Pertumbuhan dan Pemerataan

Konten dari Pengguna
12 Februari 2018 10:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Iskandar Bait tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis target pertumbuhan ekonomi nasional 2018 sebesar 5,4 persen bisa tercapai. Hal ini ditegaskan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pada saat pertemuan tahunan OJK dengan pelaku industri keuangan pada 18 Januari 2018 yang lalu.
ADVERTISEMENT
"OJK komit untuk meningkatkan peran sektor jasa keuangan dalam memacu pertumbuhan, dengan tetap menjaga kesinambungan berbagai kebijakan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan", kata Wimboh.
Bukan itu saja. Sebagai salah satu prasyarat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, OJK juga menyatakan akan membantu pemerintah mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh lapisan masyarakat khususnya lapisan masyarakat menengah dan kecil.
Pemerataan
Dalam literatur, bila merujuk hasil riset legendaris tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang dilakukan Simon Kuznet dan Michael P.Thodaro, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan di banyak negara cenderung
memburuk. Namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Artinya hampir di banyak negara, pada setiap awal pembangunannya berorintasi agar ekonominya tumbuh dulu. Setelah itu baru diratakan penyebarannya.
ADVERTISEMENT
Dan mengukur distribusi pendapatan biasanya dengan koefisien gini (Gini Ratio), yaitu satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.
Di Indonesia, berdasarkan data BPS Indeks Gini Ratio pada 2017 mencapai 0,393 turun sedikit dibandingkan 2016 yang sebesar 0,397. Ini sebagai pertanda tingkat ketimpangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah (<0,4). Kategori sedang ada pada angka 0,4-0.5 dan ketegori ketimpangan tinggi atau parah bila >0,5. Bandingkan dengan angka pada September 2014, angka tertinggi, ada pada 0,414.
Namun demikian, tren jangka panjang yang merupakan ukuran yang lebih bisa diterima ternyata memburuk dan menunjukkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. “Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan ;yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand", tulis Faisal Basri.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut LSM Oxfam (Feb 2017) Indonesia adalah negara dengan ketimpangan kekayaan ke-6 terburuk sedunia. Yaitu 4 orang terkaya di Indonesia punya kekayaan setara 100 jt orang.
Dalam hal tanah, rasio GINI TANAH menunjukkan ketimpangan luar biasa.
Menurut Katadata, 68% tanah dikuasai oleh hanya 1% penduduk Indonesia.
Kasus reklamasi pantai Jakarta dan kasus Meikarta adalah salah satu dampak negatif dari begitu berototnya wajah konglomerat di pentas ekonomi politik anah air kita.
Kebijakan Timpang
KALAU dicermati kebijakan pembangunan di Indonesia selama lima puluh tahun ini khususnya sejak Orde Baru sampai sekarang (1967-2017), sebenarnya relatif tidak berubah. Yaitu pro utang luar negeri, pro investor asing, pro Lembaga Internasional, pro pemodal, pro orang kaya dan diwarnai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga kapitalisme yang dikembangkan cenderung capitalisme crony.
ADVERTISEMENT
Sementara urusan nasib orang miskin diserahkan ke mekanisme trickle down effect(efek menetes ke bawah). Kenyataan yang terjadi bukan menetes kebawah tapi manfaat pertumbuhan justru mengalir keatas terus dan membuat orang kaya semakin kaya dan yang miskin makin miskin.
Kita bisa bagi perkembangan Indonesia dalam tiga tahap yaitu periode sebelum krisis 1997/1998, periode krisis dan periode sesudah krisis. Meski dalam siklus ekonomi ada beberapa kali krisis ekonomi, namun penulis sengaja mengambil krisis 1997/1998 sebagai patokan karena krisis tersebut menjadi krisis terhebat dalam sejarah ekonomi Indonesia di masa Orde Baru. Krisis moneter, krisis ekonomi yang berkembang jadi krisis politik telah meruntuhkan kekuasaan Soeharto saja selaku penguasa Orde Baru.
Salah satu kebijakan Orde Baru sebelum krisis adalah kebijakan yang sangat pro konglomerat di pelbagai bidang baik kebijakan di bidang perbankan, moneter, perdagangan, pasar modal dan lain-lain. Sebuah sindiran terhadap prilaku diskriminatif pemerintah yang lebih pro konglomerat ketimbang Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah: “ketika usaha konglomerat masih kecil disusui oleh bank-bank BUMN, mulai besar dapat fasilitas memiliki bank lewat kebijakan BI mempermudah kepemilikan bank dalam Pakto’88 sehingga bisa membiayai usahanya dari dana perbankan milik sendiri, serta ketika usahanya makin membesar lagi lewat pasar modal pemerintah memberi kesempatan para konglomerat meraup dana murah melalui penawaran saham mereka ke masyarakat.”
