Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Menapaki Jejak Tanah Baitul Maqdis
17 September 2023 9:45 WIB
Diperbarui 4 Desember 2023 18:25 WIB
Tulisan dari Ahmad Haetami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peradaban, pohon akarnya kokoh menancap di bumi dan di atas bumi. Terdapat bangsa dan Islam. Dilangit-langit pohon itu menjulang memancarkan tinggi cahaya semesta. Cahaya itu nan berharga, mata air peradaban mulia. Kala pedang dan pena sama menghunjam luka umat semakin dalam. Kan kuceritakan kisah pembangkit bagi mereka yang tengah sakit.
ADVERTISEMENT
Wahai semesta, mereka telah lupa dan meninggalkan, mari kita kan ingat dan sampaikan peradaban Islam nan diukir oleh dua hal, pena ulama dan darah syuhada. Pena itu berjalan melaju melintasi alam semesta, hingga perjalanan itu melahirkan karya manusia yang tak biasa.
Al-Ghazali, goresan kanvas bibit ilmu untuk melukis semesta, Baitul Maqdis salah satu ukiran indah dalam catatan karyanya. Disaat manusia tegah lupa dengan kewajiban menjaga kiblat pertama, Ihya 'Ulimiddin menjadi tombak kebangkitan penduduk Palestina, hingga akhirnya dari goresan pena itu hinggalah menghujani semesta yang tak pernah reda.
Tugas itu berlanjut ke sosok manusia bergelar Sulthanul Auliya, Abdul Qadir al-Jailani. Penyambung lidah dari pendahulunya guna meneneruskan semangat cita-cita luhur pembebas Baitul maqdis, dari semangatnya itu lahirlah madrasah pendidik bagi generasi umat.
ADVERTISEMENT
Tak sampai disitu, lahirlah sosok Salahuddin Al-Ayyubi hadirnya bukan suatu tanpa sengaja. Ia merupakan generasi yang diciptakan dengan tujuan mulia. Kelak dengan keberaniannya, Baitul Maqdis merasakan dahaga merdeka untuk kali kedua.
Semua yang di cita mereka sebagai tugas mulia, surga yang mereka ingin sama dengan surga yang kita pinta, hanya saja amal kita tampak jauh dari mereka.
***
Kebisingan dan kebisuan menjadi saksi kebesaran di bumi cahaya. Merobek kembali kemenangan hingga perjuangan menjelma perlawanan! Kini, kita lupa tantang negeri yang mulia tempat utusan risalah anbiya, sebekas injakan kaki manusia agung.
Mata air, air mata, mata air.
Kini Al Aqsha menatap langit pada lorong cahaya, menatap riuh sebekas kemenangan semesta. Pandangan mata dan penjuru dunia menjadi sanksi tentang manusia dengan; hati merdeka raga terpenjara.
ADVERTISEMENT
Pancaran dari bumi cahaya itu tak pernah henti. Berkah berlapis-lapis memancar dari pusatnya, saksi perjalanan malam yang tak terlupa menempati hati Muslim sebagai kiblat pertama bahkan mengeluhkan manna dan salwa bagi yang sudah terbebas dari menghamba manusia.
Hari ini, negeri itu teriak memanggil manusia pilihan tertanam hati cahaya jiwa.
Wahai penduduk negeri Syam, singa pemberani Abdul Hamid, pemimpin pembebas tiga benua Sulaiman Al-Qanuni, penjaga damai dunia Salahuddin Al-Ayyubi, Ya Amirul mu'minin Umar bin Khattab pembuka gerbang Al Aqsha. Dimanakah engkau?
Semua keringat, air mata, dan darah, menjadi saksi keberpihakan kita pada negeri cahaya. Mata air, air mata, mata air peradaban Islam. Wahai jiwa-jiwa pilihan, bertapa bahagianya engkau. Palestina sepeninggal cahaya, warisan terbaik sang maha cinta. Perlawanan nyata dari manusia yang memiliki rasa angkuh dan sombong.
ADVERTISEMENT
Duhai Allah, tolonglah mereka dengan Rahmat dan kekuatan-Mu dan hancurkan segala bentuk sombong dan angkuh bagi jiwa serakah.
Wahai manusia terbaik, kesabaran telah memenangkan jiwamu. Akan tiba segala bentuk pertolongan hingga setiap wujud zalim berlalu.
***
Aku adalah israel penjajah biadab dirikan negara di tanah Palestina, tak henti dengan semua siasat dan tipudaya, merampok Palestina lewat izin liga bangsa-bangsa. Tak lama sebelum tusukan bilah pembunuh Amerika, maka nyawa tak lagi punya harga di tanah Palestina.