Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Opini: Kenapa Konten Quotes Dari Sosial Media Bisa Berbahaya?
14 Januari 2025 10:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ahmad Haetami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masuknya era sosial media dimana bisa dinikmati dengan video-video pendek, banyak dari kita mungkin yang sudah terbiasa dengan video-video pendek, yang itu bisa dinikmati tanpa effort atau fokus lebih.
ADVERTISEMENT
Nah karena kita terbiasa dengan konten-konten yang singkat, kita akan lebih terbiasa dengan konten-konten yang formatnya itu sederhana, tapi langsung ke intinya. Dan salah satu konten yang cukup masuk kriteria tersebut, tentu konten-konten yang berisi quotes, ditambah dengan background berisikan video random. Video-video seperti ini selain mudah dibuat, potensi untuk viralnya itu sangat besar.
Karena itu kita bisa langsung lihat sendiri, banyak dari konten-konten yang serupa yang views, bahkan likesnya itu cukup banyak. Disini saya punya pandangan, kenapa konten-konten seperti itu gampang rame? Jadi gini, pernah gak, ketika kita merasa kata-kata di konten tersebut relate sama hidup yang lagi dijalani saat ini, jadi kita langsung kepengen buat bagian postingan itu, karena dirasa bisa ngewakilin perasaan yang kita punya.
ADVERTISEMENT
Nah, ini lah secara gak langsung membuat konten-konten seperti itu bisa cepat naik, karena simplenya mereka dapet promosi gratis dari orang-orang yang merasa relate dengan konten itu. Kalau kita lihat dari cara pembuatan yang simple dan potensi viralnya yang cukup besar, maka kita gak heran kalau banyak orang ikut di konten-konten serupa, entah untuk ngeluapin perasaan pribadi, ataupun memang untuk mencari keuntungan. Nah disini masalahnya, ketika konten-konten seperti itu bisa dibuat sama siapapun dan bisa tersebar luas ke ranah publik, hal ini menimbulkan berbagai masalah “ditanggapi dengan kurang bijak”.
Misalnya gini, kalau kita perhatikan, banyak dari kata-kata dalam konten tersebut itu yang berpotensi mengiringi persepsi kita pada suatu hal, seolah masalah itu disamaratakan dengan satu inti yang sama, entah masalah kesehatan mental, hubungan, kerjaan, dan lain-lain. Dan pada akhirnya, ini menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman.
ADVERTISEMENT
Seperti contoh beberapa trend tentang pernikahan muda yang meyebabkan banyak perceraian dini. Hal itu menjadi sebuah ketakutan yang muncul terhadap orang yang ingin melakukan nikah muda. Sebenarnya trend ini simple, cuma teks doang dan dengan background video, tetapi video simple seperti ini justru bisa memberikan persepsi yang cukup kuat terhadap suatu hal, dan kita juga bisa lihat, dari respon banyak orang ketika melihat trend tersebut, dimana konten-konten tersebut, memicu ketakutan terhadap pernikahan bagi beberapa orang.
Nah inilah yang saya maksud bisa berdampak berbahaya, karena kita bayangin saja, seseorang bisa punya persepsi yang terlalu sempit, karena pembenaran yang menyebabkan konten-konten seperti itu. Tapi ini bukan cuma soal trend nikah muda saja ya, tapi beberapa aturan, itu juga muncul karena konten-konten yang sejenisnya. Makannya ini menciptakan sebuah standar sosial media yang absurd, karena diartikan dengan sempit, sama standar-standar sosial media yang seolah semua persepsi kita harus sama. Mungkin bagi beberapa orang yang mempertimbangkan, bisa memilih dan lebih bijak lagi dalam memaknai hal dalam konten tersebut.
ADVERTISEMENT
Kalau kita bisa bayangkan, contoh saya bikin konten dengan kata-kata seperti ini, “ikuti apa kata hatimu jangan hiraukan apapun yang akan terjadi”. Mungkin dari kata-kata ini terdengar positif dan berbentuk dari kepercayaan diri tapi masalahnya, walaupun saya mengeluarkan kata-kata yang positif saya gak memberikan konteks tertentu dengan apa yang saya maksud.