ADVERTISEMENT
Ciri lain pembangunan di era sebelum krisis adalah Indonesia menerapkan prinsip washington Consensus yang berwatak neo liberal dan berupaya mengedepankan peranan mekanisme pasar serta menghilangkan peran pemerintah.
Awal tahun 1970 dan 1980 gabungan utang luar negeri, investasi asing,liberalisasi perbankan dan booming minyak bumi berhasil membuat ekonomi tumbuh rata-rata 7% tiap tahun. Memasuki tahun 1990-an seiring berkurangnya kontribusi ekonomi minyak terhadap APBN, gabungan utang luar negeri, investasi asing dan liberalisasi perekonomian membawa pertumbuhan tetap tinggi. Sayang liberalisasi perekonomian tanpa penguatan struktur ekonomi domestik ini menciptakan bolong luar biasa dalam perekonomian Indonesia.
Lalu lintas devisa bebas, cadangan devisa rendah, defisit transaksi berjalan yang tinggi dan melepas pergerakan rupiah sesuai mekanisme pasar membuat nilai tukar rupiah sangat rapuh ketika dihantam gelombanvroomg penularan krisis Bath Thailand. Krisis rupiah tersebut menciptakan krisis perbankan, krisis ekonomi dan krisis politik.
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya yang terjadi saat Indonesia dilanda krisis ekonomi 1997-1999? Sebagai lembaga konsultan dan donor Dana Moneter Internasional (IMF) justru merekomendasikan sejumlah program Washington Consensus yang bercirikan liberalisasi dari seluruh perekonomian indonesia. Kalau tadinya liberalisasi saat sebelum krisis masih samar-samar dan terkesan malu-malu, maka di saat krisis semuanya diliberalisasi total.
Semua sektor perekonomian dibuka 100% sehingga siapapun bisa masuk ke perekonomian domestik, sehingga ekonomi Indonesia termasuk ekonomiyang paling liberal di dunia. Kebijakan yang terjadi dimasa krisis ini memiliki implikasi jangka panjang dalam perekonomian nasional.
Di masa sesudah krisis, seorang ekonom dari IPB pernah menulis, ratusan kebijakan Indonesia di tahun-tahun awal 2000 bercirikan kebijakan neo liberal. Liberalisasi total dimasa krisis dan sesudah krisis menjadi bukti penjelas tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia di tahun-tahun 2010-2015.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, ekonomi Indonesia sulit sembuh dari krisis. Bahkan anehnya, para konglomerat yang bangkrut akibat krisis 1997/1998 secara bergerilya mencoba bangkit sejak jaman Habibie, Gus Dur,Megawati, SBY dan era Jokowi bahkan kini sudah lebih kaya dari pada jaman sebelum krisis.
Jurus
OJK menggunakan kebijakan peningkatan literasi dan inklusi keuangan sebagai wujud pemerataan prmbangunan ditambah pendirian bank wakaf syariah.
Menurut penulis, langkah tersebut perlu diback up dan diperkuat pemerintah dengan kebijakan pemerataan yang komrehensif, antara lain:
Pertama, pemerintah perlu melakukan suatu kebijakan yang revolutif terkait ketimpangan pertanahan nasional. Kebijakan ini bisa berdampak positif terhadap nasib petani jika pemerintah mengambil kebijakan membeli kepemilikan tanah konglomerat dan menjual pada petani dengan subsidi yang sangat miring.
ADVERTISEMENT
Kedua, minimal 35 persen Asset konglomerat yang sudah begitu timpang dibeli pemerintah dan ditampung dalam lembaga wakaf untuk nantinya dilelang dengan subsidi ke usaha menengah kecil. Hal ini untuk mencegah dampak sosial dari tajamnya ketimpangan.
Ketiga, pemerintah lebih mendorong lagi kebangkitan lembaga keuangan syariah serta pemerintah mendorong tumbuhnya kewira usaha di berbagai daerah.
Keempat, pemerintah harus lagi sektor2 sektor2rnah diliberalisasi IMF.
Terakhir, kelompok mengaturmasyarakat miskin yang ada di kalangan petani, nelayan dan buruh dibikin program pemberdayaan khusus yang terkait pengambil alihan tanah dan asset konglomerat.
Kelompok miskin para gelandangan dan pengemis dikasih program khusus yang memberdayakan mereka. (Ahmad Iskandar Bait)