Hikayat Konglomerat Penerima Obligasi Rekap

Konten dari Pengguna
23 Agustus 2017 18:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Iskandar Bait tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Diam-diam kebijakan pemerintah atas restu IMF di masa krisis tahun 1998 yang ngetop disebut kebijakan Obligasi Rekapitalisasi perbankan menunjukkan hasil spektakuler. Sebanyak 9 (sembilan) bank penerima Obligasi Rekap sejak tahun 2015 lalu telah menjelma menjadi raksasa-raksasa di industri keuangan. Bank-bank itu adalah Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, Danamon, BII, CMIB Niaga (hasil merger Bank Lippo dan Niaga), Bukopin dan Permata. Bank Mandiri misalnya menjadi bank yang memiliki asset terbesar di Indonesia yaitu Rp 914,09 triiun (per juni 2015). Kondisi ini disusul asset BRI yang mencapai Rp 773,31 triliun. Ke-9 bank tersebut telah beranak-pinak dari cuma satu perusahaan perbankan saja menjadi satu atau beberapa anak usaha perbankan, asuransi, sekuritas, multi finance dan lain-lain yang notabene membentuk suatu konglomerasi industri keuangan. Bank-bank tersebut bagian dari 50 konglomerasi keuangan yang beberapa waktu lalu diumumkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang menguasai 70 persen asset industri keuangan Indonesia atau Rp 6.300 triliun dari total asset Rp 9.000 triliun.
ADVERTISEMENT
Bila kita membuka lembaran sejarah, ke-9 bank penerima Obligasi Rekap tersebut tadinya adalah bank-bank yang notabene mati suri atau bangkrut karena modalnya minus akibat pengelolaan perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, perusahaan dikelola dengan cara sembrono, mengelola perusahaan seperti mengelola toko kelontong ditambah tajamnya kejatuhan rupiah terhadap dollar, sehingga terjadi krisis keuangan tahun 1997/1998 yang memporak porandakan sendi-sendi perekonomian bangsa.Kondisi bangkrutnya bank-bank ini membuat semua bank tidak bisa berperan melaksanakan fungsi intermediasi, transmisi kebijakan moneter dan penunjang sistem pembayaran. Injeksi dana yang diberikan oleh pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang) menjadi penyelamat bank-bank tersebut. Lambat laun bank yang mati suri tersebut bangkit dan beroperasi kembali hingga kinerjanya bersinar seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Tulisan singkat ini akan mengajak pembaca untuk melihat kembali seputar masalah Obligasi Rekap perbankan dari sisi analisa kebijakan publik, terutama dampak Obligasi Rekap terhadap kinerja perbankan dan APBN. Kebijakan tersebut secara langsung merupakan nasihat IMF pada pemerintah saat krisis 1997/1998.
Kontroversi Konglomerasi
Bank Mandiri sebagai bank penerima biaya rekap paling besar (Rp 176, 8 triliun) kini memiliki anak usaha 3 buah bank, 2 perusahaan sekuritas, 3 perusahaan asuransi dan 1 perusahaan pembiayaan.
Bank BNI, bank nomor dua yang mendapat biaya rekap sebesar Rp 62,4 triliun memiliki anak usaha 2 buah bank, 2 perusahaan sekuritas, satu perusahaan asuransi dan satu perusahaan pembiayaan.
BCA sebagai bank yang menempati peringkat ketiga dalam penerimaan Obligasi Rekap dan menjadi bank swasta yang mendapat biaya rekap tertinggi (Rp 60,039 triliun), kini memiliki 2 anak perusahaan bank, 1 perusahaan sekuritas, 2 perusahann asuransi dan 2 perusahaan pembiayaan.
ADVERTISEMENT
Urutan penerima biaya rekap selanjutnya adalah Danamon (Rp 47 triliun), BRI ( Rp 28,9 triliun), CMIB Niaga sebagai gabungan Bank Lippo dan Niaga (Rp 15 triliun), Permata (Rp 11 triliun) dan Bukopin (Rp 449 miliar). Untuk kepemilikan anak usaha bank-bank rekap tersebut bisa dilihat di tabel konglomerat.
