Konten dari Pengguna

Wacana dalam Pandangan Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe

Ahmad Dzul Ilmi Muis
Seorang Alumnus Jurusan Antropologi Unair
1 April 2021 15:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Dzul Ilmi Muis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana Sosial
Pemikiran ini merupakan gabungan dari pemikiran post-Marxis dengan pemikiran linguistik penganut Saussure (Laclau & Mouffe, 1985). Sebagaimana gagasan Marx yang menyatakan bahwa basis mempengaruhi suprastruktur dalam masyarakat, hal itu dikritik oleh para pemikir post-Marxis, salah satunya adalah Gramsci (1971). Bahwa dalam kenyataannya menurut Gramsci, tidak sesederhana itu menggambarkan suprastruktur yang seolah merupakan cerminan riil atau langsung linear menuju kepada keadaan basis di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bahwa dalam suprastruktur tersebut ada permainan wacana atau gagasan diskursif tertentu yang dibuat oleh mereka yang berada di kelas sosial yang lebih tinggi untuk lebih mengamankan posisi mereka dan lebih menindas lagi kaum yang berada di bawahnya. Pada gagasan Gramsci, hal tersebut dikenal dengan konsep Hegemoni. Justru posisi dari hegemoni inilah yang di atas dari suprastruktur dan basis struktur, hegemoni adalah yang paling penting dan paling menentukan.
Bahkan dengan hegemoni yang dibuat inilah yang mampu menciptakan realitas sosial itu sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa hegemoni berada atau inheren dalam suprastruktur yang kemudian dijadikan semacam “kacamata” untuk menggambarkan basis struktur. Permainan pada hegemoni inilah yang berbahaya.
Berangkat dari gagasan Hegemoni yang diutarakan oleh Gramsci tadi, maka Laclau dan Mouffe memberikan pandangan mereka terkait dengannya. Pandangan ini justru sama sekali tidak menganggap gagasan awal Marxis tentang basis dan suprastruktur. Justru menurut Laclau dan Mouffe yang namanya kelas sosial itu tidak bisa jika direpresentasikan dari basis struktur.
ADVERTISEMENT
Kenapa demikian? Karena realitas material yang objektif itu tidak ada. Karena bisa saja ada kasus ketika seseorang tidak memiliki banyak harta namun dia tidak merasa bahwa dia berada di kelas bawah, namun justru dia melakukan banyak sedekah untuk membantu sesama manusia, dan mereka yang dia pandang lebih membutuhkan dibanding dirinya. Justru kelas sosial itu merupakan murni hasil dari proses diskursus atau wacana.
Setidaknya Laclau sendiri masih mengamini kelas sosial akan tetapi dia tidak melihatnya dari kepemilikan modal seperti Marx, namun dia melihatnya dari kepemilikan akses politik (1990:33). Bagi Laclau dan Mouffe, manusia itu tidak bisa lepas dari belenggu dunia wacana yang kemudian membentuk persepsi atas apa pun yang dia lihat. Wacana menentukan segalanya, manusia tidak akan memiliki suatu pandangan atas realitas yang otonom tanpa adanya wacana yang memperkenalkan dia atas hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun bukan berarti mereka menafikan fenomena tertentu yang memang terlepas dari kemauan diri atau dengan kata lain, fenomena alam yang objektif itu tetap ada, karena dalam kasus tertentu hal tersebut tidak mengandaikan pemikiran kita mengamini hal itu atau tidak. Namun bagaimana kita menangkap atau menafsirkan suatu fenomena alam yang objektif tadi merupakan cara kerja wacana.
Sebagai contoh ketika terjadi badai besar di suatu wilayah, badai itu sendiri merupakan fenomena alam yang objektif dan tidak mengandaikan kita tahu atau tidak akan hal tersebut, dia ada begitu saja tanpa terikat dengan diri kita. Namun ketika kita berusaha untuk memaknai badai tersebut dengan hal-hal tertentu seperti dikaitkan dengan pertanda kiamat, azab dari Tuhan, dan sebagainya. Mulai dari sini sudah murni kerja wacana (Laclau dan Mouffe, 1985: 108).
ADVERTISEMENT
Poin menarik dari gagasan wacana Laclau dan Mouffe adalah karena semua realita yang diterima oleh manusia itu akan dimediasi terlebih dahulu oleh wacana, maka wacana ini kemudian akan berlomba menentukan mana yang dianggap ‘benar’ dan mana yang dianggap ‘salah’ oleh orang tersebut. Tiap wacana akan memiliki kebenaran versi mereka masing-masing yang mana itu tidak bisa saling diganggu gugat dan tidak sepatutnya untuk diperdebatkan. Seolah kedua wacana apabila bertemu dalam satu topik diskusi yang sama menggambarkan pandangan dari dua dunia yang berbeda.
