Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Watak Kolonialisme: Antara Arsitektur Istana dan Struktur Ekonomi Kita
15 Agustus 2024 14:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Jilul Qur'ani Farid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan Presiden Jokowi tentang Istana Negara yang “bau-bau kolonial” mengundang banyak perhatian. Ia merasakan aroma sejarah kolonial yang tertinggal di istana negara di Bogor dan Jakarta, sebuah simbol yang menurutnya sudah saatnya ditinggalkan. Dalam narasi itu, Ibu Kota Nusantara (IKN) diharapkan menjadi babak baru, menjauh dari peninggalan kolonial. Namun, apakah kita sadar bahwa ada "bau kolonial" yang lebih nyata dan berbahaya dalam struktur ekonomi kita?.
ADVERTISEMENT
Hari ini, ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi oleh warisan kolonial, terutama dalam bentuk ketergantungan pada ekspor bahan mentah. Pada masa kolonial, Belanda dengan VOC menjajah negeri ini untuk memperoleh komoditas seperti gula, karet, dan rempah-rempah, yang sebagian besar diekspor ke Eropa untuk memperkaya perekonomian mereka. Pola ini harus diakui berlanjut hingga sekarang, di mana watak pembangunan kita, mulai dari beragam infrastruktur yang dibangun, regulasi, hingga insentif bagi investasi, diarahkan agar mendukung secepat mungkin bahan mentah seperti minyak kelapa sawit, batu bara dan mineral lain bisa dibawa ke luar negeri, sementara produk-produk dengan nilai tambah tinggi masih diimpor dari Cina dan negara maju lainnya.
Data menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO) sangat jauh jaraknya ketimbang ekspor hasil olahannya (Refined Palm Oil). Data terbaru pada 2023, ekspor CPO (Crude Palm Oil) menyumbang sekitar 59,64% dari total ekspor minyak sawit dengan volume 32,21 juta ton, sedangkan ekspor Refined Palm Oil menyumbang sekitar 40,36% dengan volume 21,8 juta ton. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum berhasil lepas dari model ekonomi kolonial yang hanya mengandalkan ekspor bahan mentah.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ekonomi semakin mencolok dengan adanya kasus-kasus kemiskinan ekstrem di tengah pembangunan infrastruktur yang megah. Salah satu contoh yang mencolok adalah kematian seorang pengemudi ojek online bernama Darwin Mangudut Simanjuntak (49) yang meninggal karena kelaparan saat menunggu orderan baru-baru ini di Medan. Ironis sekali, ketika pemerintah menganggarkan puluhan triliun rupiah untuk membangun istana baru di IKN serta puluhan miliar untuk menggelar upacara di sana, ada rakyat yang mati karena tidak mampu membeli sepiring nasi. Ini adalah potret ketimpangan yang nyata di tengah gegap gempita pembangunan di era Jokowi.
Ketimpangan ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga di daerah pedesaan. Reforma agraria yang seharusnya menjadi solusi untuk redistribusi tanah dan kesejahteraan petani, hingga kini masih berjalan lambat. Data Kementerian ATR/BPN tahun 2022 menunjukkan bahwa dari target redistribusi 9 juta hektar tanah, baru sekitar 4,5 juta hektar yang berhasil didistribusikan. Sementara itu, lahan-lahan subur di banyak daerah masih dikuasai oleh segelintir konglomerat dan perusahaan besar, meninggalkan petani kecil tanpa akses ke sumber daya yang memadai.
Pemerintah seringkali membanggakan pertumbuhan ekonomi yang impresif, tetapi pertumbuhan ini belum merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Bank Dunia dalam laporannya pada tahun 2020 mencatat bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengatasi ketimpangan ekonomi, dengan Gini ratio yang bertahan di angka 0,38. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih sangat lebar, data OXFAM menyebut harta 1 orang terkaya setara harta 25 juta rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Watak ekonomi kolonial tersebut ditopang oleh watak kepemimpinan yang juga masih amat kolonial; pemusatan konsolidasi kekuasaan untuk kepentingan segelintir elite, bukan untuk kepentingan rakyat. Jika para penjajah kolonial dahulu memusatkan kontrol atas ekonomi dan hukum untuk mengamankan kekayaan mereka di tanah jajahan. Demikian pula, hari ini kita melihat konsolidasi kekuasaan di ranah eksekutif, legislatif, hingga yudikatif diatur sedemikian rupa untuk kepentingan penguasa. Dengan watak kepemimpinan demikian, eksploitasi kekayaan alam di Indonesia tak berdampak banyak untuk kemakmuran rakyat dan hanya jadi bancakan para elite yang berburu rente.
Memang benar, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi telah mencoba mengubah pola ekonomi ini dengan mendorong hilirisasi industri dan melarang ekspor bahan mentah tertentu seperti nikel. Namun, upaya ini belum cukup untuk menghapuskan warisan kolonial yang tertanam dalam struktur ekonomi kita. Apalagi sama sekali tak diikuti dengan perbaikan tata kelola yang benar dan bersih. Belum lagi kita ditampar dengan skandal ekspor nikel ilegal yang kini sedang diusut KPK. Maka apa yang dibutuhkan ke depan adalah kebijakan yang lebih radikal dan menyeluruh, termasuk redistribusi kekayaan melalui pajak progresif, peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, serta percepatan reforma agraria.
ADVERTISEMENT
Jelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, kita perlu bertanya: Apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun benar-benar membawa kita keluar dari cengkeraman kolonialisme? Jika struktur ekonomi kita masih mencerminkan ketergantungan dan ketimpangan yang diwariskan oleh kolonialisme, maka bisa dikatakan bahwa kita belum sepenuhnya merdeka.
Pemerintah harus lebih serius dalam menangani ketimpangan ini dengan mencari cara-cara baru untuk meredistribusi kekayaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempercepat implementasi reforma agraria yang lebih adil dan efektif. Dan redistribusi lahan kepada petani kecil bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi.
Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih progresif perlu diterapkan untuk memastikan bahwa kekayaan nasional tidak hanya menumpuk di tangan segelintir orang. Pajak yang lebih tinggi untuk konglomerat dan korporasi besar, serta alokasi anggaran yang lebih besar untuk program-program sosial, dapat menjadi langkah jangka pendek untuk mengurangi ketimpangan. Di samping merencanakan peta jalan jangka panjang untuk pembangunan ekonomi yang berorientasi pada investasi, hilirisasi dan industrialisasi yang berkeadilan. Bukan sekadar klaim bodong dalam UU Cipta Kerja yang justru membuat rakyat semakin sengsara. Lalu menjaganya dengan tata kelola kekuasaan yang bersih, partisipatif, transparan dan akuntabel untuk kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Momentum Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan kembali arah pembangunan bangsa ini. Apakah kita hanya akan membangun monumen-monumen megah yang sekadar jadi simbol tak bermakna, ataukah kita akan membangun pondasi ekonomi yang benar-benar merdeka dan adil bagi seluruh rakyat?.
Kolonialisme bukan hanya soal arsitektur atau simbol-simbol fisik, tetapi juga tentang struktur kekuasaan, hukum dan ekonomi. Jika kita ingin benar-benar merdeka, maka kita harus berani membongkar warisan kolonial secara sistemik dan menggantinya dengan sistem yang lebih adil dan merata. Dengan begitu, kita tidak hanya merayakan kemerdekaan sebagai peristiwa sejarah, tetapi juga sebagai realitas yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ahmad Jilul QF, Direktur Eksekutif Sekolah Kepemimpinan Publik (SKP)
ADVERTISEMENT