Metaverse, Kapitalisme, dan Manipulasi Kebahagiaan

Ahmad Jumadil
Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sarolangun
Konten dari Pengguna
26 November 2021 14:58 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Jumadil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/hmd-kacamata-dunia-maya-dunia-maya-4140960/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/hmd-kacamata-dunia-maya-dunia-maya-4140960/
ADVERTISEMENT
Suatu hari nenek saya mengoceh ke layar televisi. Dia mengutuki aktris cantik yang sedang berlakon sebagai ibu tiri. Tiba-tiba dia membungkus pakaian di kamarnya lalu beringsut pergi keluar dari rumah. Nenek mau pergi. Selama ada wanita itu di televisi nenek tak bersedia tinggal di rumah ini lagi.
ADVERTISEMENT
Nenek saya memang suka terbawa suasana. Dia tidak bisa membedakan yang mana yang nyata dan yang mana akting di sinetron. Padahal realitas yang dilihatnya itu tidak berada di dunia nyata melainkan ada di dalam kotak ajaib bernama televisi.
Amarah nenek pada ibu tiri di sinetron itu selalu terbawa-bawa. Nenek sering bergunjing tentang si ibu tiri sambil menunjuk televisi yang sedang tidak menyala. Nenek merasa apa yang berlaku di televisi itu nyata.
Tujuh belas tahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Nenek saya pun telah tiada. Dunia sudah berubah. Televisi sudah tertinggal jauh. Internet sedang jaya-jayanya. Saya tidak bisa membayangkan jika nenek berada di zaman sekarang. Zaman di mana dunia imajinasi dan dunia nyata menyatu dalam konsep realitas virtual.
ADVERTISEMENT
***
Meleburnya dunia nyata dan dunia imajinasi semakin gamblang seiring dengan menyeruaknya gagasan metaverse yang di inisiasi oleh pendiri facebook, Mark Zuckerberg. Mark mempromosikan gagasan metaverse berbarengan dengan pengumuman perubahan nama perusahaan induknya dari facebook berganti meta.
Perubahan nama tersebut sebagai salah satu bagian dari visi perusahaan media sosial itu dalam mengembangkan realitas virtualnya untuk masa depan.
Dilansir dari investopedia.com, metaverse setidaknya mengombinasikan lima teknologi sekaligus, yakni media sosial, game online, augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan cryptocurrencies. Kelima aspek tersebut mengintegrasikan para penggunanya ke dalam sebuah dunia imajinasi yang interaktif dan real time.
Dunia metaverse adalah copy paste dari dunia nyata yang divirtualkan. Apa yang kita lakukan di dunia nyata juga bisa kita lakukan di metaverse. Kita bisa berkarir, membeli aset tanah, bangunan, mobil dengan sertifikat yang sah menurut aturan dalam metaverse.
ADVERTISEMENT
Semua aset yang kita punya pada metaverse dapat kita jual untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hebatnya, proses jual beli itu tidak terbatas hanya dalam dunia virtual namun juga bisa dilakukan di dunia nyata. Persis seperti yang sekarang dilakukan generasi Z pada game online.
Mungkin banyak di antara kita yang bertanya-tanya. Apa untungnya dunia khayal semacam ini. Apakah nantinya akan ada perusahaan-perusahaan yang promosi dan beriklan di sini?
Dunia metaverse adalah sebuah peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan promosi dan beriklan. Mengapa di metaverse? Karena dunia nyata yang kita rasakan saat ini telah beralih ke dunia maya.
Lihat saja anak-anak muda di zaman ini lebih sering nongkrong di dunia maya dari pada di dunia nyata. Sehingga para pengusaha, dalam mempromosikan produk-produknya mulai bergeser.
ADVERTISEMENT
Iklan yang biasanya muncul di televisi, radio, dan billboard pinggir jalan sudah tidak menarik lagi. Berpindah ke dalam gadget yang selalu di genggam oleh orang-orang lintas zaman.
Saat ini metaverse memang belum benar-benar hadir. Namun, melihat perkembangan kekinian, bukan tidak mungkin dunia ini akan hadir lebih cepat dari yang diperkirakan.
Metaverse sudah memiliki pondasi yang kuat di masyarakat. Contohnya saja, saat ini kita lebih sering berada di lini masa ketimbang dengan rekan-rekan sejawat di warung kopi. Terkadang, meskipun sedang berada di warung kopi, kita tetap tidak pernah melewatkan waktu untuk berselancar di media sosial.
Apalagi media sosial seperti Facebook, sang pengembang metaverse, telah memiliki 2,8 miliar pengguna aktif bulanan serta 1,84 miliar pengguna aktif harian (sumber: websiterating.com). Rata-rata waktu yang dihabiskan para pengguna Faceebook per-pengguna per-hari adalah 35 menit. Begitu luar biasa bukan?
