Konten dari Pengguna

Budaya Birokrasi Kita: Abdi Negara atau Abdi Masyarakat?

Ahmad Haris Ilhamsyah
Pengajar di Perguruan 'Aisyiyah Plemahan, Kediri.
30 Maret 2025 16:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Haris Ilhamsyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Hansjörg Keller on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Hansjörg Keller on Unsplash
ADVERTISEMENT
Hari demi hari, kita disajikan dengan skema budaya birokrasi yang agaknya tidak berpihak pada masyarakat bawah. Alih-alih memberikan pelayanan terbaik, para abdi negara ini justru memberikan beban pikiran bagi orang-orangnya.
ADVERTISEMENT
Begitu kiranya tanggapan Hasan Nasbi, seorang kepala lembaga yang merepresentasikan keinginan, ekspetasi, pesan, dan komunikasi publik Presiden Prabowo, kepada rakyat. Begitu juga pejabat pemerintahan lainnya, belakangan merespon tanya dengan jawaban yang tidak romantis sama sekali.
Jangan membahas represifitas aparat dulu, pelayanan publik di kantor desa dan kecamatan saja, bukannya memudahkan, justru membikin repot masyarakat. Apa kecenderungan pegawai negeri kita memang demikian?
Dalam buku Demokrasi dan Budaya Birokrasi (IRCiSoD, 2018), Kuntowijoyo menuliskan Budaya Birokrasi: Dari Abdi Dalem Sampai Pegawai Negeri. Di situ, ia menjelaskan latar sejarah abdi negara kita.
ADVERTISEMENT
Jadi begini, dulu sekali, argo-managerial state seperti kerajaan-kerajaan di Jawa sampai abad ke-20 punya cara penetapan kepemilikan sumber ekonomi, yakni tanah dan tenaga kerja adalah milik raja. Negara-negara tipikal patrimonial begini, memberikan kekuasaan pada raja untuk mengatur pembagian kehormatan, kemakmuran, dan kedudukan rakyatnya.
Raja yang punya tanah dan tenaga kerja masyarakat, melimpahkan penguasaannya ke anggota keluarga dan orang-orang yang dianggap berjasa pada raja. Keluarga raja disebut sentana dan mereka yang membantu raja dalam penyelenggaraan kekuasaan disebut abdi dalem.
Abdi dalem itulah yang duduk dalam lembaga yang kita sebut birokrasi kerajaan. Mereka menjadi perantara antara raja dengan kawula-nya.
Rakyat harus mengerjakan tanah-tanah raja dan tanah lungguh dengan imbalan mendapatkan hak gaduh atas tanah mereka, sembari tentu, membayar pajak yang telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, birokrasi tidak melayani masyarakat, melainkan melayani kepentingan raja. Penyelenggaraan kekuasaan teritorial, perpajakan, pengadilan, keamanan, dan keagamaan, semuanya berorientasi pada penguasaan, ketimbang pelayanan.
Abdi dalem juga didapatkan secara genealogis, yakni diwariskan pada kerabat si abdi dalem itu sendiri. Para abdi dalem kemudian (secara sosiologis) membentuk sebuah kelas sosial tersendiri yang terpisah dari rakyat pada umumnya. Akibatnya, birokrasi bukan saja sebuah lembaga dengan fungsi-fungsinya, tapi juga menjadi sebuah lapisan sosial.
Kedudukan sosial abdi dalem diperkuat dengan berbagai atribut dari raja, berupa gelar-gelar, pangkat, dan perangkat seremonial tertentu. Mereka hidup dalam etika abdi dalem: patuh pada raja adalah puncak nilai dan pengingkaran padanya adalah sebuah kehinaan.
Budaya birokrasi abdi dalem, sangat membekas sebagai sistem nilai dan sistem pengetahuan di masyarakat. Sehingga, sekalipun perubahan-perubahan sudah terjadi, budaya itu dapat saja masih melekat.
