Konten dari Pengguna

Dilema Kesejahteraan Guru

Ahmad Muhajir
Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
27 Agustus 2023 5:38 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Muhajir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Melalui rentang waktu yang panjang dan berliku, yang meliputi periode dari era Pemerintah Hindia Belanda hingga masa kini, isu seputar upah guru terus melintasi rentang waktu dan menjadi sorotan yang tak pernah pudar. Perhatian terhadap kesejahteraan para guru tetap hadir dalam panggung pergeseran zaman.
ADVERTISEMENT
Akarnya terjalin pada masa lalu yang tak terlupakan, di mana surat kabar Oetoesan Goeroe membuka mata akan disparitas upah guru dengan penuh tekun dan kejelian. Media ini menjadi saksi bisu atas kenyataan yang pahit, bahwa pengorbanan dan perjuangan seorang pendidik tak seimbang dengan penghargaan yang mereka terima.
Hingga hari ini aspek yang tetap melengking dalam nada yang serak: yaitu persoalan upah guru yang tak sebanding dengan perannya sebagai arsitek pembentukan generasi bangsa. Beban guru terus bertambah seiring waktu.
Dari mengikuti perkembangan kurikulum yang tak kenal henti hingga beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang, mereka menjalani peran multitasking dengan hati yang terbuka. Namun, realita menggambarkan bahwa upah guru masih seperti gambar yang kabur, terlalu kecil untuk mengimbangi beban kerja yang terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, para guru menemui pertarungan internal. Mereka berusaha mempertahankan kualitas pengajaran, mengatasi tantangan belajar-mengajar yang semakin beragam, sambil juga merayu angka di kertas gaji yang kadang tidak setimpal dengan usaha mereka.
Keseimbangan antara dedikasi dan kompensasi menjadi sorotan sentral. Beberapa mungkin terus membara semangatnya, sementara yang lain mungkin merasa putus asa dan terbatasi dalam kemampuan finansial mereka.
Para pendidik, yang dianggap sebagai arsitek masa depan, menghadapi tantangan yang meruncing di persimpangan kehormatan dan keterbatasan finansial.
Dilema kesejahteraan guru tidak hanya melibatkan masalah finansial semata, tetapi juga mengajukan pertanyaan mendalam tentang bagaimana kita menghargai mereka yang membentuk intelektual dan moral generasi bangsa.

Mapan Status Sosial, Ambruk di Ekonomi

Ilustrasi Sekolah Dasar Swasta Bekasi. Foto: Shutter Stock
Guru, dalam banyak masyarakat, sering dihormati dan dianggap sebagai pilar utama dalam membentuk watak dan pengetahuan generasi mendatang. Mereka memiliki posisi yang mapan dalam status sosial karena peran mereka dalam membimbing, mengajar, dan membentuk calon pemimpin masa depan. Namun, ketika kita melihat lebih dalam, gambarannya menjadi kompleks.
ADVERTISEMENT
Meskipun guru dihargai secara sosial dan dianggap penting, kesejahteraan ekonomi mereka seringkali tidak sejalan dengan penghargaan dan tanggung jawab yang mereka emban.
Gaji atau upah yang mereka terima seringkali tidak mencerminkan kualitas dan besarnya kontribusi mereka terhadap masyarakat. Hal ini menciptakan paradoks yang mencolok: guru bisa menjadi simbol prestise dan penghormatan, tetapi mereka juga menghadapi tantangan finansial yang nyata.
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan ini bisa beragam. Keterbatasan anggaran dalam sistem pendidikan, kurangnya prioritas terhadap upah guru dalam kebijakan pemerintah, dan tuntutan tugas yang semakin kompleks adalah beberapa penyebab umum dari fenomena ini.
Ketidakmapanan ekonomi guru ini dapat mengakibatkan dampak negatif pada mereka secara pribadi dan pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Banyak guru mungkin merasa frustrasi dan terbebani oleh tekanan ekonomi, yang pada gilirannya dapat memengaruhi semangat dan motivasi mereka dalam mengajar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kurangnya insentif finansial untuk menjadi guru baru dapat menghambat aliran bakat baru ke profesi ini, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diberikan kepada generasi berikutnya.
Dalam mengatasi paradoks ini, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk mempertimbangkan solusi yang berkelanjutan. Mungkin perlu ada perbaikan dalam alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, dengan memberikan perhatian lebih besar pada kompensasi guru.
Sistem insentif yang memotivasi guru untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas pengajaran juga bisa menjadi langkah positif.
Dalam intinya, ketidakmapanan ekonomi guru meskipun mereka mapan dalam status sosial adalah panggilan bagi masyarakat dan pemerintah untuk merenung tentang pentingnya menghargai peran pendidik dengan memberikan pengakuan yang sesuai dan mendukung mereka dengan cara yang lebih konkret.
ADVERTISEMENT

Antrean Panjang Sertifikasi

Ilustrasi guru di sekolah inklusi. Foto: Shutter Stock
Proses sertifikasi guru, meskipun menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ternyata memiliki daftar antrean yang panjang dan kompleks. Fenomena ini membawa dampak yang signifikan terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan guru.
Seolah-olah, guru-guru yang telah lama berjuang di garis depan pendidikan harus menghadapi tantangan baru dalam mewujudkan harapan akan upah yang layak melalui tunjangan sertifikasi.
Namun, tantangan muncul ketika jumlah guru yang memenuhi kriteria tersebut jauh lebih banyak daripada kapasitas yang tersedia dalam program sertifikasi. Antrean yang panjang ini menciptakan situasi di mana peningkatan kesejahteraan melalui tunjangan sertifikasi menjadi terhambat.
Guru-guru harus menunggu giliran mereka dalam daftar antrean yang tak kunjung berkurang, sementara tuntutan ekonomi terus menanti. Efek lanjutan dari situasi ini adalah adanya risiko bahwa banyak guru mungkin akan pensiun sebelum akhirnya mendapatkan manfaat dari tunjangan sertifikasi.
ADVERTISEMENT
Penting bagi pemerintah dan otoritas pendidikan untuk mempertimbangkan solusi yang seimbang. Mungkin diperlukan upaya untuk mempercepat proses sertifikasi atau untuk meningkatkan kapasitas program sertifikasi agar lebih banyak guru dapat diakomodasi. Selain itu, alternatif lain, seperti pemberian insentif interim kepada guru yang masih dalam antrean, juga bisa dipertimbangkan.
Perlunya sertifikasi guru adalah langkah yang benar dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun, perlu diingat bahwa situasi dengan antrean yang panjang dapat memberikan dampak tidak diinginkan pada kesejahteraan guru.
Dengan menemukan cara-cara untuk mengatasi tantangan ini, diharapkan guru-guru dapat merasakan manfaat dari tunjangan sertifikasi yang pantas, tanpa harus menunggu terlalu lama atau bahkan sampai pensiun.