Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tidak Hanya Urusan LPG: Tentang Aksi Protes di Kazakhstan
10 Januari 2022 16:23 WIB
·
waktu baca 12 menitTulisan dari Ahmad Ilham Danial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak tanggal 2 Januari 2022, unjuk rasa besar-besaran mengguncang Republik Kazakhstan. Awalnya, demonstrasi berskala masif tersebut hanya berupa aksi damai yang dilakukan penduduk Kota Zhanaozen. Mereka berkumpul di depan kantor Akim atau kepala daerah setempat untuk memprotes kenaikan harga LPG hingga dua kali lipat, dari 60 menjadi 120 Tenge (1 Tenge=32,89 Rupiah), dan mulai berlaku sejak 1 Januari 2022. Menurut Presiden Kassym-Jomart Tokayev, kenaikan harga bahan bakar gas tersebut sudah mengikuti perhitungan harga pasar.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu singkat, gelombang protes merambah ke oblast (provinsi) tetangga, Atyrau dan Aktobe, hingga ke wilayah Nur-Sultan, Shymkent, Kokshetau, Uralsk, Karaganda serta Almaty, yang berjarak sekitar 2.800 km dari Zhanaozen. Meski tuntutan pembatalan kenaikan harga bahan bakar gas sudah dipenuhi oleh pemerintah pada 4 Januari 2022, tetapi dalam perkembangannya, permintaan pendemo meningkat menjadi tuntutan agar diadakan perbaikan menyeluruh di segala aspek ekonomi dan politik Kazakhstan. Bahkan, sejak 5 Januari 2022, di kota terbesarnya, Almaty, aksi damai sudah berubah menjadi amok, yang menelan korban jiwa dari pihak pengunjuk rasa maupun aparat keamanan.
Melihat dari perkembangan tuntutan para peserta aksi serta eskalasi kekerasan yang belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti, menarik kiranya untuk mencari dan menganalisis penyebab utama salah satu unjuk rasa terbesar di Kazakhstan sejak deklarasi kemerdekaannya dari Uni Soviet pada 16 Desember 1991. Apakah ini hanya soal kenaikan harga LPG? Atau, sudah menjadi kulminasi dari kekecewaan masyarakat yang selama ini tidak pernah tersalurkan, khususnya selama rezim Nursultan Nazarbayev? Lalu, bagaimana ujian sejarah di “Land of the Great Steppe” ini akan berakhir?
ADVERTISEMENT
Sekilas tentang Perekonomian Kazakhstan
Wilayah Kazakhstan terletak di jantung Eurasia, di mana bagian terbesarnya berada di Asia Tengah dan berbatasan langsung dengan negara-negara eks Uni Soviet lainnya, seperti Kirgyzstan, Uzbekistan dan Turkmenistan, di sebelah selatan. Di bagian timur dan tenggara, yang menjadi jirannya adalah Mongolia dan Tiongkok. Sementara itu, sebagian kecil wilayah Kazakhstan yang berada di Eropa berdampingan dengan provinsi Orenburg dan Astrakhan, Rusia. Dengan total luas mencapai 2,7 juta km2, Kazakhstan menempati urutan ke-9 negara dengan wilayah terluas di dunia.
Letak yang strategis serta luasnya bentang alam, di mana di dalamnya tersimpan sumber daya alam nan melimpah, menjadikan negara beribukota Nur-Sultan tersebut sebagai kekuatan ekonomi dan politik utama di kawasan Asia Tengah. Selain itu, sejak 30 tahun lalu, Kazakhstan sudah bertransformasi menjadi salah satu negara eks Uni Soviet dengan kemajuan paling pesat, bersaing dengan Rusia. Dalam hal ini, tentu kita tidak menghitung mantan kompatriotnya di wilayah Baltik, yaitu Estonia, Latvia dan Lithuania, yang sudah jauh melesat sejak bergabung dengan Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Pemasukan utama negara berasal dari sektor jasa, seperti keuangan, penyediaan tenaga kerja, distribusi hasil tambang, serta bidang pariwisata dan teknologi, yang jumlahnya mencapai 57% dari keseluruhan PDB riilnya [194.024 miliar USD]. Meski hanya 38%, saya kira “nyawa” perekonomian Kazakhstan yang sebenarnya berada pada sektor industri, terutama pertambangan. Sektor inilah yang sejak awal berkontribusi dalam pembangunan Kazakhstan. Apalagi mereka memiliki cadangan SDA yang cukup besar, terutama minyak bumi (30 miliar barel), gas alam (85 triliun kaki kubik) dan batu bara (28 miliar ton).