Ketika orang sudah mengamini suatu wacana yang melekat dengannya fenomena sosial, hal itu disebut dengan ‘terrains’ atau ‘domains’ [medan, wilayah, domain]. Suatu pemaknaan dari wacana tak bisa dipungkiri pada suatu saat akan beradu argumen dengan pemaknaan dengan wacana lain, yang juga tidak menutup kemungkinan kemudian mereka berdua akan meredefinisi makna yang telah sebelumnya mereka buat dikarenakan persinggungan dengan wacana lain tadi.
ADVERTISEMENT
Pemaknaan dalam suatu wacana akan selalu berubah mengikuti alur perubahan zaman maupun ketika ada wacana lain yang berusaha merusak pemaknaan pertama tadi. Dengan sangat realtifnya ‘kebenaran’ tersebut, maka tujuan dari analisis wacana ini adalah bukan untuk menentukan siapa yang paling benar, namun hanya sekadar menunjukkan bahwa seluruh kenyataan yang manusia amini yang seolah itu adalah hal yang biasa saja dan alami sebagaimana yang telah dianut oleh masyarakat yang mereka tinggali, seluruhnya adalah realitas yang dibuat dan diciptakan oleh wacana.
Sempat disinggung di awal bahwa Laclau dan Mouffe juga terinspirasi oleh pemikiran linguistik pasca Saussure karena dia berkutat dengan wacana, yang mana tidak bisa dilepaskan dengan makna dan tanda. Akan tetapi standing point dari Laclau dan Mouffe adalah seperti para pemikir post-struktural lainnya yakni mereka mengkritik studi linguistik terdahulu yang menyatakan bahwa pemaknaan bahasa itu secara fundamental sinkronik.
ADVERTISEMENT
Maksudnya adalah perlekatan antara tanda dan penanda itu merupakan hal yang pasti, berlaku universal, obyektif. Padahal penggunaan penanda dan tanda yang melekat dengannya itu merupakan proyeksi dari wacana dan berlaku sesuka hati sebagaimana pembuat wacana awal yang membentuknya.
Seperti pada konsep parole dan langue yang digagas oleh Saussure yang menyebut bahwa tanda itu merupakan objek negosiasi yang akan siap untuk dipasangkan dengan penanda apa saja. Hal itu menghasilkan negosiasi makna, yang juga menghasilkan kontingensi atau ketidaktetapan wacana.
Ilustrasi berpikir. Foto: Pixabay
Konsep-konsep Penting
Konsep pertama yang penting dalam gagasan Laclau dan Mouffe adalah Wacana. Wacana ini merupakan suatu upaya untuk melekatkan tanda dengan penanda. Atau dengan kata lain terjadi pemaknaan di dalam proses perancangan suatu wacana. Pemaknaan ini terjadi ketika ada satu makna yang mendominasi atau mengesampingkan kemungkinan terpilihnya makna yang lain. Pemaknaan yang satu ini kemudian akan menjadi pusat makna yang menghegemoni makna lainnya (Laclau & Mouffe, [1985] 2001: 112).
ADVERTISEMENT
Ada konsep penting lain yakni nodal points. Konsep ini merupakan semacam suatu tanda yang memiliki makna tertentu, yang di dalamnya telah koheren beberapa konsep beserta maknanya masing-masing pula, akan tetapi membentuk makna baru menjadi satu kesatuan konsep. Sebagai contoh adalah makna dari konsep Komunisme, di dalamnya telah koheren berbagai konsep lain yakni demokrasi, negara, dan kebebasan. Keseluruhan konsep itu terikat dalam satu jaringan makna yang membentuk makna baru dengan penyebutan atau konsep yang baru pula.
Menurut Zizek, nodal points ini adalah makna yang memiliki kata terkaya, merupakan pemadatan dari beberapa kata yang telah bermakna dan kemudian menyelimutinya, menyatukan bidang-bidang tertentu yang lain, dan dijadikannya sebagai maknanya sendiri (Zizek, 1989: 95). Akan tetapi nodal points ini bagi Zizek adalah sebuah penanda kosong yang hanya secara kebetulan memiliki makna karena hubungannya dengan tanda-tanda lain yang dia ikat tadi.
ADVERTISEMENT
Karena wacana yang merupakan kendali atas segala sesuatu dalam diri manusia terkait dengan realita yang dia pandang, maka Laclau dan Mouffe tidak bisa dilepaskan dengan konsep Hegemoni milik Gramsci (1971). Kekuatan hegemoni adalah karena dia merupakan sistem yang bekerja bahkan tanpa disadari oleh manusia sendiri, seolah dia merupakan sistem yang begitu saja ada sebelum manusia ada dan manusia hanya tinggal mengambil atau mengamini hal tersebut tanpa paksaan.