ADVERTISEMENT
Selain itu Facebook juga masih selaku media sosial yang paling populer. Sedangkan whatsapp dan Instagram yang masih berada dalam naungan Facebook, berada pada peringkat tiga dan peringkat lima media sosial terpopuler di dunia. Tentunya masa depan cerah dunia metaverse tidak perlu kita pertanyakan lagi.
***
Mengapa facebook getol sekali membangun metaverse? Sebagian karena gagasan metaverse memang sangat keren. Namun sebagian lagi karena hal ini akan menjelma menjadi lahan baru yang tidak terbatas untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
Ketika miliaran manusia telah memenuhi dunia metaverse maka orang-orang tersebut suka atau tidak suka akan menjadi target untuk digiring menjadi makhluk konsumtif. Mereka akan rela mengeluarkan uang untuk melakukan aktivitas ekonominya di sana.
Memang, metaverse bisa saja menjadi sebuah peluang bagi orang-orang yang kurang beruntung di dunia nyata. Namun demikian, tak bisa dimungkiri juga bahwa salah satu kepentingan di balik dunia metaverse adalah kepentingan kapitalisme yang tujuannya mengeruk banyak keuntungan.
ADVERTISEMENT
Gagasan ini bisa saja berujung pada eksploitasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan kapitalis yang berada di level paling atas. Siapa yang paling untung? Tentunya yang mengembangkan dunia metaverse seperti facebook serta perusahan-perusahaan lain yang juga tengah mengembangkan hal yang sama.
Sedangkan para penggunanya hanya mendapat sebagian kecil saja keuntungan. Kalaupun mendapat keuntungan ekonomi yang besar, tentu saja sang empunya dunia itu turut serta mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi.
Sudah menjadi hakikat hidup manusia untuk mencari kesenangan dan kebahagiaan. Perasaan senang yang ditunjukkan dengan kenikmatan, kepuasan, kenyamanan, kegembiraan atau emosi positif hanya bisa didapatkan ketika kebutuhan manusia seperti kesejahteraan, keamanan dan keinginan bisa didapatkan.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan pengembang metaverse seperti facebook. Setidaknya metaverse mampu memenuhi satu dari lima kebutuhan dasar manusia seperti yang dijabarkan tokoh psikologi Amerika, Abraham Maslow, yakni aktualisasi diri. Lebih-lebih lagi metaverse dapat memenuhi kebutuhan ekonomi yang sangat menjanjikan.
ADVERTISEMENT
Di samping itu metaverse juga menjanjikan hal yang tidak bisa diwujudkan sebagian besar manusia di kehidupan nyata. Di sini semua orang punya peluang yang sama untuk menjadi kaya raya, terkenal, berstatus sosial tinggi.
Jika seseorang di dunia nyata adalah orang miskin, kelas menengah bawah atau pejabat rendahan, di metaverse ia bisa saja menjadi miliuner dan orang terpandang. Tergantung kapan ia memulai terjun ke dunia metaverse dan bagaimana ia menjalankan bisnisnya di sana.
Keuntungan yang didapatkan di metaverse bisa dia bawa ke dunia nyata. Hal itu dilakukan dengan cara memperjual-belikan aset mereka di metaverse kepada pengguna lain yang kurang beruntung.
Metaverse mampu memancing hasrat kita yang sulit kita wujudkan dunia nyata. Di sini orang bebas melakukan apa saja tanpa harus berurusan dengan pemerintah, birokrat, serta aparat penegak hukum. Hal tersebut mampu memenuhi kebutuhan hawa nafsu manusia yang tidak terbatas.
ADVERTISEMENT
***
Benar bahwa kita tak bisa mengelak dari teknologi ini. Semakin kita menolaknya maka kita akan semakin ketinggalan dan terbelakang. Akan tetapi kita juga tidak bisa terlena oleh metaverse. Karena metaverse adalah sebuah dunia imajinasi yang hanya sebatas pantulan dari realitas.
Kesuksesan, kebahagiaan atau hal-hal yang menyenangkan lain yang kita rasakan di dunia virtual, harusnya tak membuat kita lengah. Karena apa yang ditawarkan oleh metaverse tidak lebih dari sebuah mesin kapitalisme untuk mengeruk keuntungan dengan cara memanipulasi kebahagiaan.
Dan seperti kalimat penutup dari film Steven Spielberg yang berjudul Ready Player One (film yang digadang-gadang sebagai film yang paling mendekati konsep metaverse), “Orang-orang harus sering menghabiskan waktu mereka di dunia nyata karena realitas adalah satu-satunya hal yang nyata.”
ADVERTISEMENT