Selain itu, Kazakhstan juga kaya akan uranium dengan jumlah cadangannya mencapai dan uranium 906,8 ribu ton. Dalam hal ini, Kazakhstan hanya kalah dari Australia yang memiliki cadangan lebih dari 1 juta ton. Meski memiliki lahan luas, sektor pertanian dan peternakan tidak memiliki peran signifikan dalam perekonomian dengan hanya menyumbang 4-5% dari PDB. Meski begitu, Kazakhstan masuk ke dalam 10 besar negara pengekspor gandum yang jumlahnya mencapai 1.1 miliar USD.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan Indonesia, PDB per kapita Kazakhstan pun relatif lebih besar. Sesuai dengan data IMF per Oktober 2021, maka PDB berdasarkan nominal serta PPP-nya nya adalah 10.144 USD dan 28.042 USD. Hal ini juga membuatnya menjadi negara paling makmur di kawasan Asia Tengah. Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) pun termasuk tinggi, yakni mencapai 0.825 dan menempati peringkat ke-51 di dunia. Angka-angka di atas menunjukkan bagaimana Kazakhstan sudah jauh lebih maju setelah hampir menjadi negara gagal pasca-bubarnya Uni Soviet.
Zhanaozen, Kota Tambang yang Tak Pernah “Sepi”
Zhanaozen, kota pertama yang menjadi medan unjuk rasa di Kazakhstan pada awal Januari 2022, merupakan salah satu wilayah di oblast (provinsi) Mangystau yang terletak di tepi Laut Kaspia. Daerah ini sejak lama dikenal kaya akan sumber daya alam, khususnya gas alam dan minyak bumi. Mayoritas kendaraan bermotor di Zhanaozen pun sudah menggunakan gas sebagai bahan bakar utamanya.
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga komoditas tersebut tentu akan sangat berpengaruh bagi perekonomian penduduk kota. Meski sebelumnya UMR wilayah tersebut sudah dinaikkan, namun tetap saja itu akan terasa memberatkan masyarakat yang tinggal di sana. Apalagi, tidak semua dari mereka adalah pekerja tambang dengan tingkat upah yang relatif lebih tinggi. Dalam hal ini, keputusan rezim Tokayev menjadi tidak populis dan bagaikan kado tahun baru yang sama sekali tidak diharapkan oleh masyarakat Kazakhstan.
Menurut situs berita Expert.ru, sejak tahun 2008, aksi unjuk rasa mulai rutin terjadi di Zhanaozen. Tak jarang, demonstrasi yang biasanya dilakukan oleh para pekerja tambang terkait masalah upah, berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan bahkan hingga menyebabkan korban jiwa. Selain itu, isu yang dibawa pun seringkali meluas menjadi permintaan perbaikan perekonomian dan iklim politik secara umum, sehingga memicu aksi yang sama di wilayah lainnya. Maka, apa yang terjadi di Kazakhstan selama sepekan terakhir bukanlah hal yang baru.