Nah ditakutkan, apa yang saya sampaikan, itu di terapkan orang lain untuk keputusan-keputusan yang harus dibikin secara rasional, daripada cuma dengarin kata hati. Jadi kekurangan dari konteks sederhana yang emosional tersebut, konten itu gak memberi konteks lebih dalam terhadap kata-kata yang tertulis dan balik lagi, tidak semua orang itu bisa bijak menanggapi konten tersebut.
Selain itu dapat menjadi asumsi yang berlebihan, hal seperti itu bisa membuat seseorang ketergantungan pada validasi emosi yang tampak instan. Jadi ketika seseorang menghadapi masalah atau kekecewaan, mereka lebih fokus cari kata-kata yang dirasa mewakilkan perasaan daripada menjelaskan masalah itu secara langsung. Karena orang yang ketergantungan dengan validasi emosi yang instan, mereka akan mendapatkan kepuasan tertentu, ketika ada hal yang dirasa cocok dan dirasa mewakilkan perasaan yang lagi dirasain.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya gak masalah, ketika kita mencari pelampiasan berupa kata-kata yang mewakilkan perasaan kita, karena perasaan tiap orang itu beda-beda. Tetapi yang jadi masalah itu ketika kita ketergantungan dengan validasi emosi, yang sebenarnya itu bersifat sementara, daripada kita melakukan hal yang sebenarnya bisa menyelesaikan masalah itu. Hal ini bisa menciptakan perputaran yang gak sehat dimana setiap kali ada masalah kita terus-terusan mencari validasi dari kata-kata yang serupa yang akhirnya bisa menimbulkan kesedihan.
Kenapa bisa seperti itu? Karena validasi dari luar itu sifatnya sementara, tapi inti masalahnya itu tetap ada kalau kita gak selesaikan masalah itu. Bisa dipahami? Jadi semakin sering kita mengkonsumsi kata-kata seperti itu, otak kita mulai terbiasa nyari kenyamanan instan, yang itu ditimbulkan faktor dari luar bukan fokus pada penyelesaian masalah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya masalah yang cukup serius adalah, kredibilitas si pembuat konten. Kalau kita lihat konten-konten yang isinya cuma teks, kita cuma bisa lihat teksnya saja tapi kita gak bisa lihat siapa orang yang bikin konten tersebut. Coba kita bayangin bagaimana kalau misalnya kata-kata yang kita lihat di video tersebut, sebenernya dibuat sama orang yang gak kredibel membahas hal tersebut.
Misalnya gini, tadi kan di atas saya bilang kalau konten seperti itu sangat mudah untuk dibuat, berarti sangat mungkin siapapun bisa buat konten seperti itu. Kalau misalnya saya buat kata-kata tentang kesehatan mental atau psikologi, padahal saya gak ada kapasitas dalam ilmu psikologi sama sekali, tapi karena orang cuma ngelihat teksnya saja tanpa ngeliat latar belakang saya, ya orang lain bisa percaya saja dengan hal itu kalau itu terasa masuk akal.
ADVERTISEMENT
Bagi beberapa orang yang mampu berpikir kritis ketika melihat konten seperti ini, mereka gak mau disetir. Mungkin mereka percaya-percaya saja sebenarnya konten dengan template seperti ini tuh bisa jadi hiburan, motivasi, ataupun sekadar pelampiasan dari perasaan yang lagi dirasain. Tapi terkait masalah ini adalah, bagaimana respon kita menanggapi kata-kata yang lewat di beranda sosial media kita.
Karena walaupun konten dengan template seperti ini terlihat simple, tapi kalau kita gak bisa nanggapinnya dampaknya itu bisa berbahaya buat ke depannya. Karena di era sosial media seperti sekarang ini, hal-hal sederhana seperti itu justru bisa mengontrol manusia dengan aturan-aturan yang absurd, yang itu disampaikan dengan cara sederhana sekalipun. Jadi ya, saya bukan mempermasalahkan orang yang bikin atau nikmatin konten-konten tersebut, tapi bijaklah untuk mencerna ketika melihat konten-konten berisikan quotes yang ada di sosial media.
ADVERTISEMENT
Terakhir, tulisan ini hanya opini dan pandangan dari penulis berdasarkan pengalaman dan sedikit riset terhadap sosial media. Ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau menyalahkan pengguna maupun penikmat sosial media lainnya.