Fatamorgana Jiwa

Ahmad Fazlur Rahman
A student, majoring in psychology, Universitas Brawijaya. Penulis dadakan. Sering melantur.
Konten dari Pengguna
22 November 2022 6:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fazlur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kuburan, oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/ungu-crocus-mekar-selama-siang-hari-161280/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kuburan, oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/ungu-crocus-mekar-selama-siang-hari-161280/
ADVERTISEMENT
Siluet sepanjang lima hasta menutupi tanah pekuburan itu. Angin dingin berembus kencang, sang pemilik bayang menggenggam erat sebilah tangkai berujung merah cerah di tangannya. "Udara yang menusuk paru-paru tidak lebih menyakitkan dari aroma kehampaan," pikirnya. Tanda-tanda kehidupan sirna, hanya ia yang berhasil melawan godaan dunia. Pohon dan rumput kontras dengan baju gelamnya. Baginya, alam semesta tidak adil, sungguh tidak adil.
ADVERTISEMENT
Kelopak mata yang kering menghiasi air muka muramnya. Kucuran cairan bening tertahan kuat, seakan bersaing dengan gravitasi. Jauh di lubuk hati, ia tersakiti, mengutuk diri sembari menyesal tak henti-henti. Sesekali burung kenari beterbangan di atas kepalanya, betapa indah tampilannya andaikan ia memilih menengadah. Tetapi ia kalut, hatinya karut-marut. Kacau bagai benang kusut, benaknya semrawut.
Kolam kebingungan seakan menenggelamkan insan pikiran, padahal dirinya di atas tanah merah. Memori berbaur, saling beradu tinju di atas ring ingatan. Iris matanya yang hitam membeku dalam diam. Tatapannya tajam, tangannya masih kencang memegang sebatang kembang. Nisan berbicara, andai saja ia bisa mendengarnya. Namun, batu keabu-abuan itu hanya sebuah saksi bisu yang tertanam padu untuknya. Guratan kuning kemerah-merahan mulai merobek seisi angkasa. Sang manusia tangguh tak tau apa itu menyerah, dirinya memilih bertahan hingga kiamat datang jika memang bisa.
ADVERTISEMENT
Bunga mawar itu jatuh, tepat di atas selimut hijau yang mendekorasi kasur tempat peristirahatan terakhir sang pujaan hati. Sang insan terduduk di lututnya, corak coklat kemerah-merahan menambah aksen kotor bagi celana kremnya itu. Hingar-bingar perkotaan tak menyiksa telinga di sini, hanya kehampaan dan sedikit siulan angin sebagai hiburan.
"Sudah setahun semenjak kepergianmu, banyak hal yang berubah..." Lidahnya tertahan sejenak, "Aku masih merindukanmu."
"Hei, aku sekarang sudah bisa hidup mandiri, seperti yang kau suruh, kan?" ucapnya pelan, diikuti senyuman yang berkembang tipis di wajahnya.
"Tetapi, tidak ada yang bisa lebih mengerti diriku dibandingkan kau."
Senyumnya tertahan, pelipisnya hampir basah jikalau dia tidak segera menghapus aliran kristal bening itu dengan ujung lengan bajunya. Siapa yang menyangka dirinya akan kembali lagi ke liang lahat kasihnya itu setelah lama ia mencoba menghapus kenangan tentangnya. Namun, yang ia tahu sendiri, terkadang kematian menuntut dirinya untuk mengingat, bukan memaksa ia untuk merelakan. Teman sekaligus kasih satu-satunya itu, meninggalkan dirinya di saat ia berjuang untuk selalu hidup setiap harinya. Ia mengutuk dunia, ibu pertiwi ikut merasakan duka darinya.
ADVERTISEMENT
Semesta seakan menyatukan mereka sekali lagi, entah karena rasa iba atau memang takdir dari sang kuasa. Dimensi yang berbeda bukan halangan untuk mereka bisa menghabiskan waktu berdua saja, walau memang tidak lama. Sesosok manusia itu terus berbincang ria, untungnya kapas-kapas raksasa yang menggantung di atas kepala tak ikut menangis penuh lara. Bagi mereka, biarlah suka yang akan mengalahkan duka, lantaran bumi manusia memang terkenal kejam terhadap para persona. Sang surya menutup tabir tipisnya, tenggelam, seakan binasa. Kini, sang penguasa malam yang akan berkuasa, memimpin bentala gelap gulita, mengudara di angkasa.
Senyuman manis mewarnai muka muramnya, tangisannya yang tak terbendung mengalir membasahi karpet hijau gelap tempat berbaringnya. Sebelah wajah asrinya penuh bercak butala, lantas kedua tangannya bersandar lemas tanpa daya. Seraya menangis ia berdoa untuk Tuhan mempertemukan mereka berdua kembali saat waktunya telah tiba. Dua jiwa saling bertaut dalam naungan jagat raya, fatamorgana indah yang melukis kisah penuh cinta, haru, dan bahagia.
ADVERTISEMENT