat kawan kita mengunggah hasil pencapaian gelar akademisnya, membuat kita tampak bodoh.
Apa kehidupan seperti itu yang kalian inginkan?
Referensi
Lancer, D. (2019). Perspectives on Emptiness. Psychology and Behavioral Science International Journal, 12(4).