Konten dari Pengguna

Diplomasi Sawit: Langkah Strategis Indonesia Bersaing di Pasar Global

Ahmad Fajar Maulana
Mahasiswa Pascasarjana Program Master of Arts (MA) in Digital Transformation and Competitiveness, Universitas Gadjah Mada
27 Oktober 2024 2:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fajar Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit | Kelly / Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit | Kelly / Pexels
ADVERTISEMENT
Peringkat daya saing sawit di pasar global semakin menguat. Laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa kebutuhan pasar atas minyak sawit Indonesia pada 2023 mencapai 23,21 juta ton untuk konsumsi lokal dan 32,22 juta ton untuk kebutuhan ekspor. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang membutuhkan 54,29 juta ton untuk total konsumsi lokal dan ekspor. Tren perkembangan industri kelapa sawit kian berdampak pada peningkatan luas areal perkebunan sawit mencapai 15,34 juta hektar (BPS, 2022). Tak hanya berdampak pada kapasitas produksi yang perlu dikembangkan, dampak sosial juga dirasakan dengan tingkat keterserapan tenaga kerja mencapai 16,5 juta masyarakat di sekitar kawasan perkebunan sawit (GAPKI, 2024).
ADVERTISEMENT
Dampak adanya perkebunan sawit perlahan berkembang untuk menyeimbangkan dampak sosial, lingkungan, tata kelola dari perkebunan sawit. Perlahan namun pasti, ketiga dampak tersebut mempengaruhi respon pasar global dan memunculkan proses diplomasi untuk melakukan negosiasi. Beberapa negara mulai menerapkan peraturan, standar, maupun kebijakan terkait praktik perkebunan sawit yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan adanya komitmen global terkait fenomena krisis iklim sebagai salah satu triple planetary crisis. Melalui target baru dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), pengurangan emisi karbon ditargetkan untuk mencapai sebesar 45% pada 2030 hingga pada akhirnya dapat mencapai net zero pada 2050.
Kontribusi emisi karbon dari sektor pertanian dan perkebunan mencapai 18% dari total emisi karbon global (Acobta et. al., 2023). Kondisi ini menuntut adanya praktik pertanian/perkebunan yang lebih berkelanjutan, atau biasa disebut dengan Good Agriculture Practices (GAP). Selain itu, berkaitan dengan target pengurangan emisi karbon dari global, beberapa negara dengan kekuatan pasar mulai menerapkan standar baru bagi penerimaan produk hasil pertanian atau perkebunan agar tidak berdampak pada komitmen nasional mereka. Salah satunya adalah European Union melalui EU Deforestation Regulations (EUDR) yang berdampak pada komoditas sawit dan produk turunannya.
ADVERTISEMENT

Tantangan Nyata EUDR Dalam Ekosistem Pasar Sawit

Peraturan yang dimunculkan oleh EU menjadi tantangan tersendiri bagi negara eksportir seperti Indonesia, khususnya beberapa produk terdampak seperti cokelat, kopi, kayu, kedelai, hingga kelapa sawit. Poin utama dari regulasi EUDR ini adalah meminta produsen dapat memastikan tidak adanya praktik deforestasi dan proses produksi yang legal, baik secara tata guna lahan maupun pengelolaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang terlibat. Padahal, apabila melihat implementasi industri perkebunan sawit di Indonesia, partisipasi dari Perkebunan Rakyat (PR) masih cukup mendominasi dengan 40,32% bersamaan dengan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 55,84% dari total luasan (Bagja et.al., 2022 melalui laman WRI).
Pada level nasional, melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, skema sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah diupayakan dengan menerapkan tujuh prinsip dasar. Prinsip kepatuhan terhadap peraturan, penerapan praktik perkebunan yang baik, pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan kehati, tanggung jawab ketenagakerjaan, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan masyarakat, hingga transparansi dan peningkatan usaha berkelanjutan menjadi standar minimal pelaksanaan perkebunan sawit di Indonesia. Penerapan ISPO ini yang menjadi poin negosiasi agar dapat diterima sebagai bentuk kesesuaian dengan standar yang ada.
ADVERTISEMENT
Upaya membangun dialog terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengupayakan penerapan EUDR yang ditargetkan dimulai pada akhir Desember 2024. Namun, diplomasi yang dilakukan Indonesia memunculkan gerakan Like-Minded Countries melalui pengiriman proposal kepada EU. Gerakan LMC ini perlahan berhasil mengajak US, Australia, dan Canada untuk bergabung dalam upaya menunda implementasi EUDR.
ADVERTISEMENT

Upaya dan Komitmen Indonesia Bersaing di Pasar Global

Menunggu respon EU dalam menunda pemberlakuan EUDR, pemerintah Indonesia tetap berupaya memastikan ekosistem pasar untuk komoditas sawit terjamin. Penguatan kerja sama dengan negara lain telah dilakukan, salah satunya dengan memperkuat kerja sama dengan Afrika dalam membangun ekosistem pasar ekspor baru bagi Indonesia. Dikutip dari Listiyarini dan Syukra (2023), potensi Afrika sebagai pasar ekspor baru untuk komoditas sawit dapat menjadi alternatif dengan resiko akan tetap diberlakukannya EUDR dalam pasar global.
Strategi pengembangan penelitian dan penguatan praktik perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan juga terus dilakukan. Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan komitmen dukungan terhadap hilirisasi produk kelapa sawit. Hal ini tentu mendukung prinsip ekonomi sirkular dan ikut berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon dari rantai pasok industri kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
“Banyak riset yang sudah kita lakukan menyangkut dari hulu sampai hilir, budidaya, pasca-panen, penerapan teknologi terkait hilirisasi bagaimana sawit berdasarkan inovasi melalui riset bisa dihasilkan komoditas hilir,” ujar Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman dalam agenda Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dikutip dari laman BPDPKS.