ADVERTISEMENT
Fase selanjutnya, semenjak pemerintah kolonial memasuki Jawa, di situ kita mengenal priyayi, yakni orang-orang pribumi yang diangkat dalam jajaran birokrasi kolonial. Entah gajinya besar maupun kecil. Birokrasi kolonial, kurang lebih sama dengan birokrasi abdi dalem.
Hanya saja, ada rasionalisasi dalam proses rekruitmen priyayi, yakni mereka diangkat berdasarkan kriteria rasional, bukan atas kemurahan raja. Sehingga kemungkinan untuk melestarikan kepriyayian agak kecil, meskipun tidak nol.
Secara kedudukan sosial, priyayi ini lebih dekat dengan gaya hidup Barat, secara kognisi, etika, dan estetikanya. Bahasa mereka adalah bahasa Belanda, sama seperti abdi dalem yang berbahasa kawi atau kedaton. Pakaian, dan tegur sapa mereka juga cenderung meniru Belanda.
Birokrasi priyayi dan birokrasi abdi dalem cenderung mendudukan masing-masing figur mereka sebagai bagian dari kekuasaan. Priyayi mendudukan diri mereka sebagai bagian dadi kekuasaan kolonial, sedangkan abdi dalem menganggap diri mereka sebagai bagian dari penguasa patrimonial.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, Indonesia tidak punya tradisi birokrasi yang lebih ramah pada pelayanan sosial, untuk melayani rakyat.
Hal ini bisa dibuktikan sekarang, pada birokrasi baru dengan personalnya yang kita sebut sebagai pegawai negeri. Dalam semboyannya, pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah istilah yang masih berorientasi pada atasan—kekuasaan.
Ideologisasi berupa penataran-penataran kesadaran politik bagi pegawai negeri dilaksanakan dengan maksud pertumbuhan semangat kebangsaan. Setidaknya itu maksud yang kita semua harapkan.
Namun, Kuntowijoyo mewanti-wanti: jangan sampai ideologisasi itu menggantikan cara berpikir analitis, karena jika daya analitis digantikan, sama saja hasil ideologisasi itu nol, tidak ada manfaatnya. Sedangkan untuk menyelesaikan masalah sosial, yang perlu dicermati adalah kerangka sosial, bukan hanya aspek ideologisnya saja. Penyelenggaraan pelayanan tidak cukup hanya berbekal kualifikasi ideologis.
ADVERTISEMENT
Pegawai negeri juga agak sama dengan abdi dalem, berupa adanya baju seragam, upacara-upacara, sumpah-sumpah, yang kesemuanya mengingatkan pada masa lalu tentang bagaimana abdi dalem dulu direkayasa.
Kuntowijoyo mengharapkan terwujudnya birokrasi yang profesional dan efisien pada hari ini. Karena memang itulah yang dibutuhkan. Industrialisme, demokratisme, dan urbanisme, menjadi tantangan baru bagi birokrasi. Jika birokrasi masih pakai budaya abdi dalem dan priyayi, bisa-bisa kita gagal dalam mengelola masyarakat masa depan. Dalam bahasa kita sekarang, bisa-bisa kita gagal mewujudkan generasi emas 2045.
Agaknya, harapan beliau memang masih belum terwujud. Berbagai praktik tidak baik yang bersangkutan dengan para “abdi dalem pasca reformasi” ini kerap menghiasi linimasa kita. Tulisan ini adalah makalah Kuntowijoyo di Seminar POLRI, April tahun 1991. Sudah lebih dari 30 tahun lalu. Sedari itu, beliau mengingatkan bahwa agar memiliki birokrasi yang sehat, yang mendukung kemajuan negara, keterlibatan pegawai negeri pada politik praktis harus ditiadakan.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling penting, elitisme pegawai negeri harus dicegah. Pegawai negeri, pejabat, para aparat bukan abdi negara, melainkan civil servants, abdi masyarakat!