Jika kita melihat konsep hegemoni ini dalam teori wacana, maka dia seperti kumpulan wacana yang kemudian akan membentuk artikulasi tertentu dengan pemaknaan tertentu (Torfing, 1999: 101). Atau jika dimasukkan dalam konsepnya Laclau dan Mouffe dia merupakan moments, yakni ketika ada keterikatan artikulasi antara wacana dengan makna meskipun hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ikatan yang permanen karena suatu saat pasti akan berubah (Laclau & Mouffe, 1985: 110).
ADVERTISEMENT
Namun perbedaan cara pandang antara Laclau dan Mouffe dengan Gramsci yang merupakan seorang post-Marxis adalah, mereka tidak menganggap bahwa maysrakat berada dalam satu bdang perjuangan kelas yang hegemonik. Cara pandang Laclau dan Mouffe sangat amat luas karena mencakup seluruh bidang kehidupan sosial.
Pemaknaan dari istilah common sense sangat menarik untuk dibahas karena manusia tidak akan sadar bahwa semua hal yang dianggap menjadi common sense adalah merupakan hasil dari wacana atau praktik hegemonik (Laclau & Mouffe, 1985). Suatu gagasan akan diterima begitu saja seperti sudah menjadi “tatanan alam” yang membentuk akal sehat manusia (Mouffe, 2008: 4).
Kebenaran akan suatu makna tidaklah secara permanen melekat karena akan selalu ada yang namanya counter-hegemonic practices yang akan selalu mengintai dan menantang makna yag telah mapan. Bisa saja narasi tandingan ini merupakan suatu proyek ciptaan dari sekelompok orang tertentu yang memang sangat ingin untuk meruntuhkan suatu kemapanan definisi makna dari suatu wacana (Grant et al, 1998: 7-8).
ADVERTISEMENT
Dengan adanya narasi tandingan, maka membuat makna mapan menjadi memiliki titik ketidakjelasan, maka dari itu kemudian akan membentuk hegemonic interventions (Gramsci, 1971; Laclau & Mouffe, 1985), yakni semacam upaya untuk membahas kembali ketidakjelasan yang terjadi dan menyusun ulang ketidakjelasan tersebut menjadi suatu kejelasan yang mungkin akan menciptakan kebaharuan. Jadi suatu wacana akan dirombak ulang di sini (Laclau, 1993).
Laclau dan Mouffe menolak pandangan Marx tentang ideologi yang menyatakan bahwa ideologi merupakan kesadaran palsu. Justru karena ideologi itu ranahnya adalah suatu pemaknaan wacana, maka justru dialah yang membentuk realitas di mata manusia. jadi dia bukanlah hal yang mengalihkan kita dari dunia nyata yang sedang kita hadapai sebagaimana yang dikemukakan Marx, namun dia justru merupakan kacamata kita untuk memandang dunia nyata. Bentuk nyata dari keberlakuan suatu ideologi bagi Zizek (1989) adalah dia merupakan representasi dari kehidupan kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Jadi seluruh perilaku kita yang kita perbuat sehari-hari itu dibentuk oleh ideologi yang kita amini atau dengan kata lain merupakan ‘ideological fantasy’. Ideologi akan terus mereproduksi dirinya dalam seluruh tindakan sosial manusia. dia akan membentuk semacam ilusi atau fantasi yang menyelimuti kehidupan manusia. Manusia seolah tidak sadar meskipun aslinya dia sadar, namun dia tetap terbawa dalam arus ideologi itu. Contohnya adalah ketika kita termakan oleh iklan, meskipun kita sendiri telah mengetahui bahwa iklan itu memang sengaja dibuat dan memang manipulatif.
Identitas, Mitos, dan Sosial Imajiner
Laclau dan Mouffe memandang identitas terinspirasi oleh dua tokoh terkenal yakni Althusser (1971) dan Lacan (1977). Althusser yang merupakan seorang pemikir post-Marxis memiliki konsep yang dinamakan interpellation. Konsep tersebut memiliki arti bahwa individu itu tidak memiliki kesadaran secara otonom dalam diri mereka sendiri, karena kesadaran yang dimiliki oleh individu itu merupakan bentukan dari suprastruktur yang mempengaruhi dirinya dalam berbagai lingkup terdekatnya seperti pada ajaran nilai keluarga, sistem pendidikan, media.
