Potensi Politik Dinasti terhadap Peningkatan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Ahmad Fauzan Nasrulloh
Sekretaris Pimpinan Wilayah Hima Persis DKI Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Juli 2020 7:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fauzan Nasrulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: facebook/@barisanrelawanismunandar
zoom-in-whitePerbesar
Source: facebook/@barisanrelawanismunandar
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan semangat KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga anti rasuah ini kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Kutai Timur dan Istri yang tidak lain merupakan Ketua DPRD Kutai Timur. Setidaknya KPK telah menangkap 16 orang terkait dengan dugaan tindak pidana berupa penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pekerjaan infrastruktur di lingkungan pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Hasil tangkap tangan tersebut ditemukan sejumlah uang sebesar Rp 170 Juta, beberapa tabungan dengan total Rp 4,8 milyar dan sertifikat deposito senilai 1,2 milyar. Secara simultan proses penangkapan terjadi di Jakarta, samarinda dan Kabupaten Kutai Timur.
ADVERTISEMENT
Kasus ini sangatlah memprihatinkan. Bagaimana tidak, hal tersebut terjadi di tengah situasi darurat pandemi covid-19 yang melanda tanah air. Terlebih ini dilakukan oleh seorang kepala daerah yang seharusnya menyibukkan diri untuk menanggulangi situasi bencana di daerahnya. Kondisi tragis lainnya yakni tindak pidana ini setidaknya dilakukan oleh seorang suami istri yang keduanya mempunyai otoritas kekuasaan terhadap Kabupaten Kutai Timur.
Operasi Tangkap Tangan Bupati Kutai Timur ini membuktikan kebenaran teori-teori tentang penyebab korupsi yang dikemukakan oleh berbagai ahli. Salah satunya, Korupsi terjadi karena faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (Robert Klitgaard). Ismunandar yang mempunyai kekuasaan eksekutif dan Encek, istri ismunandar pemegang fungsi pengawasan legislatif. Kolaborasi keduanya dan berbagai pihak pendukung mempertegas bahwa monopoli kekuasaan (politik dinasti) menyebabkan tindak pidana korupsi tidak berkesudahan di Negara ini.
ADVERTISEMENT
Dampak buruk politik dinasti ini tidak bisa ditanggulangi hanya dengan tindakan represif institusi KPK saja. Perlu keterlibatan masyarakat di dalamnya. Karena bagaimanapun Ismunandar dan istrinya adalah hasil dari demokrasi. Maka sudah seharusnya peristiwa tesebut menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia. Pembelajaran agar jangan salah dalam memilih pemimpin, terlebih sebagian daerah akan menjalani pesta demokrasi di penghujung tahun 2020.
Setidaknya tiga strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara bersamaan guna menekan angka kasus korupsi di Indonesia. Pertama berkaitan dengan perbaikan sistem, karena sebagian besar korupsi adalah disebabkan adanya peluang akibat sistem yang lemah. Kedua, Edukasi dan kampanye anti korupsi dengan tujuan membangkitkan kesadaran masyarakat, serta membangun perilaku dan budaya anti korupsi sejak dini. Terakhir, langkah represif berupa penyeretan pelaku tindak pidana korupsi ke pengadilan. Penegakan hukum ini, faktor yang paling menentukan dalam menekan perilaku korupsi yang bertujuan memberi kesan agar takut melakukan korupsi.
ADVERTISEMENT
Lemahnya proses penegakan hukum pada pelaku tindak korupsi di Indonesia tentu akan melahirkan pelaku tindak korupsi lainnya. Para calon pelakunya akan beranggapan bahwa perilaku korupsi lebih tinggi keuntungannya dibanding resiko kerugian yang akan ditanggungnya. Hal ini senada dengan teori cost benefit model yakni korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat atau dirasakan lebih besar dari biaya atau resikonya. Disinilah peran penegak hukum untuk membangun citra bahwa tidak ada celah pelaku tindak pidana korupsi di Negara ini.