Meski skalanya jauh lebih kecil, gerakan protes yang berawal dari Zhanaozen dan wilayah tambang lainnya di provinsi Mangystau, selalu menjadi perhatian khusus pemerintah Kazakhstan. Tindakan gegabah yang diambil dapat memperluas spektrum aksi ke wilayah lain sehingga berakibat fatal bagi rezim yang sedang berkuasa. Seperti halnya yang terjadi 10 tahun lalu di wilayah tambang tersebut. Ketika itu terjadi kerusuhan yang berawal dari aksi mogok kerja yang sudah dilakukan sejak 7 sebelumnya oleh buruh dari perusahaan Ozenmunaigaz, salah satu uni usaha milik BUMN Kazakhstan, Kazmunaigas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, hingga akhir November 2011, tidak ada tuntutan dari buruh yang secara umum menyinggung soal perekonomian dan politik di Kazakhstan. Fokus utama mereka adalah perbaikan kesejahteraan serta pemenuhan sarana dan prasarana yang harus dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Aksi yang dilakukan pun cenderung damai. Namun, pada 16 Desember 2011, terjadi bentrokan antara polisi dan pendemo yang memaksa untuk masuk ke alun-alun Zhanaozen. Saat itu, warga kota sedang melakukan perayaan untuk memperingati hari kemerdekaan Kazakhstan yang ke-20. Setelah itu, mulai terjadi perusakan kendaraan polisi dan warga, pembakaran kantor-kantor dan hotel serta penjarahan.
Aparat yang diturunkan saat itu dinilai sangat represif dalam merespons aksi massa, sehingga membuat 15 orang warga sipil meninggal dan sekitar 100 mengalami luka-luka. Peristiwa tersebut menjadi perhatian dunia internasional. Apalagi, tokoh-tokoh oposisi rezim Nursultan Nazarbayev pun ikut ditahan, yang menurut Human Rights Watch, tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sementara itu, menurut laporan Amnesty International (EUR 57/001/2014), apa yang terjadi di Kazakhstan adalah wujud sebenarnya dari pemerintahan rezim Nursultan Nazarbayev yang otoriter dan abai terhadap pemenuhan HAM. Sejak saat itu, kota Zhanaozen tak pernah sepi dari aksi unjuk rasa para buruh tambang
ADVERTISEMENT
Cengkeraman Nursultan Nazarbayev dan Aksi Massa Januari 2022
Tak bisa dipungkiri bahwa Nursultan Nazarbayev merupakan sosok yang paling berpengaruh di Kazakhstan. Meski angka-angka pencapaian pembangunan selama masa kepemimpinannya sangat mengagumkan dan membuat Kazakhstan diakui sebagai salah satu negara dengan kemajuan paling pesat dalam 30 tahun terakhir, hasil yang sama tidak terlihat dalam kehidupan politik negeri berpenduduk sekitar 19 juta jiwa tersebut. Pemerintahan yang otoriter, kultus individu serta dugaan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan oleh kroni dan keluarganya, seolah menjadi top of mind ketika menyebut nama Nazarbayev.
Sejak amandemen konstitusi Kazakhstan tahun 2010, Nazarbayev berhak menyandang status Elbasy atau “Pemimpin Bangsa”. Bersama seluruh anggota keluarganya, dia pun memiliki imunitas dari segala upaya penyelidikan dan pengadilan terhadap dugaan kejahatan yang dilakukannya selama memimpin negara tersebut (Kate Mallinson, 2019:15-16). Meski tidak lagi menjabat sebagai kepala negara, Nazarbayev masih dianggap sebagai aktor utama dalam dunia politik Kazakhstan. Apalagi, Nazarbayev berhasil membangun kultus individu yang demikian kuat selama ia menjabat.
ADVERTISEMENT
Setelah lengser, ia dipilih untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Keamanan Kazakhstan (DKK) yang bisa dijabatnya seumur hidup, selain posisinya sebagai Ketua Majelis Rakyat (MR) yang dipegangnya hingga tahun 2021. DKK merupakan salah satu lembaga negara yang bertugas untuk memberikan saran kepada pemimpin lembaga eksekutif terkait keamanan dan ketahanan nasional yang anggotanya (ex-officio) terdiri dari Presiden, Ketua Majelis Tinggi dan Rendah, Perdana Menteri, Kepala Kantor Administrasi Presiden, Jaksa Agung, Komisi, Kepala Lembaga Intelijen Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri serta Menteri Pertahanan Republik Kazakhstan. Sementara itu MR adalah lembaga konsultasi di bawah presiden yang menaungi seluruh kelompok etnis yang tinggal di Kazakhstan.
