Konten dari Pengguna

Kedatangan Paus dan Kepergian Faisal Basri: Sebuah Refleksi Moral

Ahmad Jilul Qur'ani Farid
Direktur Eksekutif Sekolah Kepemimpinan Publik (SKP)
5 September 2024 18:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Jilul Qur'ani Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia tengah menerima kunjungan agung dari Paus Fransiskus. Seperti biasa, kedatangan pemimpin dunia, terutama tokoh keagamaan sebesar Paus, menjadi peristiwa besar yang dirayakan secara meriah. Prosesi penyambutan dilakukan dengan rapi dan gemerlap, disiarkan ke seluruh negeri, dipenuhi senyum dan sambutan penuh hormat dari pejabat hingga masyarakat. Namun, di balik keramaian itu, kehadiran Paus tampaknya menyentil, atau lebih tepatnya menampar halus wajah moralitas bangsa kita yang penuh dengan kepalsuan.
ADVERTISEMENT
Paus datang bukan hanya sebagai sosok religius yang berbicara tentang surga, dosa, dan keselamatan. Agendanya lebih dalam dari sekadar ceramah moral di atas mimbar. Paus berbicara untuk mereka yang sering dilupakan: kaum miskin, tertindas, terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang sering kali menguntungkan segelintir orang saja. Ia tak hanya bicara soal iman, tetapi juga tentang kesadaran kelas, tentang ketidakadilan struktural yang telah lama meracuni masyarakat. Paus tak hanya berkhotbah tentang kebaikan abstrak, tapi tentang perjuangan konkret bagi mereka yang terpinggirkan. Dalam pandangannya, moralitas bukan soal berdoa dan bersikap baik secara personal, tapi soal menciptakan keadilan di bumi.
Paus Fransiskus datang ke Indonesia dengan pesan yang menggugah: “Ketegangan dan kekerasan muncul ketika mereka yang berkuasa memaksakan visinya, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya dibiarkan otonom bagi individu atau kelompok.” Di hadapan Presiden Jokowi, Paus mengingatkan kita tentang ketidakadilan sosial yang terus mengakar, ketimpangan yang tumbuh subur meskipun kebijakan negara terlihat mengesankan di atas kertas.
Paus Fransiskus didampingi Presiden Jokowi menyampaikan pidato saat melakukan pertemuan dalam kunjungannya ke Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/9/2024). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Namun, apakah kita mendengarkan? Tentu tidak. Kita terlalu sibuk dengan seremoni, terlalu fokus pada kulit luar dari kedatangan Paus. Seremoni, outfit, dekorasi panggung, protokoler, pidato formal, semua dilakukan dengan sempurna. Tapi, substansi dari pesan Paus? Entah tertinggal di mana. Mungkin tersembunyi di balik tumpukan protokol, tertindih oleh kebisingan tepuk tangan pejabat yang lebih sibuk mengamankan citra mereka daripada memperjuangkan keadilan yang sebenarnya. Barangkali, moralitas kita kini tak lebih dari sebuah topeng seremonial; hanya indah dilihat, namun kosong di dalam.
ADVERTISEMENT
Seperti sebuah topeng, moralitas kita berfungsi hanya sebagai aksesoris. Penegakan kebenaran dan perlawanan terhadap ketidakadilan, yang seharusnya menjadi inti dari moralitas itu, telah lama terlepas dari fungsinya. Kita, sebagai bangsa, tampaknya lebih nyaman hidup dalam kepura-puraan, berpura-pura bahwa dengan menyambut Paus, kita seolah telah menghidupkan moralitas kita. Padahal, moralitas kita mungkin sudah jauh melayang, seperti halnya kepergian Faisal Basri yang baru saja meninggalkan kita.
Faisal Basri adalah contoh langka dari seseorang yang hidup dengan komitmen terhadap keadilan. Ia bukan hanya ekonom, tapi seorang pejuang dalam arti yang sebenarnya. Selama hidupnya, Faisal tak henti-hentinya bersuara melawan ketidakadilan ekonomi di Indonesia. Ia tak segan mengkritik kebijakan-kebijakan yang menurutnya memperburuk ketimpangan, menyerang monopoli ekonomi yang hanya memperkaya segelintir elite. Faisal melihat dengan jernih bahwa ketidakadilan ekonomi bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari pelanggengan sistem yang secara struktural disengaja timpang.
Ekonom Faisal Basri dalam program Diptalk kumparan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Lewat kepakarannya, Faisal menyatakan bahwa ekonomi adalah medan pertempuran yang sesungguhnya: pertarungan antara kepentingan pemodal besar dan kesejahteraan rakyat. Ia mengingatkan bahwa ketimpangan bukan hanya soal angka di atas kertas, tapi soal kehidupan nyata dari jutaan orang yang terperosok dalam kemiskinan akibat kebijakan yang berpihak pada kekuatan kapital. Melalui perjuangannya, Faisal memaksa kita melihat kenyataan yang kerap kita abaikan: bahwa di balik setiap keputusan ekonomi, ada jutaan jiwa manusia yang terpengaruh penghidupannya. Tapi, seperti biasa, kita sering kali memilih untuk tidak mendengar. Kritik tajamnya diterima sekadar sebagai "kegaduhan", tanpa refleksi mendalam.
ADVERTISEMENT
Kepergian Faisal Basri seharusnya menyadarkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak bisa terus diabaikan. Paus, dengan misinya membela kaum termarjinalkan, dan Faisal, dengan keberaniannya melawan penindasan ekonomi, memberikan kita pelajaran penting: moralitas bukanlah barang mewah yang dipajang di acara seremonial. Ia harus berfungsi sebagai pisau tajam yang menegakkan kebenaran, tak peduli seberapa sakit ia menggores kerusakan sistemik yang boleh jadi telah menyatu dalam diri kita.
Paus akan segera pergi, sementara Faisal Basri telah pergi selamanya dari bumi pertiwi. Namun, sebelum mereka benar-benar jauh dari ingatan kita, barangkali sudah saatnya kita bertanya: akankah moralitas kita ikut pergi bersama mereka? Atau akankah kita, sebagai bangsa, mulai serius mengembalikan moralitas ke tempatnya semula?
ADVERTISEMENT
Belajar dari Paus yang memperjuangkan nasib mereka yang tertindas, dan belajar dari Faisal Basri yang berani melawan sistem yang timpang, kita harus kembali menghidupkan moralitas yang bukan sekadar seremoni, melainkan perjuangan untuk kebenaran dan keadilan. Sebab, tanpa itu, bangsa ini seperti kapal besar namun kehilangan arah. Terus berlayar tapi tak pernah menyentuh esensi perjuangan moral. Kita terlena dalam pelayaran tanpa arah, sementara kebenaran dan keadilan terombang-ambing karena ketiadaan kompas moral.