Memahami Keserentakan Pemilu dan Pilkada 2024

Ahmad Jumadil
Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sarolangun
Konten dari Pengguna
19 September 2021 6:43 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Jumadil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilgub Jambi 2020
zoom-in-whitePerbesar
Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilgub Jambi 2020
ADVERTISEMENT
Suatu hari seorang teman bertanya, apa benar pemilu dan pilkada akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2024? Merasa senang dengan pengetahuannya dan ketertarikannya mengenai Pemilu saya mengangguk sambil tersenyum. Wah kalo benar dilakukan secara serentak bakal luar biasa banget kerjanya, ya? Pemilu 2019 saja banyak penyelenggara yang meninggal dunia. Apalagi pemilu dan pilkada dilakukan secara serentak?
ADVERTISEMENT
Percakapan di atas adalah ilustrasi yang saya bayangkan jika bertemu teman yang ingin tahu mengenai Pemilu dan juga sebagai gambaran bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap bahwa Pemilu dan Pilkada akan diselenggarakan pada hari yang sama. Artinya ada 7 jenis surat suara dan 7 kota suara yang akan mereka coblos.
Sampai saat ini belum banyak masyarakat yang mengetahui bahwa pemilu dan pilkada tidak dilaksanakan pada hari yang sama. Satu-satunya keserentakan Pemilu dan Pilkada ada pada tahun yang sama. Jika harus diuraikan, yang dimaksud dengan Pemilu dan Pilkada serentak 2024 ialah Pemilu serentak dan Pilkada serentak di tahun yang sama.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pemilihan kepala daerah yang disingkat Pilkada, menurut Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dan diubah terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati dan wali kota secara langsung dan demokratis.
Dengan kata lain keserentakan yang dimaksud adalah serentaknya pemilu legislatif yang terdiri dari DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota, pemilu eksekutif yaitu pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional di hari dan tanggal yang sama di seluruh Indonesia. Kemudian serentaknya pemilihan kepala daerah yaitu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di hari dan tanggal yang sama di provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
Mengapa Pemilu dan Pilkada tidak dilaksanakan di hari yang sama
ADVERTISEMENT
Banyak yang bertanya-tanya mengapa pemilu dan pilkada tidak dilaksanakan saja pada hari yang sama? kan banyak keuntungannya, seperti menghemat tenaga karena dalam menjalankan tahapan pemilu dan pilkada bisa jadi sekali jalan saja, menghindari kejenuhan pemilih yang harus datang berkali-kali ke TPS dan hemat biaya tentunya. Benarkah demikian?
Pemilu dan pilkada diatur dalam aturan yang berbeda. Pemilu diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Sedangkan Pilkada diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
Dalam pasal 167 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 diatur bahwa "Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara ditetapkan dengan keputusan KPU". Pasal 167 ayat (6) "Tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara". Pasal 167 ayat (7) menyatakan bahwa "Penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden".
ADVERTISEMENT
Di sisi lain dalam pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 menyatakan bahwa "Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan bulan November 2024".
Saat ini KPU, Kementerian Dalam Negeri, Bawaslu, dan DKPP bersama DPR telah mensimulasikan penyelenggaraan pemilu pada 28 Februari 2024 sedangkan Pilkada serentak disimulasikan pada 27 November 2024. Ada jarak sekitar 9 bulan antara hari pemungutan suara Pemilu dengan hari pemungutan suara Pilkada.
Penyelenggaraan pemilu dan pilkada bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana. Banyak elemen penting yang sangat menyita energi baik di penyelenggara pemilu, peserta pemilu, maupun masyarakat. Jika dipaksakan dilaksanakan bersamaan akan banyak dampak negatif yang ditimbulkannya.
ADVERTISEMENT
Bagi penyelenggara, keserentakan pemilu dapat berimbas negatif. Salah satunya adalah seperti insiden banyaknya petugas KPPS yang meninggal pada tahun 2019. Tercatat 895 meninggal dan 5.175 sakit akibat kelebihan beban. Belum lagi jumlah dan jenis logistik yang sangat banyak. Tanpa adanya pandemi COVID-19 saja jumlah dan jenis logistik terasa sangat banyak. Apalagi belum ada kepastian hingga tahun 2024 apakah COVID-19 ini akan berakhir. Karen APD yang diperlukan dalam pemilu untuk pelaksanaan protokol kesehatan juga sangat banyak jumlah dan jenisnya.
Bagi peserta pemilu, panjangnya tahapan pemilu dan pilkada akan terasa sangat melelahkan tahapan pemilu yang akan dijalani oleh peserta pemilu adalah pendaftaran parpol, pendaftaran caleg, kampanye pemungutan, penghitungan sampai dengan rekapitulasi penghitungan suara dan akan disusul kembali dengan tahapan pilkada. Tentunya tahapan ini akan menguras tenaga dan pikiran partai politik, calon legislatif, calon presiden maupun calon kepala daerah. Selain itu tahapan yang panjang akan menambah ongkos politik peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
Bagi masyarakat, intrik dan polemik selama kontestasi pemilu dan pemilihan sudah berulang kali dirasakan dari pemilu ke pemilu. Kini timbul kejenuhan dan turunnya kepercayaan publik pada proses demokrasi yang dijalani. Seyogyanya setelah pemilu dan pilkada harus ada masa tenggang untuk masyarakat memulihkan keletihan politik mereka terhadap isu politik yang saling beradu selama tahapan pemilu.