Dengan jabatannya di kedua lembaga tersebut serta kedekatannya dengan presiden terpilih hasil pemilu 2019, Kassym-Jomart Tokayev, tak heran banyak anggapan yang muncul, khususnya dari pihak oposisi, bahwa sebenarnya Nazarbayev-lah yang mengatur kebijakan pemerintah dari balik layar. Apalagi mereka juga berasal dari partai yang sama, Nur Otan, yang sudah berkuasa sejak pendiriannya pada 1999. Selain itu, persepsi tersebut juga muncul karena masyarakat tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan di negara tersebut pasca-aksi demonstrasi yang berlangsung selama 2018-2020 dan menyebabkan Nazarbayev mundur dari kursi presiden setelah berkuasa selama 28 tahun.
Hal tersebut merupakan salah satu fenomena unik yang terjadi di negara-negara eks Soviet di Asia Tengah (plus Rusia dan Belarusia). Satu orang dapat berkuasa dalam jangka waktu yang lama dan perlahan membangun kultus individu karena tidak ada pembatasan masa jabatan lembaga eksekutif, akibat seringnya terjadi perubahan konstitusi yang memberikan keleluasaan untuk terus berkuasa. Contohnya kita bisa lihat lewat Nazarbayev (28 tahun menjabat), Islam Karimov (Uzbekistan, 26), Saparmurat Niyazov dan Gurmanguly Berdimuhamedov (16 dan 14), Emomali Rakhmon (Tajikistan, 28), Askar Akayev (Kirgizstan, 15), Aleksander Lukashenko (Belarusia, 27) dan Vladimir Putin (Rusia, 21 tahun presiden dan 4 tahun perdana menteri).
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, stabilitas pembangunan pasca-berpisah dari rezim komunis Uni Soviet berusaha dicapai lewat pemerintahan yang tidak bergonta-ganti. Beberapa negara berhasil, meski masih tertinggal jauh dari negara-negara Baltik. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa “tradisi” tersebut harus mengorbankan hal lain yang juga fardhu, yakni pemenuhan HAM, pers yang bebas, pemilu yang jujur dan adil serta kebebasan untuk berekspresi yang hingga kini masih menjadi PR utama negara-negara tersebut. Khusus Nazarbayev, protes massal pada awal tahun ini sepertinya akan menjadi akhir baginya untuk berada di lingkaran kekuasaan.
Kazakhstan di Ambang Revolusi?
Pengalaman selama berada di bawah rezim Nazarbayev tentu melekat erat di antara mereka yang turun ke jalan di kota-kota utama Kazakhstan. Pemerintahannya yang dinilai otoriter, KKN, serta ketiadaan pers dan hak berpendapat yang bebas, adalah identitas yang seakan sudah melekat pada sang Elbasy. Mereka tentu berharap akan ada perubahan yang signifikan bersama Tokayev, yang sejauh ini dianggap tidak berhasil. Oleh karena itu, selain tuntutan untuk membatalkan kenaikan harga LPG, demonstran juga menginginkan pergantian pemerintahan serta lengsernya Nazarbayev dari lingkaran kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Keinginan rakyat Kazakhstan tersebut sudah terpenuhi sejak Tokayev membatalkan keputusan kenaikan harga gas dan mengambil alih kepemimpinan DKK pada 5 Januari 2022. Selain itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban, Perdana Menteri Askar Mamin juga sudah mundur di hari yang sama. Namun, hal tersebut nampaknya tidak mampu menghentikan gelombang aksi protes dan malah semakin meluas dan tidak terkendali.
Aksi massa yang dijawab dengan tindakan represif aparat keamanan, seolah menjadi bensin yang terus disiramkan ke api unggun. Ditambah lagi, demonstran juga terus menuntut agar ada keputusan politik untuk mengembalikan konstitusi Kazahkstan ke bentuknya yang pertama pada 1993, di mana salah satu isu utamanya adalah aturan tentang pembatasan masa jabatan presiden. Hingga kini, diskusi mengenai hal tersebut sepertinya belum menemukan titik terang.