Ada beberapa aspek kontroversial yang mewarnai perkembangan program rekapitalisasi perbankan di masa-masa awal.Pertama, program tersebut mendapat kritik masyarakat luas karena menjadi tangga pihak asing menguasai industri perbankan nasional. Berturut-turut kita saksikan BCA, Danamon, BII, Lippo dan Niaga yang menjadi CIMB Niaga berganti kepemilikan menjadi milik asing. Hebohnya penjualan saham BCA yang dijual ke asing senilai Rp 10 triliun tapi di dalamnya memiliki tagihan bunga rekap ke pemerintah Rp 60 triliun ikut mewarnai sisi kontroversial tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, minimnya bank rekap melakukan kontribusi kredit yang bisa dilihat dari kecilnya angka LDR (Loan to Deposit Ratio) yang berarti perbandingan antara dana pihak ketiga dan kredit yang disalurkan. LDR Bank mandiri dan BCA misalnya sepanjang tahun 2000-2009 rata-rata di bawah 50 persen.
Ketiga, aspek yang paling menghebohkan dari program rekapitalisasi perbankan adalah dana tersebut bersumber pada APBN yang artinya dana program tersebut berasal dari pajak masyarakat.Tak heran ada beberapa kalangan yang menilai program rekap perbankan sebagai fenomena rakyat membiayai konglomerat. Dalam konteks ini penulis bolak balik membaca literatur teori makro ekonomi, dari sejak jamannya John Maynard Keynes (1930-an) belum ada kasus seperti di Indonesia dimana pengeluaran APBN dialokasikan untuk menyubsidi pengusaha besar yang berasal dari uang pajak rakyat.
ADVERTISEMENT
Berapakah jumlah dana yang telah dibayarkan pemerintah untuk bunga obligasi rekap? Penulis mengestimasi, pembayaran bunga Obligasi Rekap yang sudah dibayar pemerintah sejak anggaran tahun 2000 sampai 2015 besarnya minimal Rp 1000 triliun. Artinya rakyat telah membiayai konglomerat sebanyak kurang lebih Rp 1000 triliun sepanjang 15 tahun ini.Jumlah yang sangat fantastis di tengah himpitan kemiskinan sebagaian besar masyarakat. Sepanjang tahun 2010-2015 saja, pembayaran bunga Obligasi Rekap (bunga utang dalam negeri) bervariasi antara Rp 61 triliun,Rp 66,8 triliun, Rp 70,2 triliun, 98,7 triliun, Rp 120,6 triliun dan Rp 141,2 triliun. Dana sebesar itu bisa untuk membiayai proyek infrastruktur, pembiayaan sektor pertanian atau perikanan atau mensubsidi para pengusaha kecil.
Berdasarkan diskusi penulis dengan seorang ahli obligasi, dengan ciri khas APBN kita yang defisit, maka di tahun-tahun mendatang pemerintah akan selau menunda pembayaran utang Obligasi Rekap (reprofilling). Jadi bila kita sudah menunda pembayaran utang selama 2004-2009 menjadi 2040, ada kemungkinan reprofilling baru menjadi 2060,2080, 2100 dan seterusnya. Ahli obligasi ini juga mengatakan belum ada jalan keluar dari permasalahan Obligasi Rekap karena nampaknya kebijakan ini menyandera pemerintah sehingga melumpuhkan kebijakan fiskalnya (tidak bisa menjadi penggerak pembangunan).
ADVERTISEMENT
Untuk itulah agar jangan sampai rakyat Indonesia membiayai konglomerat sampai hari kiamat dan kondisi APBN terus berkepanjangan tak mampu jadi penggerak roda pembangunan, masyarakat berharap kepada pemerintah sekarang, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani yang saat ini dibikin pusing oleh ketatnya budget RAPBN serta pusingnya gali lubang tutup lobang membayar utang luar negeri dan utang dalam negeri. Karena pembayaran bunga obligasi yang sebesar Ro 70 triliun tiap tahun harus dihentikan karena berdampak pada lumpuhnya APBN dalam menggerakkan pembangunan.Masyarakat sangat menunggu keberanian Sri Mulyani untuk membicarakan inii kepada Presiden Jokowi.Juga kepada Menko Perekonomian Darmin Nasution masyarakat berharap Darmin dan Sri Mulyani mencabut Peraturan pemerintah (PP) soal obligasi rekap dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia terkait rekapitalisasi. Agar jangan sampai terjadi terus menerus penghisapan darah rakyat oleh konglomerat.
ADVERTISEMENT
Dimuat di Bisnis Indonesia edisi hari Senin 21 Des 2015 dengan judul "Kontroversi Obligasi Rekap."
Link: http://koran.bisnis.com/.../bisnis-indonesia-headline-edisi-cetak-senin-2112201
Ahmadiskandarbait.blogspot.co.id