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pro Kontra Rezim Pemilu dan Pilkada
Awal mula pro kontra mengenai rezim kepemiluan adalah saat keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013. Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa kewenangan MK dalam mengadili sengketa hasil pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Dengan pertimbangan hukum bahwa pilkada bukanlah bagian dari rezim pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD 1945 dan kewenangan MK bersifat limitatif, tidak dapat dikurangi dan ditambah tanpa proses amandemen UUD 1945. Secara tidak langsung MK menafsirkan bahwa pilkada dan pemilu adalah dua entitas yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Sontak hal tersebut menimbulkan gejolak politik yang memperdebatkan mekanisme pemilihan langsung atau tidak langsung kepala daerah. Lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur pilkada dengan mekanisme tidak langsung. Lahirnya Undang-Undang tersebut makin memperkeruh keadaan. Melihat kuatnya penolakan dari masyarakat Presiden mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota yang membatalkan Undang-Undang 22 Tahun 2014. Perppu tersebut bertransformasi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan perubahan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang sampai saat ini masih menjadi dasar hukum pilkada.
Dalam Perppu disebutkan bahwa penyelenggara Pemilihan Gubernur adalah KPU Provinsi dan penyelenggara Pemilihan Bupati dan Wali kota adalah KPU Kabupaten/Kota. Padahal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota secara struktural berada di bawah KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Hal ini tentu saja bertentangan dengan narasi rezim yang disampaikan MK.
ADVERTISEMENT
Hal senada juga pernah disampaikan oleh Hadar Nafis Gumay mantan komisioner KPU RI periode 2012 - 2017. Hadar mengatakan jika KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masih berada di bawah naungan KPU. Asas pemilihannya sama, prinsipnya sama yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, penyelenggaranya juga sama jadi menurut Hadar pilkada itu tetaplah bagian dari pemilu.
Dalam YouTube perludem, pengamat kepemiluan Titi Anggraini menyampaikan jika rezim pemilu dan rezim pilkada dipisahkan maka itu akan menjadi sebuah anomali dan cenderung terlalu memaksakan karena tidak ada urgensinya. Kecuali pilkada memang betul-betul diserahkan kepada pemerintah daerah dan DPRD di bawah Kemendagri.
Masih dalam YouTube perludem, menurut Feri Amsari, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas, ada background konstitusional yang menyebabkan kesalahan interpretasi soal pilkada. Hasil penelusuran naskah komprehensif pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar, tidak ada cerita soal pemisahan rezim kepemiluan. Pemisahan itu terjadi karena adanya salah penafsiran pasal pemilu dan pilkada yang terpisah antara pasal 22E soal pemilu dan pasal 18 ayat (4) soal pemilihan kepala daerah. Pemisahan pasal tersebut menurut Feri karena mempertimbangkan daerah-daerah khusus dan daerah istimewa karena perlu diatur khusus jadi tidak dimasukkan dalam pasal 22E sehingga selain daerah-daerah khusus itu mesti dianggap bagian dari proses pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
Pasca-putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 soal opsi pemilu serentak banyak pihak menafsirkan putusan tersebut telah menganulir pemisahan rezim kepemiluan. Karena dari enam opsi keserentakan pemilu yang ditawarkan MK tidak ada pemisahan atau penyekatan pemilu dan pilkada.
Enam opsi pemilu serentak putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 di antaranya adalah pemilihan serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan Anggota DPRD, Pemilu serentak untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Bupati/Wali kota, Pemilu serentak untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Gubernur dan Bupati/Wali kota, Pemilu serentak untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan Umum Serentak lokal DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Wali kota, Pemilu serentak untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan anggota DPRD Provinsi dan Gubernur kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali kota serta pilihan-pilihan lainnya sepanjang menjaga sifat keserentakan pemilihan.
ADVERTISEMENT
Mencari Bentuk Ideal Desain Pemilu Serentak di Indonesia
Pelaksanaan Pemilu serentak banyak dilakukan oleh negara-negara di benua amerika seperti Brasil, Bolivia, Kostarika, Ekuador, Guatemala, Honduras, Nikaragua, Panama, Paraguay Peru, dan Uruguay. Tercatat Brasil telah melaksanakan pemilu serentak sejak 1994, Bolivia sejak 2009 dan Ekuador sejak 1998.
Pemilihan serentak tidak selalu cocok dengan sebuah negara dan tidak selalu cocok sepanjang waktu. Contohnya Brasil. Sejak melaksanakan pemilihan serentak pada 1994 silam sampai dengan 2016, hasilnya tetap konsisten. Itu terlihat pada tahun 2010 lalu di mana presiden terpilih dan koalisinya berhasil memenangkan pemilu. Namun sejak presiden terpilih pemilu serentak 2014 keadaan mulai berubah. Dilma Roessef, pada masa jabatannya yang kedua, selain tak didukung mayoritas parlemen, ia juga dilengserkan.
ADVERTISEMENT
Sampai dengan saat ini seluruh elemen dan pihak yang berkepentingan masih menggodok dan merumuskan desain pemilu seperti apa yang cocok diterapkan di Indonesia. Terakhir pada 2020 yang lalu, Komisi II DPR masih membahas kemungkinan penyatuan rezim pemilu dan pilkada dalam satu RUU pemilu untuk mengatur dua jenis pemilihan tersebut. Akan tetapi pembahasan itu terpaksa tertunda dengan keputusan mayoritas fraksi yang lebih memilih untuk tidak memasukkan RUU pemilu dalam program legislasi nasional tahun 2021. Dengan kata lain dapat dipastikan pemilu 2024 akan tetap memakai dua undang-undang yang lama. Karena setelah 2021 tidak akan cukup waktu untuk melakukan pembahasan RUU Pemilu.