ADVERTISEMENT
Untuk meminimalkan konflik, Tokayev menetapkan keadaan darurat, khususnya di Janaozen dan Almaty yang efektif berlaku mulai 5 Januari hingga 19 Januari 2022. Selama masa darurat tersebut, pemerintah akan memberlakukan jam malam (23.00 s.d. 07.00), pembatasan mobilitas sekaligus pelarangan untuk berkumpul di ruang publik. Selain itu, hingga 9 Januari 2022, rezimnya membatasi akses ke berbagai situs pemerintah dan media massa Kazakhstan dengan domain “.kz”. Hal yang sama juga dilakukannya terhadap media sosial seperti Whatsapp, Viber dan Telegram. Oleh karena itu, nampaknya kita masih akan kesulitan untuk mengetahui informasi-informasi terbaru nan berimbang dari Kazakhstan.
Terkait kerusuhan yang terus terjadi, hingga 10 Januari 2022, aparat keamanan Kazakhstan sudah menahan hampir 6.000 orang peserta aksi dan orang-orang yang dianggap sebagai provokator kerusuhan. Sementara itu, menurut laporan terbaru Kementerian Kesehatan, korban tewas dari kerusuhan ini sudah mencapai 164 orang. Eskalasi kekerasan sudah jauh melebihi peristiwa protes serupa yang terjadi di Kazakhstan selama 2018 sampai dengan 2020. Dan melihat situasi saat ini, sangat mungkin angka-angka tersebut terus bertambah.
Sesuai permintaan Presiden Tokayev yang merasa bahwa kerusuhan tersebut didalangi oleh “organisasi teroris” asing, tentara dari Collective Security Treaty Organization (CSTO) sudah masuk ke Kazakhstan. Organisasi tersebut dibentuk pada 1992 oleh beberapa negara bekas Uni Soviet di Kota Tashkent, Uzbekistan. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga keamanan dan stabilitas regional Asia Tengah dan Eurasia. Saat ini, yang menjadi Sekretaris Jenderal CSTO adalah Stanislav Zas dari Belarusia. Sejak 6 Januari 2022, sudah ada sekitar 2500 tentara yang dikirim ke Kazakhstan dari Rusia (1950 tentara), Armenia (100), Belarusia (100), Tajikistan (200), Kirgyzstan (150).
ADVERTISEMENT
Keberadaan pasukan asing di Kazakhstan tentu menjadi perhatian serius dunia internasional, khususnya Barat. Pertanyaan mengenai sejauh mana peran mereka dalam konflik domestik ini pun mengemuka ke permukaan. Apalagi, sepanjang sejarah berdirinya, CSTO tidak pernah melibatkan tentaranya dalam konflik dalam negeri negara-negara anggotanya. Posisi Kazakhstan yang sangat strategis bagi tetangganya, tentu menjadi pertimbangan utama bagi CSTO untuk masuk. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap negara CSTO juga memiliki kepentingan untuk mengamankan investasi dan aset strategisnya di sana, terutama Rusia, dalam hal uranium dan Kosmodrom Baikonur.
Berdasarkan kondisi terkini di Kazakhstan yang masih mencekam, sepertinya masih sulit untuk menerka akhir dari konflik dalam negerinya. Tidak tertutup kemungkinan terjadinya revolusi yang jauh lebih berdarah. Namun, sebagai bagian dari masyarakat internasional, sudah seharusnya kita berharap bahwa apa yang sedang terjadi di sana segera menemukan penyelesaiannya. Setelah itu, barulah kita melihat wajah seperti apa yang hendak ditampilkan oleh Kazakhstan. Apakah akan perubahan menyeluruh di segala aspek kehidupan bangsanya? Atau, tetap berputar di lingkaran yang sama? Kita tunggu saja!
ADVERTISEMENT