Konten dari Pengguna

Penjarahan Lahan, Neo-Liberalisme, dan Ancaman Terhadap Integritas Agama

Ahmad Muhajir
Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
9 Agustus 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Muhajir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pranjal srivastava/pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pranjal srivastava/pexels.com
ADVERTISEMENT
Penjarahan lahan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama dengan meningkatnya investasi oleh perusahaan multinasional dan cepatnya pengurangan lahan produktif. Sebagai negara dengan luas lahan yang besar, Indonesia sangat terancam oleh tingginya tingkat konversi lahan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme global.
ADVERTISEMENT
"Penjarahan lahan" mengacu pada pengambilalihan lahan secara besar-besaran oleh perusahaan besar, baik domestik maupun internasional, pemerintah, dan/atau individu dengan modal besar. Penguasaan ini dapat terjadi melalui jual beli, penyewaan, atau bahkan penyitaan dan pengambilalihan paksa. Istilah ini menjadi populer selama krisis harga pangan global pada tahun 2007-2008, meskipun sebenarnya penjarahan lahan telah lama menjadi masalah yang terjadi di banyak negara sepanjang sejarah.
Kasus-kasus penjarahan lahan sering kali dikaitkan dengan hasrat yang tidak terkendali dari negara-negara maju dan perusahaan multinasional mereka untuk menguasai lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan hutan. Tujuannya adalah mengubah lahan-lahan tersebut menjadi komoditas pangan (seperti hortikultura) yang berorientasi pada pasar internasional, membuka usaha pertambangan, atau mengeksploitasi dan mengekspor Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Motivasi utama di balik tindakan ini adalah meraih keuntungan maksimal dengan menguasai lahan pertanian dan sumber daya alamnya. Di sisi lain, negara asal mereka sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal kepemilikan dan kesuburan lahan.
Aksi warga demo lahan tanam Kotabaru. | Foto : BPKAD Provinsi Lampung
Fenomena penjarahan lahan sering terjadi karena dorongan dari negara-negara maju dan perusahaan besar yang ingin memanfaatkan lahan di negara berkembang seperti Indonesia. Mereka tertarik untuk mengubah lahan produktif menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar internasional, atau mengeksploitasi kekayaan alam seperti mineral dan hasil tambang. Alasan di balik tindakan ini adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dengan mengendalikan lahan dan sumber daya alam yang berharga.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa di negara asal perusahaan-perusahaan tersebut, lahan pertanian atau sumber daya alam mungkin terbatas atau kurang subur. Oleh karena itu, mereka mencari peluang di negara lain yang masih memiliki lahan luas dan kaya akan sumber daya, tanpa mempedulikan dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Hal ini menciptakan ketidakadilan global, di mana keuntungan besar diperoleh oleh segelintir pihak, sementara masyarakat lokal sering kali mengalami kerugian besar, seperti kehilangan tanah, mata pencaharian, dan bahkan identitas budaya mereka.
Tentu semua keadaan ini tampak sangat mengkhawatirkan karena penjarahan lahan menyebabkan ketimpangan kepemilikan tanah, di mana lahan yang seharusnya menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal justru dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan ekonomi. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup petani kecil dan masyarakat adat, tetapi juga berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi lingkungan, dan semakin berkurangnya lahan produktif yang vital bagi ketahanan pangan nasional. Jika terus dibiarkan, situasi ini dapat memperburuk krisis sosial, ekonomi, dan ekologis di masa depan.
Sejumlah anggota Komisi III DPR temui warga Wadas. Foto: Instagram/@arsul-sani-af
Cengkraman Kapitalisme
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kapitalisme, meluasnya liberalisasi ekonomi dan integrasi perekonomian nasional ke dalam sistem ekonomi global merupakan strategi untuk memperluas pengaruh kapitalis. Neo-liberalisme, yang mendorong pasar bebas dan pengurangan intervensi negara dalam ekonomi, sering kali dipaksakan melalui reformasi politik yang didukung oleh negara-negara maju. Tujuannya adalah membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing, tanpa batasan yang berarti.