ADVERTISEMENT
Kemudian oleh Laclau dan Mouffe, gagasan interpellation itu sedikit dimodifikasi dan dipadupadankan dengan gagasan milik Lacan yang berpendapat bahwa individu itu merupakan fundamentally fragmented atau ‘split’. Konsep interpellation tadi menurut Laclau dan Mouffe terlalu menyederhanakan proses pembentukan individu seolah-olah hanya dari satu jalur yakni suprastruktur tadi. Padahal proses pembentukan individu itu meliputi di dalamnya banyak sekali wacana yang kontingen atau sementara, yang juga mungkin untuk saling bertentangan satu sama lain.
Jadi dari sekian banyak kemungkinan wacana yang ada, proses pembentukan individu ada di dalamnya karena dengannya kemudian si individu ini akan mengamini salah satu atau beberapa wacana yang luas dan mengambang tadi. Layaknya konsep nodal points yang sempat dijelaskan di atas, bahwa dalam satu individu bukan tidak mungkin akan terdiri dari berbagai pemahaman makna di dalamnya yang mungkin akan bercampur-campur dan membentuk identitasnya sebagai subjek. Laclau dan Mouffe menyebutnya dengan nodal points of identity.
ADVERTISEMENT
Mitos datangya adalah ketika ada suatu peristiwa yang tidak dapat dengan mudah dicari padanan simbolnya oleh manusia, sehingga hal itu penuh akan ketidakjelasan makna. Permainan wacana msuk ke dalamnya dan mencoba untuk mengatasi ketidakpastian dan ketidakjelasan tersebut (Laclau, 1990). Mitos layaknya nodal points yang pada dasarnya tidak memiliki maknanya sendiri, namun dia merupakan sebuah wadah yang mampu menampung berbagai makna yang kemudian akan dimasukkan dalam dirinya.
Ketika mitos tadi telah menemukan pemaknaan yang masuk dalam dirinya, dia akan menjadi horizon atau ‘cakrawala’ yang membatasi mana titik kejelasan tertentu. Bagi Laclau (1996) mitos itu sifatnya dimiliki oleh kelompok tertentu karena pasti di dalamnya tersirat kepentingan kelompok tadi. bedanya dengan social imaginaries adalah dia lingkupnya jauh lebih besar lagi secara universal. Konsep kepentingan kelompok ini diambil dari gagasan Gramsci terkait dengan kepentingan perjuangan kelas dalam melawan kelas korporat yang hegemonik.
ADVERTISEMENT
Social imaginaries terkait dengan logika kesetaraan atau logic of equivalence yang merupakan lawan dari logika perbedaan atau logic of opposite. Logika kesetaraan ini menembus batas antar kelompok yang kemudian akan menciptakan semacam “musuh bersama” yang mungkin secara kebetulan bisa menjadi sama antar kelompok.
Jadi semacam logika yang akan diamini oleh manusia secara universal dengan kemungkinan yang kecil untuk adanya relativitas seperti mungkin hukumnya membunuh orang, dan sebagainya (Mouffe, 1993: 50).
Contoh lain adalah terbentuknya semangat nasionalisme, itu merupakan cara kerja dari konsep logic of equivalence melawan logic of opposite. Dalam contoh kasus nasionalisme, yang semula dia adalah gagasan kosong, dia melihat ada Yang Lain sebagai pembandng atas identitas kelompok yang kemudian akan diamini bersama dan menciptakan visi misi bersama.
ADVERTISEMENT
Komunisme lawan kapitalisme, Barat lawan Timur, NKRI lawan radikalisme, dan sebagainya merupakan contoh dari penerapan konsep ini.
ADVERTISEMENT
Referensi
Althusser L. (1971). Ideology and ideological state apparatuses. In L. Althusser (ed.): Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
Gramsci A. (1971). Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart.
Grant D., Keenoy T. & Oswick C. (1998). Of diversity, dichotomy and multi-disciplinarity. In D. Grant T. Keenoy T. & C. Oswick (eds.): Discourse and Organization, 1-14. London: Sage.
Lacan J. (1977). Ecrits: A Selection. New York: W.W. Norton & Co.
Laclau E. (1990). New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso.
Laclau E. (1993). Power and representation. In M. Poster (ed.): Politics, Theory and Contemporary Culture. New York. Columbia University Press.
Laclau E. (1996). The death and resurrection of the theory of ideology. Journal of Political Ideologies 1 (3), 201-20.
ADVERTISEMENT
Laclau E. & Mouffe C. (1985 [2001]). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso.
Mouffe C. ed. (1993). The Return of the Political. London: Verso.
Mouffe C. (2008). Critique as Counter-Hegemonic Intervention. Transversal multilingual webjournal. Vienna: European Institute for Progressive Cultural Policies
Rear, D. (2013). Laclau and Mouffe’s discourse theory and Fairclough’s critical discourse analysis: An introduction and comparison. Unpublished paper, 1-26.
Zizek S. (1989). The Sublime Object of Ideology. London: Verso.