Hal ini menguntungkan korporasi multinasional dan investor besar yang dapat dengan mudah masuk dan mendominasi sektor-sektor penting, seperti industri, pertanian, dan sumber daya alam. Akibatnya, ekonomi nasional semakin terikat oleh aturan dan dinamika pasar global, yang sering kali memprioritaskan keuntungan bagi segelintir elite kapitalis daripada kesejahteraan masyarakat luas. Sementara keuntungan ekonomi mungkin meningkat, ketimpangan sosial dan ekonomi juga cenderung membesar, dengan dampak negatif terhadap kedaulatan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Bukan tidak mungkin bahwa di masa depan, seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN) akan dikuasai oleh para cukong kapitalis. Hal ini bisa terjadi karena para kapitalis memiliki akses ke modal besar dan pengaruh politik yang kuat, yang memungkinkan mereka untuk mengambil alih proyek-proyek besar melalui berbagai cara, seperti investasi langsung, kerja sama dengan pemerintah, atau bahkan melalui penguasaan tanah dan sumber daya yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.
Ketika PSN dikuasai oleh para kapitalis, ada risiko bahwa tujuan utama dari proyek tersebut akan bergeser dari kepentingan publik menuju keuntungan pribadi. Proyek yang seharusnya dirancang untuk meningkatkan infrastruktur, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat, mungkin malah menjadi sarana untuk memperkaya segelintir orang. Selain itu, penguasaan oleh kapitalis juga bisa mengakibatkan hilangnya kontrol pemerintah atas proyek-proyek vital, yang pada akhirnya dapat mengancam kedaulatan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Sumber gambar: Pixabay.com
Mesra Dengan Agamawan
ADVERTISEMENT
Ketika kapitalisme semakin menguasai berbagai aspek kehidupan, para agamawan dapat kehilangan kendali dalam memberikan panduan moral dan spiritual kepada masyarakat. Kapitalisme, yang berfokus pada akumulasi keuntungan dan eksploitasi sumber daya, sering kali bertentangan dengan nilai-nilai agama yang menekankan keadilan sosial, keseimbangan, dan kepedulian terhadap sesama.
Jika ada kolaborasi antara kapitalisme dan agama, di mana agamawan mendukung agenda kapitalis, mereka berisiko kehilangan otoritas moral mereka. Masyarakat bisa melihat mereka sebagai bagian dari sistem yang menindas, bukan sebagai pembela nilai-nilai moral. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan terhadap institusi agama dan memperlemah peran agamawan dalam membimbing masyarakat ke arah yang lebih adil dan seimbang.
Ketika kekuatan ekonomi bersatu dengan pengaruh keagamaan, legitimasi terhadap penjarahan lahan dapat diperkuat dengan dalih moral atau spiritual, membuat masyarakat semakin sulit menolak atau melawan. Aliansi semacam ini bisa menambah tekanan terhadap kelompok-kelompok rentan, memperdalam ketidakadilan, dan memperlemah upaya perlawanan. Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam dan manusia dapat berlangsung lebih masif, sementara suara-suara yang menuntut keadilan semakin tersingkir.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada risiko bahwa agama bisa disalahgunakan untuk membenarkan kebijakan atau tindakan yang tidak adil.
Agamawan yang terlalu terlibat dengan penguasa atau kapitalis mungkin akan mendukung proyek atau keputusan yang merugikan masyarakat, karena mereka mendapat keuntungan dari hubungan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan sosial dan memperburuk ketidakadilan yang ada.
Agamawan yang terhubung erat dengan penguasa dan kapitalis juga bisa terputus dari kebutuhan dan realitas masyarakat lokal. Mereka mungkin menjadi kurang sensitif terhadap masalah yang dihadapi oleh komunitas yang mereka layani, dan kehilangan dukungan dari orang-orang di sekitar mereka.
Secara keseluruhan, keterlibatan yang terlalu dekat dengan penguasa dan kapitalis dapat merusak integritas agama itu sendiri. Jika agama dianggap sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dan keuntungan pribadi, bukannya sebagai panduan moral yang objektif dan adil, maka prinsip-prinsip agama bisa terganggu. Hal ini dapat berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat terhadap agama dan pada kesejahteraan umum.
ADVERTISEMENT